Kisah Rohmaida, Anak Penarik Becak yang Pantang Menyerah Raih Sarjana

Kisah Rohmaida, Anak Penarik Becak yang Pantang Menyerah Raih Sarjana

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah- Kita memang tidak bisa memilih dari orang tua seperti apa kita dilahirkan, tidak bisa memilih untuk terlahir dari keluarga kaya raya, orang tua yang berkecukupan atau bahkan mungkin dari orang tua yang kurang mampu. Tapi bukan berarti kita tidak bisa memilih jalan atau pun kehidupan yang akan kita lalui. Semua orang punya hak untuk itu, hak untuk memilih dan memiliki impian dan cita-citanya. Hal itulah yang terus dipegang teguh dan dipercaya oleh Rohmaida Lestari, anak kedua dari Kusman (57) dan Jinem (52), yang juga merupakan mahasiswa Fakultas ekonomi dan Bisnis (FEB) program studi (prodi) Akuntansi 2013 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang diwisuda pada periode ke III lalu di Sportorium UMY. Ia merupakan mahasiswa peraih Bidikmisi dan juga didapuk sebagai salah satu mahasiswa terbaik dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,99.

Rohmaida, nama panggilannya, memang tidak pernah meminta untuk dilahirkan dari keluarga yang berkecukupan bahkan kaya raya. Akan tetapi, kondisi keluarga yang bisa dikatakan sangat kurang ini, tidak menyurutkan langkahnya untuk meraih impiannya sebagai seorang anak yang berpendidikan. Ayahnya hanyalah seorang penarik becak, sementara ibunya hanya seorang binatu yang rela melakukan pekerjaan apa saja demi menghidupi keluarganya. “Bapak dari dulu sudah mbecak, sedangkan Mamak bantu-bantu di rumah makan di sepanjang pantai Parangtritis. Kadang mamak juga turun ke sawah kalau ada yang minta,” tutur Rohmaida sembari menahan air mata.

Kondisi keluarga yang demikian, pada umumnya memang menjadi rintangan tersendiri bagi seorang anak yang ingin melanjutkan pendidikannya. Tak sedikit pula dari mereka yang bahkan rela mengorbankan impiannya karena kondisi keluarganya yang sangat tidak mendukung. Berbeda halnya dengan Rohmaida. Kekurangan yang ia miliki ini justru menjadi celah baginya untuk meraih impiannya bahkan berhasil mendapatkan prestasi yang tak pernah disangka-sangka oleh dirinya maupun kedua orang tuanya.

Sang Ibu, Jinem, menceritakan bahwa Rohmaida memang sosok anak yang pantang menyerah. Sekalipun dalam kondisi yang sangat kekurangan, Rohmaida tetap bertekad mewujudkan impiannya untuk menjadi seorang sarjana. Padahal saat Rohmaida masih menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) saja, orang tuanya sudah mengalami kesulitan untuk membiayai pendidikannya.

“Dia (Rohmaida) anak yang berbakti kepada orang tua. Keras kepala juga. Apa yang dia mau harus dia dapatkan. Tapi dia juga tetap berusaha sendiri untuk mewujudkan kemauan dan keinginannya. Saya sempat stres, saat dia bilang ingin lanjut kuliah. Ya bagaimana tidak, saat dia SMK saja kami sudah kesulitan biaya. Saya sempat bilang ke bapaknya apa kita perlu jual rumah. Tapi dia (Rohmaida) bilang nggak usah. Dia mau kerja sambil mencari informasi pendidikan,” kata Jinem.

“’Kalau diberi jalan oleh Yang Maha Kuasa pokoknya mamak harus dukung,’ kata dia. Dia semangat sekali, jadi saya iyakan. Tapi saya juga berpesan padanya untuk tidak menyalahkan orang tua karena keadaan kami seperti ini adanya,” imbuh Jinem sambil menahan haru.

Benar saja, selepas SMK Rohmaida memang tak bisa langsung melanjutkan ke tingkat perkuliahan. Ia justru bekerja di sebuah industri rumah tangga yang memproduksi makanan kecil, bahkan pernah menjadi seorang pramuniaga.

“Selesai SMK saya tidak bisa langsung kuliah. Saya bekerja di industri rumahan yang memproduksi sale pisang. Saya juga pernah menjaga salah satu toko di pusat perbelanjaan. Kalau ada waktu luang seperti waktu istirahat, saya manfaatkan untuk mencari informasi tentang bantuan beasiswa pendidikan,” ungkap Rohmaida.

Menjalani jenjang pendidikan yang lebih tinggi bagi penduduk Dusun Biro, Desa Seloharjo, Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul, Yogyakarta memang masih menjadi hal yang sulit untuk diwujudkan. Apalagi jika melihat kondisi keuangan keluarga seperti dialami Rohmaida. Terlebih lagi, pola pikir masyarakat yang masih belum terbuka akan pendidikan tinggi, menjadikan impian untuk melanjutkan studi adalah hal yang mustahil.

“Saya dibesarkan dalam lingkungan yang memiliki pola pikir bahwa kuliah hanyalah kesempatan yang diberikan kepada mereka yang memiliki kelebihan dalam hal materi. Dalam lingkungan tempat tinggal yang dapat dikatakan terpencil tersebut pendidikan tinggi menjadi hal yang jarang dimiliki oleh penduduk setempat. Akan tetapi secara pribadi, saya tidak setuju dengan paradigma bahwa pendidikan tinggi hanya milik yang kaya. Karenanya saya berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan beasiswa agar dapat melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi,” ungkap Rohmaida lagi.

