Perihal Kebijakan UAD Tentang Penggunaan Cadar, Berikut Penjelasan Rektor

Perihal Kebijakan UAD Tentang Penggunaan Cadar, Berikut Penjelasan Rektor

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah- Beberapa waktu terakhir, perbincangan mengenai peraturan terkait mahasiswi bercadar turut mencatut nama Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Dalam hal ini UAD menegaskan bahwa, Perguruan Tinggi yang bernaung di bawah Muhammadiyah (PTM) tersebut tidak pernah melarang penggunaan cadar di lingkungan kampus bagi mahasiswinya namun tidak juga menganjurkan pemakaiannya.

“UAD adalah perguruan tinggi di bawah Muhammadiyah yang mempunyai keyakinan dan sikap tersendiri dalam membina akidah dan cara berbusana peserta didiknya. Merujuk kepada keputusan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, PTM khususnya UAD tidak pernah melarang penggunaan cadar ataupun menganjurkan penggunaannya. Meskipun demikian, pakaian yang menutup aurat merupakan syarat yang harus ditaati,” ungkap Rektor UAD Kasiyarno dalam press conference yang digelar di Ruang Sidang Rektor, Jum’at (9/3).

Menurut Kasiyarno, selama ini permasalahan terkait pemakaian cadar hanya terkait praktik-praktik administrasi saja, contohnya karena maraknya perjokian dalam ujian juga mengantisipasi kecurangan-kecurangan akademik lainnya. Namun, pihaknya mengatakan bahwa problem tersebut telah diiatasi dengan melakukan verifikasi yang memastikan peserta yang mengikuti ujian benar-benar mahasiswa atau calon mahasiswa yang bersangkutan. “Itupun kami tetap menghargai privasi para mahasiswi tersebut. Proses verifikasi tidak dilakukan di ruangan terbuka namun dalam sebuat ruangan tertutup oleh dosen perempuan. “Ini hanya masalah administratif saja,” imbuh Kasiyarno.

Namun, ada peraturan khusus yang diterapkan bagi mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). Selama menjalani proses PPL, mahasiswi becadar diharuskan untuk melepas cadar demi kalancaran pembelajaran di kelas. Hal ini merupakan peraturan umum yang diterapkan untuk seluruh mahasiswa keguruan.

Ketua Lembaga Pengembangan Studi Islam (LPSI) UAD Anhar Anshory mengakui bahwa heterogenitas pemahaman agama mahasiswa ataupun mahasiswi di UAD sangat tinggi. Termasuk dalam hal cadar, Muhammadiyah telah menegaskan dalam keputusan Majelis Tarjih bahwa yang termasuk dalam cakupan aurat adalah selain telapak tangan dan wajah, sehingga menggunakan cadar tidak dianjurkan. Anhar menilai bahwa untuk memahami hal ini memerlukan pemahaman agama yang komprehensif. “Masih banyak yang belum memiliki pemahaman agama yang komprehensif. Di sini UAD berperan dalam melakukan edukasi dan membangun daya kritis peserta didik. Sebelum keberadaan nabi Muhammad, cadar sudah ada dan keberadaan cadar lebih kepada kondisi alam dan budaya di jazirah Arab,” tukasnya

Untuk itu, Anhar juga menjelaskan bahwa ke depan UAD akan lebih banyak melakukan dialog interaktif dengan peserta didiknya dalam rangka pembinaan keagamaan. Hal ini menurutnya telah melibatkan dekan-dekan dari fakultas di UAD untuk turut terjun. “UAD akan membantu mereka yang masih memiliki pemahaman agama yang sepotong-sepotong itu untuk memahami secara komprehensif. Ke depan kami akan melakukan pendataan guna proses-proses verifikasi ketika ujian selain itu akan ada dialog interaktif agar perubahan ada dari dalamm” katanya.

Ditanya tentang kaitan cadar dengan keberadaan radikalisme di UAD, Anhar menjawab bahwa tidak ada hal semacam itu. Di samping, karena keberadaan jumlah pengguna cadar di UAD yang dinilai sangat kecil. “Mereka yang mengenakan cadar lebih karena pemahaman agama yang belum komprehensif dan mungkin dari faktor ekspresi pembentengan diri karena baru mendalami atau menkaji lebih jauh terkait Islam,” tandas Anhar. (Th)

 

Exit mobile version