YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Pernyataan Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin menanggapi penerbitan Perppu Ormas, menuai pro-kontra. Dalam pernyataan Din pada Rabu (12/7) lalu, menyatakan bahwa khilafah mirip dengan eksistensi Tahta Suci Vatikan yang menghilangkan sekat negara dan menjadi kiblat bagi umat Katolik di seluruh dunia.
Din mengingatkan bahwa, konsep khilafah adalah salah satu ajaran sentral Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits, maka seorang Muslim tidak boleh menafikannya. Bahwa manusia adalah khalifah/wakil Tuhan di muka bumi (khalifatullah fil ardh) luas disepakati oleh ulama pramodern dan modern.
“Hal ini membawa pemahaman bahwa misi keilahian manusia adalah membangun bumi, mengembangkan peradaban dunia untuk kemaslahatan kemanusiaan. Konsep khilafatullah fil ardh/kekuasaan Tuhan di bumi (God’s Vicegerency on Earth) bisa dibandingkan dengan konsep Kristiani tentang ‘Kerajaan Tuhan’ (Christendom),” katanya.
Din menjabarkan, khilafah yang dipahami sebagai “kekuasaan politik/political authority” atau “lembaga politik-pemerintahan/political institution” tidak menjadi kesepakatan ulama; hanya beberapa ulama yang berpendapat demikian seperti Rasyid Ridha (w. 1935), Abul Kalam Azad (w. 1958), dan An-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, (w. 1977). Mereka menginginkan Sistem Khilafah didirikan kembali sejak pembubaran Kekhalifahan Utsmany oleh Kemal Ataturk di Istanbul Turki pada 1924.
Pendirian Khilafah sebagai lembaga dan sistem politik, lanjut Din, sudah lama dikritik termasuk oleh Ibnu Khaldun (w. 1406), Abduh (w. 1905), dan Ali Abd Raziq (w. 1960), bahwa khilafat historis yang pernah ada setelah masa Khulafaur Rasyidun adalah sesungguhnya kerajaan, dan Islam tidak membawa konsep tentang bentuk/sistem pemerintahan tertentu. Maka tidak ada kewajiban mendirikan khilafah sebagai lembaga politik-kekuasaan.
“Jika konsep khilafah Hizbut Tahrir dimaksud sebagai lembaga politik-kekuasaan, maka itu bukan merupakan kesepakatan jumhur ulama. Pendirian khilafah sebagai lembaga politik-kekuasaan pada era modern adalah tidak valid dan realistik, karena negara-negara Muslim sudah terbentuk sebagai negara-bangsa (nation-state) dalam bentuk/sistem pemerintahan yang beragam,” urai ketua umum PP Muhammadiyah 2005-2015 itu.
Menurut Din, Negara Pancasila adalah kesepakatan bangsa Indonesia. Muktamar Muhammadiyah Tahun 2015 menegaskan Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi was Syahadah atau Negara Kesepakatan dan Kesaksian. “Dokumen itu berasal dari pidato saya pada 1 Juni 2012 di MPR-RI dengan tajuk serupa. Maka, seluruh komponen bangsa harus menegakkannya, dan terhadap segala bentuk penyimpangan dan pelanggaran terhadap Pancasila harus diluruskan. Dalam hal ini, terdapat banyak bentuk penyimpangan, baik yang bersifat keagamaan seperti khilafah politik, maupun isme-isme lain seperti komunisme, sekularisme, liberalisme, kapitalisme, dan berbagai bentuk ekstrimisme lainnya,” terang Din.
Oleh karena itu, kata Din, diperlukan penafsiran baru yang kontekstual terhadap khilafah, khususnya dalam konteks NKRI yang berdasarkan Pancasila. Pertama, Khilafah dapat dipahami membawa pesan kesatuan, persatuan, dan kebersamaan umat Islam secara nasional, maka di Indonesia dapat dan telah mengambil bentuk Majelis Ulama Indonesia/MUI yang dapat berfungsi sebagai organisasi payung atau tenda besar bagi seluruh umat Islam.