Kegigihan Rohmaida selama 3,5 bulan dalam mencari program beasiswa pun membuahkan hasil. Program Bidikmisi yang disediakan oleh UMY untuk calon mahasiswa yang kurang mampu secara finansial, menjadi peluang baginya untuk mewujudkan cita-citanya. Namun, halangan dan rintangan tak berhenti di situ saja. Rohmaida sempat bimbang apakah ia akan mengambil tawaran beasiswa tersebut ataukah tidak. “Saat itu saya bimbang, apakah saya harus mengambil Bidikmisi di UMY atau tidak. Karena latar belakang pendidikan saya di SMK adalah teknik informatika, dan itu belum tersedia di UMY. Namun Akhirnya saya memantapkan hati untuk memilih UMY.  Saya mengambil program studi Akuntansi. Selain karena saya pikir saya mampu untuk mempelajarinya, saya juga memang suka berhitung,” ujar Rohmaida.

Kesempatan untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi tersebut tidak disia-siakan oleh Rohmaida. Ia berusaha keras untuk mendapatkan prestasi terbaik meskipun kuliah yang dijalani Rohmaida harus dilakukannya sambil bekerja. Namun demikian, Rohmaida terbukti mampu meraih prestasi yang ia impikan. IPK 3.99 yang diraih Rohmaida menjadikannya sebagai salah satu lulusan terbaik. Selain itu Rohmaida juga didaulat sebagai pemberi sambutan dalam wisuda periode ke III kloter pertama, Sabtu (29/7).

Dalam sambutan yang ia berikan, Rohmaida dengan semangat menyampaikan pada wisudawan/wisudawti UMY kala itu, bahwa setelah wisuda ia dan teman-teman mahasiswa lainnya akan memasuki dunia yang berbeda. Akan ada banyak persaingan yang nyata di sana baik persaingan untuk mendapatkan pekerjaan ataupun melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Namun di balik itu semua ada persaingan yang lebih penting yaitu persaingan untuk menerapkan dan mengamalkan ilmu yang sudah mereka dapatkan, demi menjadi orang yang bermanfaat bagi orang maupun lingkungan di sekitarnya.

Perjuangan Rohmaida untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sebenarnya juga menjadi perjuangannya untuk mengubah pola pikir masyarakat tempat ia tinggal. Rohmaida berpendapat bahwa orang-orang yang berada di sekitar kita merupakan prioritas untuk menjadi target penerapan dari ilmu yang sudah didapat.

“Dari ilmu yang saya dapatkan saya paham bahwa pendidikan merupakan hal yang penting. Proses yang kita jalani untuk mendapatkan pendidikan tersebut pun penting. Ini yang berusaha saya sebarkan ke orang di sekeliling saya. Saat ini sudah beberapa dari teman-teman di dusun saya tinggal yang kemudian turut memahami pentingnya pendidikan. Banyak dari mereka yang dulunya tak mau melanjutkan pendidikan selepas SMP namun kini ada beberapa anak yang ingin kembali bersekolah di SMK. Saya bersyukur dapat membantu untuk menyalurkan keinginan mereka. Selain itu, saat ini saya sudah mulai merasakan bahwa warga di dusun saya sudah tak lagi bepikir bahwa kuliah hanya untuk orang kaya. Mereka sadar dengan usaha yang cukup mereka juga dapat menempuh pendidikan yang mereka impikan,” jelas Rohmaida.

Tak hanya itu, cita-cita Rohmaida untuk bisa bekerja di sektor publik juga tercapai. Ia berkeinginan agar bisa membantu orang-orang yang lebih kurang beruntung darinya. “Sejak 1 Februari lalu saya bekerja di Dinas Penduduk Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Pemda Bantul. Saya dapat berinteraksi langsung dengan masyarakat yang kurang beruntung dan harapannya saya dapat membantu mereka. Karena ternyata masih ada orang-orang yang bahkan lebih kurang beruntung dari saya,” ungkapnya lagi.

Ada sebuah pesan yang ia dapat dari Dekan FEB UMY, Rizal Yaya PhD, MSc, Ak, CA, yang ia rasa benar-benar membekas dan mendorongnya hingga sampai ke titik ini.

“Pak Rizal pernah memberikan nasehat pada saya agar selalau melakukan yang terbaik. Walaupun lingkungan kita tidak meminta, atau bahkan lingkungan kita tidak memungkinkan kita untuk melakukan hal tersebut. Karena sebenarnya, hal itulah yang akan menjadikan pembeda antara diri kita dengan yang lainnya,” kenang Rohmaida.

Rohmaida selanjutnya juga berpesan agar jangan berpuas diri dan menjadi pribadi yang biasa-biasa saja. “Jangan malu dengan keadaan kita, apapun itu. Kita justru harus menjadikan hal tersebut sebagai penyemangat untuk melakukan usaha lebih. Kemudian ingatlah bahwa orang yang kaya adalah yang kaya mimpi dan cita-citanya, bukan hanya semata-mata karena materi. Kemudian jangan berpuas diri untuk menjadi pribadi yang biasa saja. Jadilah luar biasa, karena jadi biasa sebaiknya bukan jadi pilihan. Itu bukan pilihan bagi saya, dan seharusnya juga bukan pilihan untuk teman-teman semua,” tutupnya. (raditia)

 

Exit mobile version