YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) selama 36 tahun telah berkembang menjadi Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang cukup diperhitungkan di Indonesia. Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengharapkan UMY dengan segala pencapaiannya tetap menjadi pusat pergumulan pemikiran dan pengembangan Islam yang berkemajuan.
“Dalam mengembangkan Islam yang berkemajuan memerlukan pondasi atau basis epistemologi yang kuat. Kami percaya UMY dan PTM yang lain mampu meletakkan pemikiran-pemikiran Islam yang berkemajuan,” tukas Haedar di Gedung Ar Fahruddin B, Selasa (25/4).
Menurut Haedar ada 3 embrio yang bisa ditangkap dari konsep Islam berkemajuan sendiri. Pertama, Islam sebagai pondasi pembangunan peradaban atau Islam sebagai dinul hadlarah. Dasar-dasar pembentuk peradaban itu sendiri terag Haedar adalah moral, Ilmu pengetahuan, dan teknologi.
“Bagaimana merekonstruksi nilai-nilai Islam sebagai bangunan peradaban di tengah kehidupan baik pada tatanan domestic ataupun internasional penuh dengan kecenderungan,” katanya.
Kedua, Islam berkemajuan memiliki karakter yang wasathiyah, atau yang tengahan dan moderat. Wacana moderat bagi Muhammadiyah sendiri yaitu tidak kanan dan tidak kiri. Melihat, saat ini Haedar merasakan kecenderungan pergulatan yang kuat antara kelompok yang kanan dan kiri tersebut.
“UMY harus menjaga agar siapapun yang ada di dalammnya terus berada di dalam arus tengah ini. UMY harus selektif, bagaimana meletakkan Islam yang wasathiyyah menjadi bangunan berpikir UMY sebagai PTM,” imbuh haedar.
Jika tidak ada kekuatan modarasi yang menjadi penyeimbang, menurutnya yang akan terjadi adalah clash of fundamentalisme yang berunjung kepada terjadinya kekerasan karena dua arus yang sama ekstremenya dan saling bertubrukan tersebut.
“Dalam hal ini, agama sering kali menjadi sectarian response. Saya harap UMY kritis dalam melihat respons tersebut,” lanjut Haedar.
Ketiga, Islam berkemajuan memiliki strategi pencerahan yang proaktif namun tidak konfrontatif. Dalam hal ini, Muhammadiyah telah mengalami pergeseran dari cara-cara konfrontatif kepada proaktif seiring dengan perkembangan zaman. “Yaitu dengan pendekatan dakwah yang penuh hikmah dan edukatif,” katanya.
Keempat, Islam yang berkemajuan harus konsen kepada nilai-nilai kemanusiaan universal yang membawa kepada perdamaian, kebaikan dan relasi sosial yang anti diskriminasi dan nilai-nilai ihsan. Hal tersebut menjadi peluang bagi Muhammadiyah untuk menunjukkan Islam sebagai dinul ihsan.
“Di tengah-tengah kecenderungan agama di abad modern yang semakin scriptural sebagai respons dari krisis yang dibawa oleh kebudayaan secular, Maka sesungguhnya Muhammadiyah memiliki peluang yang leluasa untuk menunjukkan Islam sebagai dinul ihsan, yang penuh dengan kebaikan-kebaikan, nilai-nilai toleransi dan sebagainya,” tandasnya.
Oleh karenanya, UMY diharapkan mampu menjadi pusat pengkajian ilmu-ilmu profetik yang menjabarkan nilai-nilai ihsan dalam kehidupan masyarakat yang majemuk. Mencari celah-celah di mana mampu menyentuh dan merekatkan satu sama lain dengan ihsan. Termasuk membangun budaya keilmuan yang membawa kepada pencerahan.
“Apalagi kita sebagai masyarakat yang majemuk, sebagai masyarakat yang hidup dalam kebhinnekaan, nilai-nilai ihsan menjadi antara satu sama lainnya,” pungkas Haedar (Th).