JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti menjadi narasumber diskusi ‘Ngaji Bareng Bung Karno’ di Megawati Institute, Jakarta, Senin (12/6/2017). Dalam kesempatan itu, Mu’ti mengingatkan tentang petuah-petuah berkemajuan dari sosok Soekarno yang merupakan salah satu kader Muhammadiyah.
Pemikiran-pemikiran Bung Karno tentang Islam banyak terinspirasi dari para pembaharu muslim semisal Muhammad Abduh hingga Ahmad Dahlan. Memadukan banyak gagasan dari berbagai pemikir muslim, Bung Karno memiliki pemahaman agama seperti Muhammadiyah. Bahkan jauh melampaui. Dimana Bung Karno tidak ingin setengah-setengah dalam mendalami agama Islam. “Oleh karena itu, Bung Karno itu lebih-lebih dari Muhammadiyah,” ujar Abdul Mu’ti.
Baca: Serupa Soekarno, Presiden Jokowi: Saya Cinta Muhammadiyah
Pemahaman Islam yang dipegang Bung Karno, kata Mu’ti, jauh lebih maju dan modern. Seperti suatu ketika, ada peralatan rumah tangga milik istri kelimanya Ratna Djuamy dijilati oleh anjing. Kala itu Ratna ingin menghilangkan najis dengan menggunakan tanah sesuai hukum fikih. Namun Bung Karno menolaknya, karena pada saat jaman nabi tidak ada sabun. Tanah ketika itu hanya sebagai sarana membersihkan, bukan suatu tujuan yang mutlak dan tidak bisa berubah.
“Tapi Soekarno kembali katakan saat jaman nabi tidak ada sabun dan akhirnya Ratna mencuci itu dengan sabun. Yang dimana dalil itu diakui oleh Peneliti dari Mesir pada tahun 2012,” tutur Mu’ti. Pendapat tentang kebolehan mencuci menggunakan sabun ini sesuai dengan yang tertuang dalam Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah.
Baca : Haedar Nashir: Soekarno Peroleh Inspirasi Islam Berkemajuan dari Kyai Dahlan
Dari peristiwa itu, Mu’ti menyatakan bahwa Bung Karno memiliki pemikiran Islam Berkemajuan. Islam tidak boleh jumud atau terpaku pada pemahaman lama. Islam juga harus menyesuaikan dengan kondisi jaman yang semakin modern. Sehingga apa yang dikatakan Bung Karno adalah tepat.
“Bung Karno mengatakan Islam sebagai agama telah selesai tapi pemahaman Islam belum selesai. Yang dimaksud Soekarno adalah bagaimana pemahaman kita kepada agama itu harus direfresh,” papar Mu’ti. Pemahaman terhadap Islam harus selalu membuka pintu ijtihad baru. Sehingga nilai-nilai substansial dan universalitas Islam bisa membumi sesuai dengan konteks ruang dan waktu yang terus berubah. (Ribas)