JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Kebijakan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta tentang rencana pelarangan mahasiswinya mengenakan cadar dalam aktivitas perkuliahan di kampus, menuai polemik. Terlebih, kebijakan itu disertai ancaman akan memecat mahasiswi tersebut jika tidak bersedia melepas cadar setelah melalui proses pembinaan.
Menyikapi hal itu, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, mengatakan, selama ini terdapat perbedaan pendapat dan persepsi soal cadar. Sebagian kalangan mengidentikkan cadar dengan radikalisme. Pandangan itu, umumnya dipengaruhi oleh pemberitaan media, di mana banyak tokoh radikal dan pelaku terorisme isterinya bercadar. Namun demikian, menurut Mu’ti, pandangan itu tidak sepenuhnya benar dan tidak bisa digeneralisir. Karena banyak dari mereka yang bercadar adalah kelompok moderat yang berpikiran dan berpandangan maju.
Sementara dalam konteks pembinaan mahasiswa, dia mengatakan, hal itu merupakan otoritas pimpinan masing-masing perguruan tinggi. Dikatakannya, rektor dan pimpinan perguruan tinggi memiliki tugas dan tanggung jawab dalam pembinaan mahasiswa dalam berbagai aspek, baik akademik maupun non-akademik. Sementara norma dan aturan berbusana merupakan bagian dari kebijakan non-akademik.
Mu’ti menilai, pembinaan terhadap mereka yang bercadar dikaitkan dengan pencegahan radikalisme tidaklah menjadi masalah. Namun, kata dia, kebijakan antiradikalisme harus berlaku untuk semua. Pasalnya, banyak pula kelompok radikal yang tidak bercadar dan tidak berjenggot panjang. “Tetapi, kalau pembinaan dimaksudkan agar mereka melepas cadar itu bisa jadi masalah. Batasan aurat wanita di kalangan ulama berbeda-beda. Memaksa melepas cadar bisa dimaknai memaksakan keyakinan,” kata Mu’ti.
Mahasiswi yang memakai cadar karena keyakinan, kata Mu’ti, merupakan hak yang harus dihormati. Namun, karena kampus melarang memakai cadar, maka mereka juga harus mematuhi aturan. Dalam hal ini, ia menekankan konteks untuk tidak mematuhi aturan itu bukan karena radikal atau menyalahi ajaran Islam. Selain bercadar, beberapa kampus UIN juga melarang mahasiswa berbusana terlalu ketat. Beberapa bahkan ada yang melarang mahasiswi memakai celana panjang dan jeans. Karena itu, dia mengatakan, konteksnya adalah diaturan berbusana bagi mahasiswa.
Karena konteksnya mematuhi aturan, kata dia, maka mahasiswi yang berpakaian ketat juga bisa dikeluarkan. Hal yang sama juga bisa berlaku bagi mereka yang tidak membayar SPP, melakukan perbuatan amoral, tidak mengikuti kuliah, dan bentuk-bentuk pelanggaran lainnya. “Sekali lagi, sepanjang konteksnya untuk penegakkan aturan dan disiplin, pimpinan perguruan tinggi bisa melakukan pembinaan khusus, bahkan mengeluarkan. Tapi, kalau bercadar dianggap radikal, itu akan menjadi masalah,” ujarnya.
Ketua PP Muhammadiyah bidang Tarjih, Tajdid dan Tabligh, Prof Yunahar Ilyas mendorong adanya dialog terbuka soal larangan cadar guna mencari jalan tengah dari polemik larangan cadar. Persoalan larangan cadar harusnya diselesaikan dengan tatap muka dan adu argumen daripada lewat jalur lain yang sifatnya justru kontraproduktif tanpa berujung penyelesaian.
Wakil ketua Majelis Ulama Indonesia ini mengatakan, pelarangan penggunaan cadar memang kewenangan UIN Suka Yogyakarta. Kendati demikian, jika hal itu mendapatkan perlawanan maka sebaiknya dibuka jalur diskusi. Apabila tidak ada alasan kuat, kata dia, sebaiknya kebijakan pelarangan cadar tidak perlu diterapkan karena memunculkan kontroversi di tengah masyarakat.
Menurutnya, Muhammadiyah tidak menyarankan pengenaan cadar bagi Muslimah.
Sementara itu, rektor Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) yang juga bendahara umum PP Muhammadiyah, Prof Suyatno menyatakan bahwa semua lembaga pendidikan harus melayani semua warga negara.
“Salah satu tujuan Indonesia merdeka adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, dan pendidikan itu diberikan untuk semua Rakyat Indonesia sesuai dengan amanah UUD 1945. Sebagai lembaga pendidikan tinggi, UHAMKA melayani seluruh warga negara tanpa memandang Suku, Agama, Ras, dan antar golongan (SARA),” katanya.
UHAMKA sebagai amal usaha Muhammadiyah, kata Suyatno, dalam melaksanakan dakwahnya adalah merangkul bukan memukul, mengajak bukan mengejek, sesuai dengan tuntunan Al-qur’an dan Sunnah, karena Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin dan Muhammadiyah mengambil sikap wasatiyyah (tengahan).
“Karena itu, UHAMKA tidak melarang mahasiswi bercadar. Namun harus berbusana menutup aurat, sopan dan beradab sesuai dengan ajaran Islam dan aturan yang berlaku di UHAMKA. Berbusana muslim dan muslimah merupakan anjuran yang diutamakan dan bagian dari pembentukan karakter mahasiswa dan segenap Civitas Akademika di UHAMKA melalui Lembaga Pengkajian dan Pengembangan al-Islam dan Kemuhammadiyahan (LPP-AIKA),” ujarnya.
Melalui Lembaga Pengkajian dan Pengembangan al-Islam dan Kemuhammadiyahan (LPP-AIKA), UHAMKA melakukan pembinaan secara persuasif, pendekatan dan pendampingan yang berbeda-beda kepada mahasiswi yang bercadar sesuai dengan motif masing-masing dari mahasiswi, sehingga ada proses pembelajaran dalam pendekatan itu sehingga nantinya mahasiswi memahami dan dibebaskan untuk memilih, untuk tetap bercadar atau tidak bercadar.
Senada, Wakil Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, dan Mantan Komisioner Komnas HAM 2012-2017, Maneger Nasution menyatakan bahwa kebijakan pelarangan cadar perlu dikaji ulang sehingga tidak mencerabut hak individu. Pimpinan UIN Suka Yogyakarta sebagai perwakilan negara justru punya mandat melindungi dan memenuhi hak konstitusional itu (Pasal 28I ayat (4) UUDNRI tahun 1945).
“Pertanyaan HAM-nya, bolehkah seorang Rektor mengurangi hak-hak konstitusional warga negaranya? Perbatasan terhadap hak-hak konstitusional warga negara hanya diperbolehkan berdasarkan pembatasan yang ditetapkan dengan UU dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum (Pasal 28J ayat (2) UUDNRI tahun 1945),” katanya.
Menurutnya, kalau sampai ada mahasiswa yang dilarang apalagi sampai dikeluarkan karena memakai atribut yang mereka yakini sebagai pengamalan keagamaan, mereka berhak menuntut hak konstitusionalnya kepada negara.
Menurut penelusuran Suara Muhammadiyah dalam beberapa pendapat Majelis Tarjih, dapat disimpulkan bahwa cadar tidak disunnahkan, tidak diperintahkan, dan tidak juga dianjurkan. (ribas/foto:okezone)