YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Kebijakan yang digulirkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tentang penyesuaian jam pendidikan menjadi lima hari per minggu masih menuai pro kontra. Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu`ti menilai kebijakan itu adalah strategi memperkuat pendidikan karakter.
“Kebijakan sekolah 5 hari dengan masa belajar 8 jam setiap hari merupakan bagian dari strategi pendidikan karakter. Menteri Muhadjir Effendy melihat banyak masalah timbul karena kurang efektifnya sistem sekolah sekarang ini. Banyaknya waktu luang di luar kegiatan sekolah menyebabkan masalah,” ujar Abdul Mu’ti, Kamis (15/6).
Selain itu, kata Mu’ti, Mendikbud juga mempertimbangkan terkait dengan masalah akademik dan administrasi keguruan. “Banyak anak yang mengikuti les mata pelajaran, keterampilan, atau kesenian setelah jam sekolah karena merasa tidak cukup diberikan oleh sekolah,” ungkapnya.
Kebijakan Mendikbud ini diharapkan dapat mengatasi persoalan-persoalan tersebut dengan memaksimalkan peran guru, tenaga kependidikan, dan kerja sama antara sekolah, keluarga, dan masyarakat.
Demi kepentingan mencerdaskan kehidupan bangsa yang diamanatkan konstitusi dan untuk memperkuat pendidikan karakter sebagaimana komitmen pemerintah, maka Presiden dan Wapres diharapkan tegas menyatakan, pertama, sekolah lima hari tetap dilaksanakan sesuai kesiapan sekolah, masyarakat, dan Pemerintah/Pemerintah Daerah. Kedua, sekolah yang sudah melaksanakan bisa menjadi pilot project yang jumlahnya sekitar 6900. Sekolah yang sudah siap dapat mendaftarkan diri kepada Mendikbud dengan rekomendasi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab/Kota.
Menurut Mu’ti, kebijakan tersebut akan berdampak terhadap penyelenggaraan pendidikan formal dan non-formal termasuk lembaga pendidikan Muhammadiyah. Sampai saat ini, Muhammadiyah mengelola ribuan sekolah mulai tingkat PAUD sampai SMA. Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah mengelola lembaga pendidikan sekolah, madrasah, diniyyah, dan pesantren dalam bentuk boarding school. “Tidak sedikit warga Muhammadiyah yang bekerja sebagai guru. Karena itu Muhammadiyah jelas terdampak oleh kebijakan Mendikbud,” paparnya.
Dalam banyak hal, Muhammadiyah senantiasa akomodatif dan mendukung penuh kebijakan pemerintah. Terlebih terkait dengan pendidikan karakter dan pendidikan agama. Di dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan agama diajarkan sesuai dengan agama siswa dan diajarkan oleh guru yang seagama. “Muhammadiyah memberikan pelajaran agama Kristen yang diajarkan oleh guru agama Kristen,” kata Mu’ti.
“Karena itu, terkait dengan kebijakan sekolah 5 hari, Muhammadiyah berusaha untuk menyesuaikan diri. Ciri Muhammadiyah senantiasa berpandangan luas dan bersikap luwes. Karena prinsip luas dan luwes itulah Muhammadiyah dan amal usahanya bisa bertahan dan berkembang,” ulasnya.
Muhammadiyah berharap semua elemen masyarakat untuk tidak terlalu over-reaktif menyikapi kebijakan Mendikbud tentang sekolah 5 hari. Pelaksanaan tidak bersifat serentak dan dipaksakan. Kebijakan dilaksanakan secara bertahap dengan sukarela sambil dievaluasi.
“Jangan terlalu dipolitisasi. Setelah empat tahun berjalan K-13 (Kurikulum 2013-red) belum diberlakukan secara penuh. Tidak ada masalah. Yang siap melaksanakan, yang belum dipersiapkan secara bertahap,” terang Mu’ti.
Abdul Mu’ti juga berharap pemerintah tidak perlu gamang dengan banyaknya tekanan dan keberatan. Yang penting dibangun komunikasi yang baik dan penjelasan yang komprehensif. Penolakan sebagian pihak lebih karena kurangnya informasi dan pemahaman. Jika memang tidak mampu, bisa minta dispensasi tidak harus memaksa kebijakan dihapus atau dibatalkan, sambil terus mempelajari dan mengevaluasi kelebihan dan kekurangannya. (Ribas)