YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah- Gerhana Bulan Parsial yang telah berlangsung pada tanggal 7 Agustus dan berakhir pada tanggal 8 Agustus dini hari menjadi fenomena yang mampu disaksikan di seluruh wilayah Indonesia dengan mata telanjang. Di Yogyakarta sendiri, MTT PP Muhammadiyah, Bekerjasama dengan takmir Masjid Ahmad Dahlan dan Pusat Studi Astronomi UAD mengadakan shalat sunah gerhana berjamaah mulai pukul 00.25 WIB sampai pada pukul 01.00 WIB, Rabu (8/8) dini hari.
Kepala Pusat Studi Astronomi Universitas Ahmad Dahlan, Yudhiakto Pramudya, PhD turut menjelaskan terkait proses terjadinya gerhana bulan Parsial tersebut. Pramudya menerangkan bahwa Gerhana Bulan Parsial yang terjadi pada 7 hingga 8 Agustus 2017 ini merupakan pasangan dari seri gerhana di bulan Agustus 2017. Dua minggu setelahnya, atau bersamaan dengan awal bulan Dzulhijjah, menurut Yudhiakto, akan terjadi Gerhana Matahari Total yang dapat diamati oleh warga Amerika Serikat.
“Gerhana Bulan dan Gerhana Matahari memang selalu terjadi berpasangan dengan selisih waktu sekitar 2 minggu,” terangnya dalam pernyataan tertulisnya.
Sebelum memulai Shalat Gerhana yang dipimpin oleh Fajar Rachmadhani, LC, MA dan ceramah yang disampaikan oleh Dr H Muchammad Ichsan, LC, MA, para jamaah mengikuti kajian diskusi ilmiah pada Senin (7/8) pukul 23.00 WIB. Diskusi tersebut dipandu oleh pakar falak Drs H Oman Fathurrahman SW, MAg.
Lebih jauh, Yudhiakto menjelaskan bahwa sebelum terjadinya Gerhana Bulan Parsial terjadi, diawali dan diakhiri oleh Gerhana Bulan Penumbra yang dimulai sejak Selasa (7/8) pukul 22.50 WIB. Gerhana Bulan Parsial sendiri mulai bisa diamati setelah lewat tengah malam, pada tanggal Rabu (8/8) pukul 00.23 WIB dengan bagian tepi Bulan akan tampak mulai memerah.
Puncak Gerhana Bulan Parsial terjadi pada Rabu (8/8) pukul 01.20 WIB dengan luasan yang berwarna merah permukaan Bulan mencapai titik maksimalnya namun tidak sampai seluruh permukaan Bulan. Setelah tercapainya titik puncak gerhana parsial, luasan berwarna merah tersebut, terang Yudhiakto, berangsur mengecil.
“Sehingga, pada tanggal 8 Agustus 2017 pukul 02.18 WIB, warna merah benar-benar menghilang, dan inilah sebagai akhir dari Gerhana Bulan Parsial. Namun, Gerhana Bulan Penumbra baru selesai pada tanggal 8 Agustus 2017 pukul 03.51 WIB,” lanjutnya.
Dalam hal ini, sesuai fatwa yang dikeluarkan oleh MTT PP Muhammadiyah, Yudhiakto yang juga Anggota Divisi Hisab dan IPTEK Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah mengatakan bahwa shalat sunah gerhana hanya dilakukan selama fase Gerhana Bulan Parsial dan Gerhana Bulan Total, sehinga tidak mencakup fase Gerhana Bulan Penumbra.
“Oleh karenanya, masyarakat dapat melaksanakan salat sunah gerhana pada rentang waktu tanggal 8 Agustus 2017 pukul 00.23 WIB sampai pada pukul 02.18 WIB,” tuturnya.
Mencermati proses terjadinya gerhana bulan ini, Yudhiakto menegaskan bahwa kita dapat melihat juga bukti bentuk bumi yang tidaklah datar. Gerhana Bulan terjadi bila cahaya Matahari terhalang oleh Bumi. Cahaya Matahari tersebut ada yang masuk ke atmosfer Bumi dan berinteraksi dengan partikel di atmosfer sehingga cahaya Matahari yang jatuh pada permukaan Bulan sudah merupakan hasil dari interaksi tersebut.
Gerhana Bulan kali ini, imbuh Yudhiakto, tidak membuat seluruh permukaan Bulan kemerahan. Hal ini karena bayangan Bumi tidak sepenuhnya menutup permukaan Bulan, hanya sebagian atau parsial. Sehingga, gerhana ini dinamakan Gerhana Bulan Parsial atau Sebagian. Dengan menggunakan fenomena Gerhana Bulan, maka kita bisa dengan seksama menyaksikan bentuk bayangan Bumi. Bentuk bayangan sejatinya representasi dari bentuk benda itu sendiri.
“Mengacu pada bentuk bayangan Bumi pada Gerhana Bulan sebelumnya, terlihat bahwa bentuknya melengkung. Sehingga, dipastikan bentuk Bumi adalah bola , bukan datar. Kesempatan ini memberikan kesempatan bagi masyarakat umum untuk melakukan pengujian terhadap bentuk Bumi yang kita diami ini,” katanya.
Gerhana bulan Parsial kali ini, menurut Yudhikato cukup spesial juga menarik untuk diamati. Selain dikarenakan sejumlah hal yang telah disebutkannya sebelumnya, namun juga karena tingkat warna kemerahan permukaan yang dimilikinya. Lebih jauh ia menerangkan bahwa tingkat kemerahan pada permukaan Bulan saat gerhana dapat berubah-ubah. Hal tersebut, dikarenakan jumlah partikel yang berinterkasi dengan cahaya Matahari pun dapat berubah-ubah. Salah satu penyebabnya adalah letusan gunung berapi dapat mengubah komposisi dan jumlah partikel di atmosfer.
“Baru-baru ini Gunung Sinabung kembali meletus dan mengeluarkan sejumlah material ke atmosfer. Menarik untuk dilihat dan diamati bersama fenomena Gerhana Bulan Parsial kali ini termasuk tingkat kemerahannya. Jadi, dengan serangkaian penjelasan tadi, Gerhana Bulan Parsial pada bulan Agusus 2017 ini terasa spesial. Fenomena astronomi tidak hanya mencerahkan umat dalam bidang ilmiah namun juga meningkatkan iman kepada Allah SWT,” tandasnya.
Walaupun, gerhana bulan parsial juga mampu diamati melalui mata tanpa bantuan teleskop, Pusat Studi Astronomi UAD juga menyediakan teleskop bagi jamaah yang tertarik ingin melihat lebih detil permukaan Bulan yang mengalami perubahan warna. Teleskop-teleskop tersebut dioperasikan oleh mahasiswa-mahasiswa S1 dan S2 Pendidikan Fisika UAD. (Th)