Kedua, secara global, khilafah sudah mengambil bentuk, pada tingkat pemerintahan, Organisasi Kerjasama Islam/OKI, dan pada tingkat umat, Liga Muslim Sedunia (Rabithah ‘Alam Islamy).
Ketiga, pada kedua manifestasi khilafah tersebut, dengan esensi persatuan keumatan/ukhuwah Islamiyah, tidak boleh mengingkari, mengubah, atau mengganti sistem politik dan pemerintahan yang ada, yakni Negara Pancasila.
Keempat, dalam latar pemikiran di atas, Din memahami (dan sering dibicarakan pada forum internasional) bahwa konsep khilafah yang bersifat mondial dapat diwujudkan dalam bentuk persatuan dan kebersamaan umat Islam dalam kemajemukan warna kulit, bahasa, dan budaya yang mencerminkan kesatuan visi kehidupan/peradaban global berdasarkan nilai-nilai Islam.
Dalam hal ini, kata Din, konsep khilafah dapat diterapkan dalam bentuk adanya lembaga mondial yg mempersatukan seluruh umat Islam, seperti Vatikan mempersatukan umat Katholik sedunia.
“Umat Katholik di negara mana pun sangat tunduk dan patuh kepada Vatikan, tanpa mengabaikan sistem nasional masing-masing bangsa. Saya mengusulkan kepada umat Islam termasuk kepada Hizbut Tahrir utk mentransformasi ‘khilafah ‘alamiyah’ mereka ke dalam bentuk seperti Vatikan. Dalam pemahaman saya, dalam interaksi aktif dengan Vatikan beberapa tahun terakhir ini, Vatikan adalah lembaga sangat berpengaruh, baik dalam urusan keagamaan maupun non keagamaan, termasuk ekonomi, politik, dan budaya,” terangnya.
Memang Vatikan, tutur Din, memisahkan antara agama dan politik, tapi Vatikan “berfungsi dan diperlakukan sebagai negara”. Buktinya, ada Kedutaan Besar Takhta Suci di banyak negara termasuk Indonesia, dan ada Kedutaan Besar di banyak negara termasuk Indonesia di Vatikan. Kedutaaan-kedutaan itu mengurusi masalah-masalah bilateral baik keagamaan, maupun politik, ekonomi, dan budaya.
Menurut Din, Vatikan juga terlibat dalam banyak masalah peradaban, seperti konflik, kemiskinan, pengungsi, dan SDGs. “Saya sering hadir di Vatikan dan bertemu Paus Benediktus XVI dan Paus Fransiscus dalam forum interfaith dialogue tentang masalah yang lebih luas dari isu-isu keagamaan sempit, seperti terakhir tentang climate change and global warming (bahkan menjadi anggota Grup Ethics in Action untuk environment di bawah kendali Pointifical Academy of Science),” urainya.
Din berpedapat, bagi umat Islam yang ingin membentuk khilafah mondial dapat meniru Vatikan dengan mentransformasi konsep khilafah ke dalam suatu lembaga mondial tanpa menegasi sistem nasional masing-masing negara (walau tidak semua Muslim mau bergabung). “Saya pribadi melihat bahwa hal itu tidak mudah karena watak umat Islam, khususnya Sunni, kurang bersifat faternalistik dan sentralistik, serta otonomi/egoisme masing-masing-masing bangsa bahkan organisasi sangat kuat,” kata Guru besar politik Islam ini.
Namun, kata Din, semangat Kekatholikan atau Budaya Vatikan yang mampu merajut kesatuan, persatuan, dan kebersamaan bagus ditiru. “Mungkin, kekhalifah-Islamiyahan baru memerlukan ‘unifying, moderating, and mediating force’ seperti itu,” papar Din Syamsuddin. (Ribas)