Haedar Nashir: Bangsa yang Besar Bisa Menyelesaikan Masalah Secara Cerdas, Elegan dan Rasional

Haedar Nashir: Bangsa yang Besar Bisa Menyelesaikan Masalah Secara Cerdas, Elegan dan Rasional

MELBOURNE, Suara Muhammadiyah-Di sela lawatannya ke Australia, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir sempat menjadi narasumber dalam program talkshow di radio SBS Station Melbourne. Dalam acara yang berlangsung pada Sabtu, 17 Februari 2018, pukul 09.00-11.00 waktu setempat itu, Haedar diwawancari seputar tema kebangsaan, terutama yang berkaitan dengan umat Islam di Indonesia.

Dalam paparannya, Haedar menyebut bahwa bangsa Indonesia memiliki potensi untuk menjadi negara maju. Segenap potensi yang dimilikinya harus senantiasa dioptimalkan bersama. Sehingga bangsa Indonesia yang besar dan kaya sumber daya tidak kehilangan momentum meraih kemajuan.

Di saat menghadapi ragam masalah, Haedar mengajak segenap elemen bangsa untuk menghadapinya secara dewasa. “Bangsa yang besar itu bukanlah bangsa yang tanpa masalah, tetapi bangsa yang bisa menyelesaikan masalahnya secara elegan, cerdas dan rasional,” tuturnya.

Haedar mecontohkan permasalahan semisal ketika belakangan menghadapi kasus penyerangan tokoh agama dan rumah ibadah. Menurutnya, dalam hal ini, polisi harus bertindak tegas, karena termasuk dalam domain kerja kepolisian untuk mengusut dan menindak siapa pun pelakunya.

“Semua pelaku harus ditindak adil. Syaratnya, pertama, punya bukti yang kuat dan objektif dan kedua, tidak ada politisasi. Silahkan, semua pelaku, tokoh yang masuk ranah hukum harus ditindak, tapi semua harus jujur. Jangan membawa misi lain, selain hukum,” ujarnya. Haedar mengkawatirkan adanya politisasi hukum dan campur tangan pihak tertentu, sehingga hukum tidak berjalan dengan adil dan objektif.

Kepada pihak kepolisian, Haedar mengingatkan tentang pentingnya keadilan dan kerja profesional, sehingga peranan polisi tidak diambil alih oleh polisi swasta. “Polisi tidak boleh membiarkan posisinya diambil alih oleh kelompok ormas, baik yang kiri maupun yang kanan,” ujarnya. Polisi kadang hanya menindak aksi sweeping yang dilakukan oleh ormas kanan dan membiarkan aksi-aksi yang dilakukan oleh ormas kiri. Padahal seharusnya, fungsi itu dijalankan oleh polisi, bukan oleh polisi ormas tertentu. Haedar mencontohkan semisal fungsi pengamanan gereja dan lainnya, itu domainnya polisi, bukan ormas.

Terkait dengan kasus-kasus politisasi agama, Haedar mengajak segenap masyarakat untuk meningkatkan literasi dan rasionalitas. “Rasionalitas ini perlu kita bangun,” ujarnya. Haedar mencontohkan tentang kasus 212, aksi 212 itu adalah murni penyaluran aspirasi keagamaan yang dilakukan secara demokratis. namun upaya politisasi keagamaan oleh elit tertentu setelah aksi 212 itu, dianggap Haedar, sebagai tindakan yang politis yang tidak ada kaitannya dengan aspirasi umat.

Selain itu, agama seharusnya selalu membawa nilai-nilai kedamaian dan keselamatan. “Dakwah tidak bisa dengan kekerasan,” ungkapnya. Semua agama, harusnya membawa nilai-nilai kebaikan.

Kasus intoleransi agama, kata Haedar, terjadi di banyak tempat dan tanpa mengenal latar belakang keagamaan tertentu. Namun, media dan media sosial sering seolah mengarahkan pelaku kekerasan agama hanya pada satu kelompok agama tertentu. Misalnya yang diungkap ke public itu penyerangan gereja dan vihara, tapi pembunuhan ustaz dan kiai serta sulitnya pendirian masjid di tempat tertentu sering diabaikan.

Haedar juga sempat menyinggung tentang keberadaan media sosial. “Media sosial itu merupakan instrument baru yang menciptakan psikologi demam. Buat masyarakat. Demam WA, deman facebook. Karena demam, mereka lupa behavior, ada dimensi akhlak dalam agama,” katanya. Merespon fenomena tersebut, MTT PP Muhammadiyah mengeluarkan Fikih Informasi yang di dalamnya turut membahas tentang Fikih Media Sosial. Selain juga MPI PP Muhammadiyah telah mengeluarkan panduan Akhlakul Medsosiyah.

Di media sosial, kata Haedar, ada problem sektarian respon. “Baik agama maupun pandangan kebudayaan setempat sering sensitive terhadap hal-hal yang datang dari luar dan dianggap sensitive,” katanya. Di tengah situasi ini, Haedar menyatakan bahwa masyarakat perlu diberi solusi. Yaitu nilai-nilai agama yang mencerahkan dan mencerdaskan serta mengedepankan rasionalitas. (ribas)

Exit mobile version