SINGAPURA, Suara Muhammadiyah- Dalam forum The 1st Indonesia-Singapore Interfaith and Intercultural Dialogue (ISID) pada Selasa (11/7) di Galeri Harmony in Diversity, Maxwell Road Singapura, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti yang hadir bersama sejumlah tokoh lintas agama yang ada di Singapura menerangkan bahwa konflik politik, rasial, dan keagamaan dalam suatu negara, antara lain, disebabkan oleh kurang atau tidak adanya inklusi dan integrasi berbagai identitas.
“Demikian halnya dengan ekstrimisme dan terorisme. Individu tertarik dan berubah menjadi radikal karena ekslusi sosial. Mereka kehilangan makna hidup sehingga menemukan makna dengan menjadi pelaku terorisme dan bentuk kekerasan lainnya,” tutur Mu’ti dalam salah forum yang digelar sebagai rangkaian helatan 50 tahun perayaan hubungan diplomatik antara Indonesia dan Singapura yang terdiri atas pertemuan dengan pejabat terkait, dialog publik, dan kunjungan ke organisasi dan lembaga keagamaan di Singapura.
Diselenggarakan atas kerjasama Kementerian Agama, Kementerian Luar Negeri, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia dengan Republik Singapura, ISID bertujuan untuk membangun dan meningkatkan hubungan dan Pemerintah dan mengeksplorasi kemungkinan kerjasama masyarakat kedua negara dalam bidang keagamaan, pendidikan, dan kebudayaan.
Dalam forum yang juga dihadiri oleh Menteri Agama RI Lukman Hakin Saifuddin tersebut Mu’ti menggarisbawahi bahwa semakin terbukanya arena persaingan, kian meningkatnya ekonomi serta kesejahteraan di era globalisasi menyebabkan baik individu dan kelompok kian menyadari pentingnya identitas baik agama, suku, bahasa, budaya, dan identitas lainnya.
“Multikulturalisme dan pluralisme merupakan konsekuensi dari pengakuan, penerimaan, dan penghormatan terhadap identitas,” lanjutnya.
Oleh karena itu, Mu’ti menilai penting adanya kebijakan pemerintah yang memberikan jaminan adanya penghormatan, penerimaan, perlindungan, dan akomodasi terhadap agama dan etnis. Menurutnya, agama tidak bisa dikuantifikasi karena eksistensi atas agama tidak ditentukan oleh jumlahnya.
“Istilah mayoritas dan minoritas bisa bias bahkan rentan dijadikan sebagai alat politik dan politisasi agama. Inklusi adalah kunci adalah kunci membangun harmoni,” tandas Mu’ti