YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Dalam sebuah diskusi terbatas dengan redaksi Suara Muhammadiyah pada Kamis, 20 Juli 2017, ketua Pusat Studi Islam dan Pancasila Universitas Muhammadiyah Jakarta, Ma’mun Murod Al-Barbasy mempresentasikan poin-poin penting hasil penelitian disertasinya selama enam tahun. Disertasi itu mencoba untuk mengungkap fakta dan dialektika antara kelompok nasionalis fundamentalis dengan kelompok agamis.
Sepanjang sejarah bangsa Indonesia, kata Ma’mun, dialektika antara dua kutub ini terus terjadi. Ma’mun menguraikan akar dialektika itu bermula dari perbedaan pendapat para pendiri bangsa dalam merumuskan dasar negara. Ada yang menginginkan negara sekuler dan ada yang mengajukan negara teokrasi. “Dialektika tersebut bertemu dalam rumusan Pancasila,” katanya.
Antara rumusan awal pada 22 Juni dengan sebutan Piagam Jakarta kemudian berubah ketika dirapatkan dalam sidang 18 Agustus. Poin utama yang menjadi sorotan adalah sila pertama Pancasila. Atas jasa tokoh-tokoh muslim yang berjiwa negarawan, seperti Ki Bagus Hadikusumo, rumusam sila pertama kemudian disepakati menggunakan redaksi, ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’.
“Itu sebuah dialektika yang luar biasa,” urai Ma’mun. Menurutnya, para pendiri bangsa tidak mudah untuk berkorban sehingga sampai pada sebuah kesimpulan yang memberi solusi, yang disepakati bersama demi keutuhan dan kemajuan bangsa.
Ma’mun prihatin dengan pihak tertentu yang di kemudian hari mencoba mengganggu keberadaan Pancasila atau setidaknya mencoba memberi tafsir yang tidak sesuai dengan nilai dasar Pancasila. Misalnya kelompok yang masih ingin mencerabut nilai-nilai agama. Atau setidaknya mencoba membatasi ruang agama di wilayah publik. Keinginan untuk menjadikan agama sebatas di wilayah privat, kata Ma’mun, tidak sesuai dengan nilai Pancasila. “Indonesia memang bukan negara agama, tetapi agama itu sesuatu yang penting,” ulasnya.
“Pancasila telah selesai secara ideologis,” kata Ma’mun. Namun, dalam praktek dan realitas bernegara, banyak fenomena kesenjangan. Disertasi Ma’mun mencoba mengulas salah satu ketidaksesuaian itu dalam penerapan perda syariah di wilayah Tasikmalaya, Jawa Barat. Ketidaksesuaian itu, ulas Ma’mun, misalnya bahwa seharusnya berbangsa yang baik itu merupakan perpaduan antara komitmen atas kesepakatan bersama dan komitmen atas demokrasi. “Yang terjadi justru komitmen sesuai dengan pemuja dan pemuji demokrasi,” sebutnya.
Ma’mun mencontohkan prosesi penerbitan Perda Nomor 11 tentang Ketertiban Umum dan Perda Nomor 12 tahun 2009 tentang Pembangunan Tata Nilai Kehidupan Kemasyarakatan Yang Berlandaskan Pada Ajaran Agama Islam dan Norma-Norma Sosial Masyarakat Kota Tasikmalaya.
“Penyebutan ‘ajaran agama Islam’ dalam perda ini mendapat reaksi dan pertentangan yang hebat,” kisah Ma’mun. Padahal, menurutnya, selama masih dalam wilayah demokrasi atau sesuai dengan nilai Pancasila, semua inisiasi pengajuan perda berhak untuk diakomodasi dan dijalankan. Terlebih jika menyangkut kepentingan mayoritas masyarakat. (Ribas)