JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti mengatakan bahwa berbeda pendapat di masa sekarang menjadi sesuatu yang mewah. Seseorang yang berbeda pandangan akan dijauhi. Padahal di masa lalu, semua orang berhak berpendapat asalkan memiliki dasar argumentasi yang kokoh.
Guna memupuk sikap saling menghormati perbedaan, digelar diskusi yang bertajuk ‘Merawat Pemikiran Guru-guru Bangsa‘ di Hotel Atlet Century, Jakarta, Rabu (12/4). Acara itu bertujuan untuk menghidupkan pemikiran tiga tokoh yang dianggap sebagai guru bangsa. Adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nurcholis Madjid (Cak Nur), dan Ahmad Syafii Maarif (Buya Syafii).
Menurutnya, di era sekarang ada pergeseran dalam menghadapi perbedaan pendapat. “Kebebasan berpendapat saat ini mejadi sesuatu yang mewah,” ujar Mu’ti. Dahulu ketika Cak Nur, Buya Syafii, dan Gus Dur masih aktif menulis di media massa dengan pemikiran-pemikiran barunya, masyarakat mampu menyikapi secara intelektual. Tidak menunjukkan sikap reaksioner dan apalagi mencaci maki.
Ketika ada yang berbeda pendapat seharusnya melahirkan kajian mendalam. Tanggapan yang diberikan adalah melalui buku atau tulisan ilmiah. Sehingga memberikan jawaban atau kritik dengan argumentasi yang kuat pula. Perbedaan pendapat yang ditanggapi seperti ini dianggap akan menambah wawasan dan mendewasakan masyarakat. Hal itu akan menumbuhkan tradisi intelektual. Orang bisa berbeda pendapat secara tajam namun tetap bersahabat dekat.
Kondisi itu menjadikan dunia intelektual benar-benar terbuka dan berkembang. “Dan itu membuat kami dulu sebagai seorang mahasiswa memiliki dorongan yang kuat bahwa dunia intelektual itu indahnya luar biasa. Bisa mengalahkan pengapnya kamar-kamar kos kami itu,” kenang Mu’ti.
Suasana seperti itu semakin langka belakangan ini. Saat ada yang berbeda pendapat, akan ditanggapi dengan hujatan. “Nah ini kan sesuatu yang kita rindukan karena ketika orang itu berpikir yang agak berbeda itu hujatannya luar biasa sekarang,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Abdul Mu’ti juga menceritakan kebiasaan Buya Syafi’i yang gemar berdiskusi dan merawat nalar ilmiah. Anak-anak muda sering diajak untuk bertukar pikiran. Tak jarang, Buya Syafii berbeda pendapat atau pandangan dengan pendapat umum di PP Muhammadiyah.
Menurut Mu’ti, Buya Syafii bisa menjadi teladan dalam menyikapi keberagaman tanpa harus takut menyampaikan pendapat yang berbeda serta pada saat yang sama juga tidak anti kritik. “Buya kalau dikritik enggak pernah marah. Malah kalau semakin dikritik semakin menikmati. Kadang kami di Muhammadiyah kalau sudah mengkritik Buya lupa kalau Buya itu tokoh senior dan Ketua Umum Muhammadiyah waktu itu,” kisah Mu’ti.
Selain kesamaan visi dalam membumikan Islam yang substansif. Mu’ti juga mengatakan bahwa, antara Gus Dur, Cak Nur, dan Buya Syafii itu memiliki kesamaan dalam hal kesederhanaan hidup. “Kesederhanaan dalam hidup. Ini juga yang dimiliki tiga tokoh ini,” tuturnya.
Narasumber lainnya, Mohamad Sobary menuturkan, gelar guru bangsa yang dilekatkan pada tiga tokoh tidak sembarang. Gelar itu bukan untuk orang yang hanya memiliki tingkat keilmuan yang sangat tinggi, tetapi untuk mereka yang memiliki kecerdasan dan kebijaksanaan yang luas serta mampu mengamalkan ilmunya tersebut di tengah masyarakat. “Guru bangsa itu adalah guru laku. Guru akhlak yang paling mulia,” urainya (Ribas).