JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Pengajian Bulanan PP Muhammadiyah mengangkat tema Fenomena Kekerasan Terhadap Tokoh Agama, Jum’at (09/03/2018). Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan tema tersebut perlu menjadi perhatian dan saling pengertian bersama, dimana ada beberapa pertanyaan yang muncul di masyarakat, ketika terjadi kekerasan terhadap tokoh agama, ustad, kyai di daerah-daerah selalu muncul pertanyaan apa sesungguhnya yang terjadi dengan peristiwa itu.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, menurut Haedar harus didengarkan langsung dari Kepolisian dalam hal ini Kapolri Jendral Tito Karnavian yang hadir menjadi narasumber pengajian, bagaimana temuan kepolisian, apa yang telah dilakukan oleh kepolisian dalam menangani kasus tersebut. Selain itu hadir juga Bambang Widodo Umar selaku guru besar Universitas Indonesia serta jajaran pengurus Polri lainnya.
Haedar mengungkapkan Fenomena Kekerasan Terhadap Tokoh Agama menjadi hal yang sangat mengganggu kehidupan keumatan ini bukan hanya umat Islam dan tokoh-tokoh Islam, tetapi juga berkaitan juga dengan tokoh tokoh agama yang lain. “Ketika tokoh agama tidak merasa aman, damai, dan leluasa dalam menjalankan peran moralnya, lalu bagaimana sesungguhnya nasib penegakkan nilai-nilai luhur agama dalam kehidupan kebangsaan” terangnya.
Selanjutnya Haedar melihat di masyarakat berkembang berbagai asumsi dan opini yang belum tentu sepenuhnya benar. “Bagaimana perkembangan mutakhir menyangkut kriminal, termasuk Cyber Army yang cukup dahsyat sekarang ini, jadi kriminalitas dan berbagai macam perilaku yang agresif di dunia virtual, di media sosial yang mengandung hoax dan arahnya pada kriminalitas, saya pikir ini juga nanti ada kaitannya satu sama lain” ungkap Haedar cemas.
Oleh karena itu Haedar mengingatkan dalam konteks keagamaan perlu lagi membaca ayat Al-Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 6. Haedar menjelaskan surat tersebut sesungguhnya penuh dengan ajaran tentang moralitas hubungan sosial, apa yang disebut dengan berita-berita dari orang yang disebut nifaq atau munafik itu berita bohong, tetapi kita anggap benar maka agama mengajarkan untuk tabayyun.
Namun, lanjut Haedar, ternyata saat ini relasi sosial itu berubah dari relasi sosial langsung antara orang yang sifatnya paguyuban, berubah menjadi relasi sosial maya lewat media sosial. “Ternyata produk yang menjadi jauh lebih kompleks ketimbang ketika relasi sosial yang sifatnya komunal tradisional. Kenapa? Karena relasi sosial di dunia maya itu sifatnya impersonal, jadi orang tidak langsung berhubungan sehingga mau bohong, mau galak, mau keras, mau ngomong apa saja menjadi sangat leluasa” imbuhnya.
Maka melihat hal tersebut, Haedar menambahkan menjadi ranah baru juga buat kita dakwah Islam bagaimana untuk berdakwah di media sosial. “Dulu kita diajari menjaga lisan, sekarang ditambah dengan bagaimana menjaga tulisan, ini menjadi sangat relevan misalkan nilai-nilai akhlak al-karimah di dalam relasi sosial baru ini” tutur Haedar.
Selain itu, menurutnya kita diajari untuk menjadi khalifah, agar manusia tetap jadi subjek, betapapun canggihnya media sosial itu jangan membuat kita menjadi objek. Ketika konsep fasad fil ard, perbuatan merusak di muka bumi dulu sifatnya langsung merusak hingga membunuh. “Sekarang ini, bentuk fasad fil ard sudah macam-macam, merusak alam tetapi merasa tidak merusak, kemudian itu tadi berbagai bentuk kriminalitas sekarang lewat berbagai macam media sosial” tandas Haedar.
Kapolri Jendral Tito Karnavian menjelaskan berbagai peristiwa yang terjadi dan membandingkan dengan isu yang beredar di media sosial tentang penyerangan terhadap ulama itu dilakukan oleh orang yang mengalami gangguan kejiwaan. “Setelah itu muncullah isu dengan menyampaikan bahwa kekerasan itu dilakukan sebagai indikasi bangkitnya kelompok yang terlarang, katakanlah to the point disebut dengan PKI” ungkapnya.
Menghadapi situasi seperti itu, menurut Tito, maka Polri berusaha menenangkan publik publik. “Bahwa kita akan melindungi, kita bekerja dan saya menginstruksikan kepada seluruh jajaran Polri untuk segera membangun hubungan dengan seluruh jajaran ormas-ormas Islam, tokoh-tokoh Islam di mana pun juga, dengan target nomor satu memberikan jaminan keamanan” tambah Tito.
Ia menyatakan Polri tidak bisa melakukan statemen tanpa didasarkan kepada fakta hukum karena apa yang harus dilakukan oleh Polri harus didasarkan kepada data-data yang kredibel, bukan kepada asumsi.
Selanjutnya Tito menjelaskan ada empat kriteria isu penyerangan terhadap ulama. Pertama adalah dari jumlah total 46 isu yang muncul, hanya 3 kasus terjadi peristiwa penyerangan, yang kebetulan mereka adalah tokoh agama dan ketiganya pelakunya sudah ditangkap. “Kenapa mudah ditangkap? Karena memang (pelakunya) dikenal masyarakat setempat, memiliki gangguan kejiwaan” terangnya .
Kedua, ada penyerangan yang direkayasa, artinya kasus tersebut seolah-olah terjadi untuk menarik perhatian saja. Ketiga, betul terjadi kasus penganiayaan, tapi korbannya bukan ulama yaitu warga biasa namun kemudian diangkat di media sosial korbannya seolah-olah adalah ulama. Keempat, kasusnya tidak ada sama sekali, tetapi di media sosial muncul seolah terjadi penyerangan terhadap ulama. “Jumlahnya cukup banyak ada 32, kita punya data lengkap sekali kasus per kasus” ungkap Tito.
Kemudian Ia berkesimpulan kalau belum ada upaya sistematis pada penyerangan ulama di lapangan. “Belum bukan berarti tidak, karena kita masih mendalami” imbuhnya.
Oleh karena itu, ia melihat bahwa kalau mendapat informasi harus dipahami the power of social media. “Adanya teknologi informasi, sosial media dengan cepat semua informasi akan menyebar hitungan menit, detik mungkin. Oleh karena itu mohon kita semua, kalau ada informasi kita bertabayun, gunakan rasionalitas dibanding emosionalitas” ajak Tito.
Selanjutnya Tito mengatakan hal tersebut berkaitan karena suhu politik di mana akan digelar Pilkada dan Pilpres. “Sebagai suatu pesta, sebaiknya tidak ada negatif dan black campaigne, yang ada adalah silakan para pemimpin kita, calon pemimpin berkontestasi dengan menggunakan cara-cara yang demokratis dengan cara-cara yang mengedepankan program” pungkasnya.(rizq/foto:ppmuh)