Oleh : Shubhi Mahmashony Harimurti*
Jama’ah Rahimakumullah
Bulan Ramadhan sedang kita jalankan. Kadang perasaan malas, lemas, lapar, dan dahaga menghinggapi. Hal itu wajar. Manusiawi. Tapi jangan jadikan Ramadhan sebagai kambing hitam untuk bermalas-malasan hanya demi alasan klasik untuk menghemat tenaga biar tidak batal puasanya. Apalagi menjadikan hadits dhaif yang berbunyi نوم الصاءم عبادة (tidurnya orang puasa itu ibadah) sebagai alasan untuk tidak semangat menjalani aktivitas layaknya bulan lain di luar Ramadhan.
Hal ini tentu bertentangan dengan firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 133 sebagai berikut
وَسَارِعُوٓا۟ إِلَىٰ مَغْفِرَةٍۢ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا ٱلسَّمَـٰوَٰتُ وَٱلْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
Artinya: “Dan bersegeralah kamu sekalian kepada ampunan dari Tuhan kalian dan surga yang luasnya setara langit dan bumi yang disediakan bagi orang yang takut”.
Lalu hendaknya umat Islam bergegas untuk melaksanakan amal shalih, agar kaum Muslim mendapatkan ampunan yang besar dari Allah SWT atas dosa-dosa mereka. Juga, agar umat Islam mendapatkan surga yang amat luas, seluas langit dan bumi, yang hanya disediakan untuk orang-orang yang takut kepada Allah Ta’ala dan siksa-Nya.
Kata kunci yang dapat diambil dari dalil tersebut adalah سَارِعُوٓا۟ yang artinya bersegeralah oleh kamu sekalian. Bersegera adalah kata perintah yang pasti mengandung makna untuk tetap semangat. Tetap optimis. Apalagi ayat tersebut diikuti dengan مَغْفِرَةٍۢ yang artinya ampunan. Sebuah kata yang selalu disematkan pada bulan Ramadhan. Bulan yang diidentikkan dengan momen yang tepat untuk mendapatkan ampunan dari Allah SWT.
Selain ampunan, Allah SWT juga menyebutkan جَنَّةٍ (surga) dalam firman-Nya tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa semua amalan ibadah umat Islam seperti shalat, zakat, infaq, ataupun shadaqah adalah untuk kepentingan manusia sendiri. Sedangkan puasa adalah untuk Allah ‘Azza wa Jalla semata. Dan Dzat Yang Maha Esa tersebut akan menggantinya dengan janji surga kelak di akhirat.
Kemudian Allah SWT menutup kalam Ilahi tersebut dengan أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (disediakan bagi orang yang takut atau bertaqwa). Hal ini tentu saja selaras dengan tujuan utama orang berpuasa di bulan Ramadhan sebagaimana telah diketahui bersama bahwa di surat al-Baqarah ayat 183 Allah Ta’ala mengakhirinya dengan frasa لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (supaya kamu sekalian bertaqwa). Derajat muttaqin itulah terminal akhir umat Islam dalam menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Ma’asyira al-Muslimin wa al-Muslimaat yang dirahmati Allah SWT
Beberapa fakta sejarah menyatakan bahwa umat Islam di masa lampau sangat semangat dalam menjalani ibadah di bulan suci Ramadhan. Tidak ada sedikit pun perasaan malas yang menghantui dalam menjalani rutinitas penuh makna positif ini. Salah satunya adalah peristiwa Agresi Militer Belanda I yang terjadi tanggal 21 Juli 1947 M. Saat itu umat Islam Indonesia sedang menjalani ibadah puasa di hari ketiga bulan Ramadhan tahun 1366 H. Belanda dengan pongahnya melanggar perjanjian Linggarjati dan menyerbu kantong-kantong republik. Pejuang Indonesia yang rata-rata Muslim sama sekali tidak gentar menghadapi musuh. Padahal kondisi mereka sedang berpuasa.
Yang terbaru adalah perhelatan Pemilihan Presiden (Pilpres) yang digelar tanggal 9 Juli 2014. Pada saat itu juga bertepatan dengan bulan Ramadhan. Tidak terdengar ada keluhan dari pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU), kandidat, pihak keamanan, ataupun konstituen. Mereka justru menganggap penyelenggaraan Pilpres di bulan Ramadhan sebagai berkah tersendiri. Supaya pemimpin selanjutnya memang benar-benar pilihan rakyat yang legitimate.
Jama’ah yang kami hormati.
Jika disimpulkan maka hendaknya bulan Ramadhan tidak dijadikan waktu untuk bermalasan karena sejumlah bukti di masa lampau menyatakan bahwa beberapa momen penting terjadi di bulan suci ini. Mereka yang menjalani tetap semangat dalam beraktivitas.
*Shubhi Mahmashony Harimurti Dosen Farmasi Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Islam Indonesia