Sikap Hidup Qana’ah

Muhammadiyah Haedar Nashir Agama

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir Dok SM

Oleh: Haedar Nashir

Kita terkejut dengan sejumlah berita yang menimpa sebagian wakil rakyat dan elite di negeri ini. Sebuah media Ibu Kota mengeritisi para wakil rakyat yang bolos sidang dan terjerat korupsi. Padahal, disebutkan penghasilan mereka perbulan sekitar 60 juta tanpa potongan seperti pada umumnya PNS. Bagi anggota DPR yang masa baktinya dua periode akan memperoleh pensiun seumur hidup sebesar 3,7 juta, sedang yang hanya enam bulan pun gaji pensiun 500 ribu rupiah.  Mereka  disebut sebagai perilaku tidak terhormat, meski sebutannya wakil rakyat terhormat (Media Indonesia, 27/2/2013).

Berita heboh lain masih seputar kemewahan seorang Irjen polisi yang terjerat korupsi. Kini ditemukan lagi data satu rumah mewah miliknya di kawasan Puncak, Bogor, di atas lahan  1,8 hektar.  Rumah mewahnya yang disita KPK genap 11 rumah. Belum terhitung tentu saja rekening dan kekayaan lainnya yang tidak terjerat KPK. Jika diasumsikan, apakah mereka yang berpangkat setara, di bawahnya, bahkan di atasnya juga berperangai serbamegah seperti itu? Sungguh mengerikan negeri ini.

Di Jawa Barat sebuah Bank daerah dibobol miliaran rupiah. Sebuah majalah ternama Ibukota mengangkatnya sebagai laporan utama, yang dikaitkan dengan para kader dan petinggi partai yang sebelumnya terlibat kasus kuota sapi impor. Diduga ada kaitan dengan pendanaan Pilkada Gubernur dan keprluan proyek lain untuk Pemilu 2014. Digambarkan pula bagaimana berbagai perusahaan abal-abal dibuat untuk menjaring dan menyalurkan dana siluman (Tempo, edisi 25 Februari – 3 Maret 2013). Setiap mereka yang memiliki kuasa bersikap tamak, rakus, dan menghalalkan segala cara demi tujuan.

Kita masih bisa mendaftar sejumlah kasus korupsi besar lainnya. Para pejabat dan elite negeri yang begitu jor-joran dalam memeeragakan kemewahan, kekayaan, dan gaya hidup yang ternyata bertemali dengan korupsi. Tidak mengenal asal usul, apakah dari kalangan sekuler maupun santri, aktivis gerakan Islam, hingga para tokohnya. Orang awam tentu tak mampu mencerna kenapa semua itu terjadi. Mereka yang relijius akan mengucap, masya Allah dan astaghfirullah. Apakah mereka sudah kehilangan ruh iman, Islam, dan ihsan yang bersarang dalam hatinya, yang tidak jarang secara ilmu dan simbol tampak paling Islami.

Boleh jadi, salah satu sebab ruhaniahnya ialah hilangnya qana’ah dari kehidupan para elite dan ponggawa negeri itu. Qana’ah ialah jiwa merasa cukup dengan rizki atau pemberian Allah dan memanfaatkannya dengan secukupknya. Merasa diri cukup dengan yang diperoleh secara halal dan baik. Qana’ah adalah sikap hidup muslim yang sejalan dengan Hadis Nabi berikut ini: “Sungguh beruntung orang yang telah masuk Islam dan diberi rizki yang cukup serta dijadikan puas oleh Allah terhadap apa yang telah dianugerahkan kepadanya” (HR Muslim dari Abdullah Ibn Amr).

Jika para elite dan pemegang amanah di seluruh negeri ini merasa cukup dengan apa yang diterima, maka mereka tidak akan korupsi dan melakukan segala perbuatan yang dilarang Allah, Rasul, dan agama. Mereka juga tidak akan melakukan segala perbuatan yang dilarang negara dan merusak sendi-sendi kehidupan bersama seperti perbuatan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Mereka juga tidak akan tamak melebihi apa yang semestinya diperoleh dari gaji dan penghasilan yang diberikan negara secara sah. Dalam mengejar kemenangan politik dan kekuasaan pun tidak akan jor-joran atau target berlebihan sehingga menghalalkan segala macam cara. Semestinya dalam berolitik dan meraih kekuasaan pun ada fondasi akhlak, yakni antara lain sikap qana’ah.

Sikap hidup qana’ah membawa pada jalan tengah. Mereka termasuk bagian dari ciri abdi-abdi kekasih Allah (al-‘Ibad al-Rahman) sebagaimana firman Allah: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian” (QS Al-Furqan: 67). Mereka yang qana’ah dalam mengais rizki akan selalu berpatokan pada tuntunan Rasulullah, “Dari mana penghasilan itu diperoleh dan digunakan untuk apa”, min aina-iktasabat wa fima anfaqahu. Bukan sembarang asal mendapatkan dan serbarakus tanpa mempertimbangkan kehalalal dan kebaikan (halalal thayyiba). Apalagi dengan menjerumuskan diri pada perbuatan yang subhat dan haram, yang akhirnya jatuh diri ke lembah nista di dunia dan akhirat.

Exit mobile version