KEPULAUAN RIAU, Suara Muhammadiyah-Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir menyatakan bahwa Muhammadiyah sebagai kekuatan civil society akan terus menjalankan perannya sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas). Peran keormasan ini lebih menitikberatkan pada upaya kultural membangun umat, bangsa, dan peradaban yang berkemajuan. Pernyataan ini sekaligus sebagai jawaban atas beragam praduga yang mencoba menarik Muhammadiyah dalam pusaran konflik politik pragmatis.
Haedar mengakui bahwa belakangan ini, hiruk-pikuk kehidupan politik kebangsaan cukup menyedot perhatian publik. Haedar menyebut beberapa di antaranya adalah kasus perdebatan hak angket KPK, teror terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan, wacana pembubaran HTI, kemunculan Perppu Keormasana, serta disahkannya ambang batas 20% dalam pemilihan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold.
“Kondisi ini, tidak sedikit di antara kita yang jatuh pada arena saling debat, saling hujat dan saling menegasikan, bahkan sampai jatuh pada fitnah dan luruhnya nilai-nilai moral di antara sebagian anak bangsa,” kata Haedar prihatin.
Bahkan, pihak tertentu mencoba membawa Muhammadiyah dalam pusaran perdebatan itu. “Tidak ayal lagi, Muhammadiyah pun ingin dicoba ditarik-tarik dalam pusaran konflik dan kepentingan politik ini,” ujar Haedar dalam kegiatan Dialog Kebangsaan, di Kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kepulauan Riau, Jumat (28/07).
Menurut Haedar, bagi mereka yang memiliki tensi politik yang tinggi, muncul semangat yang luar biasa, agar persyarikatan Muhammadiyah masuk dalam arena ini, mereka menganggap Muhammadiyah seperti mendiamkan persoalan politik yang terjadi. Sehingga ingin Muhammadiyah ikut serta.
“Memang sebagian publik bahkan warga Muhammadiyah ada yang menginginkan Muhammadiyah masuk dalam bentuk kerja-kerja politik, namun saya nyatakan, Muhammadiyah punya cara dan punya karakter dalam menghadapi persoalan-persoalan kehidupan politik tanpa harus bekerja seperti partai politik,” tutur Haedar. Muhammadiyah bisa berperan sebagai punggawa moral, penyeimbang, dan kekuatan lobby yang bahkan lebih strategis dibandingkan partai politik.
Muhammadiyah, menurut Haedar, akan ikut hadir dalam menyelesaikan persoalan politik kebangsaan, dengan kerja-kerja sesuai jati dirinya sebagai sebuah ormas. “Muhammadiyah akan bekerja untuk mendahului mana yang terpenting dari yang penting,” ulasnya. Muhammadiyah tidak menafikan bahwa politik penting, dan kader-kader Muhammadiyah atas nama personal dipersilahkan terjun ke ranah politik.
Muhammadiyah sebagai ormas, kata Haedar, tidak bisa jika didorong-dorong untuk menggunakan kerja-kerja politik. “Insyaallah Muhammadiyah itu sudah matang dan sudah jelas alur-alur kerja politik kebangsaannya, tanpa didorong-dorong menjalankan kerja-kerja partai politik,” ungkapnya.
Sebab Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah, ujar Haedar, memiliki peran yang tidak kecil dalam kontek kebangsaan politik. Di antaranya seperti penguatan pendidikan karakter, membangun moral umat, memberdayakan ekonomi, menghadirkan pusat-pusat keunggulan. Semua itu termasuk mata rantai kerja Muhammadiyah mengisi nilai-nilai politik kebangsaan.
“Karena hakikat dakwah bagi Muhammadiyah adalah mengajak, menghimbau, menasehati dengan cara-cara dialog dan pertemuan dan berkualitas,” kata Haedar Nashir. Dalam menjalankan peran dakwahnya, Muhammadiyah senantiasa berbasis pada nilai-nilai.
Kegiatan Dialog Kebangsaan yang diadakan oleh PWM Kepulauan Riau ini, turut hadir sebagai narasumber, ketua Forum Rektor Indonesia yang juga bendahara umum PP Muhammadiyah Prof Suyatno dan Walikota Tanjung Pinang Lis Darmansyah. (Ribas/D)