Oleh: Mufliha Fahmi*
Tahun lalu, saya menjalani praktik kerja profesi psikologi di salah satu Puskesmas di Kabupaten Sleman. Sebagai psikolog praktik, saya memberikan layanan psikologi kepada pasien-pasien Puskesmas yang membutuhkan. Ada banyak kasus yang saya tangani, tapi salah satu yang banyak saya temui adalah pasien-pasien dengan penyakit kronis, seperti hipertensi atau diabetes. Penyakit-penyakit kronis seperti hipertensi dan diabetes ternyata tak sebatas persoalan adanya suatu penyakit pada tubuh kita. Ada banyak aspek yang juga mempengaruhi berat dan ringannya penyakit ini, terutama aspek perilaku dan psikisnya. Sudah diketahui bahwa kedua penyakit ini tidak dapat disembuhkan, tapi bisa dikelola untuk mencegah kekambuhan. Oleh sebab itu, mengobati penyakit ini tidak cukup hanya dengan obat-obatan, tapi juga melalui sikap dan perilaku si penderita. Ketika seseorang mengidap suatu penyakit kronis, seketika ada banyak hal yang harus mereka kendalikan, mulai dari makanan, gaya hidup, juga kebiasaan berpikir positif. Untuk mengelola perilaku sedemikian rupa dibutuhkan kontrol diri yang kuat. Sudah menjadi kunci dalam dunia tenaga kesehatan, pasien-pasien dengan kontrol diri yang rendah lebih rentan terhadap kekambuhan.
Pada kasus penderita penyakit kronis, kontrol diri memang menjadi salah satu faktor penting dipertahankannya kesehatan. Meski demikian, tentu bukan hanya penderita penyakit kronis saja yang musti memiliki keterampilan psikologis yang satu ini. Sebelum jatuh sakit dan harus berpantang ini-itu, orang-orang yang sehat sebenarnya juga harus mampu mengelola diri untuk menjaga kesehatannya. Dengan kata lain, kontrol diri merupakan keterampilan psikologis yang harus dimiliki oleh semua orang. Apakah kontrol diri hanya terkait masalah kesehatan? Kita semua tahu jawabannya adalah bukan. Kesehatan hanyalah salah satu dari sekian banyak keuntungan yang timbul ketika kita memiliki kontrol diri yang benar. Dalam kajian ilmu psikologi, kontrol diri bahkan menjadi salah satu prediktor kesuksesan hidup seseorang dimasa yang akan datang (Tangney, Baumeister, & Boone, 2004).
Kontrol diri merupakan salah satu keterampilan psikologis yang cukup banyak diteliti. Salah satu penelitian yang paling terkenal mengenai tema ini adalah marshmellow test yang dilakukan oleh Walter Mischel pada tahun 1960-an. Mischel dan koleganya melakukan sebuah eksperimen sederhana tapi efektif untuk mengeksplorasi kontrol diri pada anak-anak. Pada eksperimen tersebut, anak-anak berusia empat sampai lima tahun dibawa ke sebuah ruangan yang sudah tersedia meja dan terdapat marshmellow dihadapannya. Peneliti memberi tahu bahwa mereka boleh memakan marshmellow tersebut, tapi apabila mereka menunda memakan marshmellow tersebut hingga peneliti kembali (sekitar 20 menit), maka mereka akan mendapatkan dua marshmellow. Jika mereka memakan marshmellow sebelum peneliti datang, maka mereka hanya mendapat satu marshmellow itu saja. Hasil dari eksperimen ini menunjukkan bahwa beberapa orang anak seketika melahap marshmellow yang ada dihadapan mereka, beberapa yang lain berusaha menunda keinginan untuk memakan marshmellow tapi akhirnya memakannya juga pada waktu yang berbeda-beda, dan beberapa anak yang lain bertahan hingga peneliti kembali dan berhasil mendapatkan dua marshmellow. Bertahun-tahun kemudian setelah anak-anak tersebut duduk di sekolah menengah, Mischel mengirimkan kuesioner kepada masing-masing orang tua anak-anak yang mengikuti marshmellow test sebelumnya. Kuesioner tersebut berisi pertanyaan-pertanyaan seputar sifat mereka, kemampuan mereka dalam merencanakan sesuatu, dan hubungan mereka dengan teman-teman. Hasilnya menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki kontrol diri lebih baik, yang ditunjukkan oleh kemampuan mereka dalam menunda kesenangan, memiliki prestasi sekolah dan kehidupan pertemanan yang lebih baik daripada anak-anak yang kurang mampu menahan diri. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tangney, Baumeister, dan Boone (2004) yang menyebutkan bahwa kontrol diri yang tinggi memprediksi adaptasi yang baik, peringkat yang lebih baik di sekolah, dan hubungan antar-pribadi yang lebih baik.
Penelitian-penelitian diatas menunjukkan bahwa kontrol diri merupakan salah satu keterampilan psikologis yang harus kita miliki. Kontrol diri menghindarkan kita dari keadaan-keadaan yang tidak meyenangkan dan membawa kita pada kehidupan yang lebih baik. Sebagai orang yang menganut ajaran Islam, kita memiliki ajang latihan kontrol diri selama satu bulan penuh. Ibadah puasa Ramadhan yang diwajibkan bagi umat Islam dapat dikatakan sebagai ritual ibadah yang mempromosikan kontrol diri. Pada bulan puasa, setidaknya kita menahan diri dari tiga hal, yaitu makan, minum, dan berhubungan seksual. Larangan melakukan ketiga hal ini pada siang hari merupakan pengendalian diri level pertama terhadap naluri dasar manusia, nafsu paling primitif yang derajatnya hewani, meminjam istilah Iqbal Aji Daryono. Meski demikian, menahan diri dari lapar dan dahaga bukanlah tujuan utama dari puasa (Shihab, 1996). Rasulullah SAW mengatakan, “Banyak diantara orang yang berpuasa tidak memperoleh sesuatu dari puasanya, kecuali rasa lapar dan dahaga.” Hal ini memberitahu kita bahwa puasa memiliki tujuan yang lebih utama, yaitu mencapai ketakwaan. Sebagaimana sabda Allah SWT yang tercantum pada surat Al Baqarah:183, “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Menurut Quraish Shihab (1996), perintah bertakwa mengandung arti perintah untuk menghindarkan diri dari siksa Allah. Dan Syaikh Muhammad Abduh menulis, “Menghindari siksa atau hukuman Allah diperoleh dengan jalan menghindarkan diri dari segala yang dilarang-Nya serta mengikuti apa yang diperintahkan-Nya” (dalam Shihab, 1996). Menghindarkan diri dari segala larangan-Nya dan mengikuti apa yang diperintahkan-Nya tentu tidak dapat kita jalankan tanpa kemampuan kontrol diri yang baik. Apabila merujuk pada pendapat Abduh diatas, dapat kita simpulkan bahwasanya orang-orang yang memiliki kontrol diri lah yang dapat mencapai derajat ketakwaan. Kontrol diri tak hanya membawa kita pada kebaikan hidup di dunia, tapi dapat pula menjadi sarana kita dalam meraih rahmat dan ridho Allah SWT untuk kehidupan akhirat kelak.
Semoga Ramadhan kali ini membuat kita menjadi pribadi-pribadi yang terlatih mengontrol diri dan membawa kita pada derajat ketakwaan kepada Allah SWT. Aamiin.
*Mufliha Fahmi Alumni Psikologi UGM