YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir resmi membuka dan menyampaikan pidato iftitah Pengajian Ramadhan PP Muhammadiyah, Kamis (1/6). Acara yang berlangsung di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini turut dihadiri para ketua PP Muhammadiyah, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah se-Indonesia, para rektor Perguruan Tinggi Muhammadiyah, dan tamu undangan lainnya.
Pengajian Ramadhan merupakan agenda rutinan PP Muhammadiyah setiap tahunnya. Pengajian bertema ‘Manhaj Muhammadiyah: Paham dan Akualisasi Islam Berkemajuan dalam Kehidupan’ tahun ini telah memasuki usia ke-31. Pengajian kali ini dimaksudkan untuk memperteguh dan menanamkan kembali pemahaman tentang manhaj dan ideologi Muhammadiyah, melakukan konsolidasi dan silaturahmi, sekaligus memperluas wawasan warga Muhammadiyah guna memicu spirit untuk mengaktualisasikan Islam Berkemajuan.
Dalam pidato pembuka, Haedar Nashir menyatakan bahwa Pengajian Ramadhan PP Muhammadiyah akan diselenggarakan dua kali. Di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada 1-3 Juni dan di Universitas Muhammadiyah Jakarta pada 5-7 Juni 2017. Selain itu, beberapa PWM juga menyelenggarakan kegiatan serupa.
“Kita perlu meneguhkan kembali manhaj dan melakukan pembacaan ulang dalam konteks kekinian. Selain juga kita berkeperluan melakukan konsolidasi dalam konteks bermuhammadiyah,” tutur Haedar.
Terlebih pasca reformasi, kata Haedar, muncul beragam pemikiran yang tarik-menarik ke kutub ekstrem kanan dan kiri. Menimbulkan ketegangan antara kelompok. “Di tengah berbagai macam lalu-lintas pemikiran ini, kita perlu membaca ulang Manhaj Muhammadiyah, sehingga tidak kesasar jalan,” paparnya.
Menurutnya, manhaj Muhammadiyah dapat digali dari beberapa sumber. Sumber utama tentu dari pemikiran dasar Kiai Haji Ahmad Dahlan. Pikiran-pikiran pembaharuan dan gagasan cemerlang Kiai Dahlan, kata Haedar menjadi inspirasi pikiran Muhammadiyah. Pikiran tersebut dapat digali dari beberapa karya. Yaitu buku 7 Falsafah KH Ahmad Dahlan yang ditulis oleh Kiai Hajid; 17 Kelompok Ayat Andalan KH Ahmad Dahlan; Pidato Kiai Dahlan tahun 1921, yang kemudian diterjemahkan oleh Abdul Munir Mulkhan dan Syukrianto AR dengan judul Tali Pengikat Hidup; serta buku Perjuangan Kiai Dahlan karangan Kiai Sudjak. “Minimal empat buku ini kita bisa memahami pikiran substantif Kiai Dahlan,” ujar Haedar.
Haedar juga menyebut beberapa komentar para peneliti tentang Kiai Dahlan. Di antaranya Mukti Ali, Nurcholish Madjid, Kruzman, dan lainnya. Para peneliti mengakui bahwa Kiai Dahlan telah memiliki pemikiran yang melampaui zamannya. “Beliau telah bicara bagaimana Islam, akal pikiran, akal kritis, tentang pentingnya organisasi, dan bahkan hingga pikiran sufistik,” kata Haedar. Bahkan kiai Dahlan dianggap telah berbicara tentang akal murni dan filsafat nalar.
Kiai Dahlan, kata Haedar mengutip Mukti Ali, telah melahirkan pranata sosial modern, yang tercermin pada ranah pendidikan, filantropi, dan gerakan perempuan. Hal ini membedakan Kiai Dahlan dengan banyak pembaharu lainnya. (Ribas)