YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Fenomena terorisme di Indonesia sejalan dengan dinamika politik global dan akan terus berkembang. Setiap kali BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) berusaha menguak kasus teroris, selalu muncul beragam opini di tengah masyarakat. Bahkan ada yang menyatakan bahwa teroris dipelihara negara dan program deradikalisasi sendiri merupakan proyek pemerintah.
Bermaksud memberikan penjelasan yang berimbang tentang terorisme, H Ansyad Mbai—ketua BNPT—menulis buku “Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia dan Keterkaitannya dengan Gerakan Radikalisme Transnasional”. Pada Ahad (2/4), buku tersebut dibedah oleh Prof Dr Muhammad Chirzin, MAg pada kegiatan yang diselenggarakan oleh CSSMoRA (Komunitas Penerima Beasiswa dari Kementrian Agama RI).
Prof Chirzin yang merupakan ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) memuji keberanian penulis buku tersebut mengungkap banyak hal tentang terorisme. “Menulis tentang jejaring teror itu ya akan terancam oleh teroris”, ungkap Guru Besar Tafsir al-Qur’an UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tersebut.
Menurutnya, pelaku teror bisa disebabkan oleh banyak faktor internal dan eksternal. Faktor internal artinya dari dalam diri sendiri yang salah memahami. Sementara faktor eksternal adalah lingkungan yang membentuknya. Ada juga yang disebabkan oleh ketidakpuasan atau kekecewaan.
Kasus-kasus terorisme di banyak tempat banyak dilakukan sebagai reaksi. “Ada asap tentu ada api. Terorisme juga ada yang terpaksa bergerak, karena ada yang salah,” papar narasumber yang juga merupakan tim penulis Tafsir at-Tanwir Muhammadiyah tersebut.
Prof Chirzin mencontohkan organisasi semacam ISIS adalah perangkap yang dibuat oleh Amerika, Inggris dan Perancis untuk menghimpun teroris di seluruh dunia. Terorisme di Indonesia yang didorong oleh motivasi keagamaan, mereka itu korban. Perang bagian dari settingan dan proyek besar yang harus terjadi demi menjaga keseimbangan
Dalam diri seseorang, kata Prof Chirzin, punya rasa keberagamaan. Ada yang beragama secara tekstual dan ada juga yang memperluas wawasannya. Keberagamaan yang tekstual cenderung mudah menjadikan seseorang menjadi ekstrim.
Menurutnya, dalam kehidupan beragama, seseorang diharuskan untuk menjadi militan dalam artian menjalankan Islam secara kaffah. Namun militan sama sekali tidak berarti sama dengan radikal. “Menjadikan orang ekstrim itu mudah, tetapi menjadikan orang militan tidaklah mudah. Militan iitu rasional, sementara ekstrim itu sudah tidak rasional”, tukasnya.
Dalam kehidupan kebangsaan, selain adanya kelompok ekstrim kanan yang radikal juga perlu mewaspadai gerakan ekstrim kiri yang terlampau liberal-sekular. Propaganda yang disuarakan oleh radikalisme sekular ini adalah bahwa dunia harus streril dari agama, politik dikosongkan dari agama. Radikalisme sekular menganggap bahwa agama hanya menjadi urusan individu.
Sikap radikalisme sekuler itu, menurut Prof Chirzin, bertentangan dengan semangat yang diusung oleh para pejuang dan pendiri bangsa. Para pahlawan tergerak untuk memperjuangkan kemerdekaan salah satunya didorong oleh semangat keagamaan. Selain itu, konstitusi Indonesia, Pancasila sila pertama menyatakan ‘Ketuhanan yang Maha Esa, pasal 29 dan pembukaan UUD 1945 juga menyebut peranan agama secara implisit dan eksplisit.
Oleh karena itu, sebagai solusi, mengutip ilustrasi dari Gus Dur, Prof Chirrzin menyatakan bahwa kehidupan beragama diibaratkan seperti sebuah rumah besar yang terdapat banyak kamar untuk setiap agama. Di dalam kamarnya, semua penganut agama berhak dan bebas berekspresi. Tetapi, dalam sebuah rumah juga terdapt ruang tengah atau ruang tamu tempat berkumpul masing-masing agama, itulah ruang publik. Dalam ruang publik, para penganut agama harus bertenggang rasa dan saling menghargai.
“Peran mahasiswa, bergerak dari diri sendiri dengan mencari format Islam yang rahmatan lil ‘alamin”, pesan narasumber pada acara bedah buku di Teatrikal Perpustakaan UIN sunan Kalijaga Yogyakarta itu (Rayhan/Ribas).