JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Maarif Institute for Culture and Humanity merintis Sekolah Pemikiran Maarif, yang diluncurkan pada Selasa, 27 Maret 2018. Sekolah ini dimaksudkan untuk kaderisasi intelektual sekaligus melembagakan gagasan dan cita-cita sosial ketua umum PP Muhammadiyah 1998-2005, Ahmad Syafii Maarif. Sosok Pemimpin Umum Suara Muhammadiyah itu dikenal mengusung nilai-nilai keterbukaan, kesetaraan, dan kebhinnekaan dalam konteks membingkai keindonesiaan, keislaman, dan kemanusiaan.
Direktur Eksekutif Maarif Institute, Muhammad Abdullah Darraz menyatakan bahwa generasi muda bangsa perlu mengenal dan melanjutkan ide-ide tokoh bangsa. “Maarif Institute sebagai lembaga yang didirikan untuk menerjemahkan berbagai ide besar Buya Syafii merasa memiliki tanggung jawab besar untuk menyebarkan lebih luas ide-ide dan pandangan kritis Buya Syafii bagi kalangan generasi muda,” katanya di gedung Dakwah Muhammadiyah, Menteng Raya, Jakarta.
Koordinator Program Sekolah Pemikiran Maarif, Mohammad Shofan mengatakan bahwa tujuan kegiatan ini adalah untuk menyosialisasikan dan menyemai pemikiran Buya Syafii dengan mengacu pokok pemikirannya terutuma tentang gagasan serta ide ke-Islaman, ke-Indonesiaan, dan kemanusiaan. “Buya ini salah satu guru bangsa. Di dalam sosok Buya ada banyak sekali literature mengenai kebangsaan atau keindonesiaan, keislaman dan kemanusiaan,” tuturnya.
Sekolah itu, kata dia, juga bisa menyebarkan pemikiran Islam Indonesia kontemporer dengan cara melakukan kaderisasi intelektual, baik di lingkungan akademis, LSM, komunitas-komunitas intelektual dan masyarakat umum. Selain itu, Sekolah Pemikiran Maarif dapat merumuskan peta intelektualisme dan aktivisme Buya Syafii dalam konteks perkembangan pemikiran Islam Indonesia kontemporer.
“Program ini juga merupakan arena yang memungkinkan bagi generasi muda untuk dapat berjumpa dan berbagi pengetahuan serta pengalaman antarsesama yang berasal dari berbagai daerah di seluruh Indonesia yang memiliki latar belakang etnis, suku, dan agama yang berbeda,” ujarnya.
Dewan Pembina Maarif Institute, Amin Abdullah menyatakan bahwa sekolah ini memiliki makna untuk mengingatkan bagaimana tokoh-tokoh itu berperan dalam menyebarluaskan gagasan. Amin mencontohkan tokoh besar semisal Nurcholis Madjid hingga Mukti Ali yang membutuhkan wadah untuk pengkajian dan pelestarian ide-ide. “Cak Nur mendirikan Universitas Paramadina,” katanya.
Amin Abdullah yang juga mantan ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah menyebut Buya Syafii sebagai sosok progressive muslim atau progressive ijtihadis. Menurutnya, dalam kajian studi Islam kontemporer, banyak paradigma dan pemikiran yang bergeser dan berubah menjadi lebih kompleks. Untuk itu, perlu memahami dan melanjutkan gagasan pembaharuan yang dilakukan tokoh semisal Fazlurrahman, Abdullah Saeed, Jasser Auda. Termasuk tokoh-tokoh di Indonesia yang mengalami perkembangan luar biasa. “Studi Islam sekarang harus mempelajari banyak hal baru,” ujarnya.
Menurutnya, hasil penelitian UIN Jakarta dan UIN Yogyakarta berhasil memetakan literatur-literatur keislaman dan ideologis di Indonesia sejak tahun 80-an. “Ada lima corak literature; yaitu Islamisme popular, Tarbawi, Salafi, Tahriri, dan Jihadi,” katanya. Semua jenis literature itu harus dipahami oleh institusi pendidikan Islam guna menyemai Islam Indonesia yang damai dan maju.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti menyatakan bahwa sosok Buya Syafii harus dilihat secara utuh dan apa adanya. “Banyak orang yang kadang keliru melihat Buya,” katanya. Jika dilihat secara parsial dan apalagi berbasis kecurigaan, ditemukan banyak pertentangan. “Secara theologis dan akidah, Pak Syafii itu tergolong islamis,” ujarnya merujuk amalan ibadah Buya yang sangat konsisten dan disiplin. “Masyarakat sering melihat sesuatu melalui persepsi dirinya tentang sesuatu, tidak mau masuk ke dalam,” katanya. Buya Syafii ketika memimpin PP Muhammadiyah, kata Mu’ti, mencita-citakan masyarakat berilmu dan berakhlak.
Dosen Universitas Driyakara Jakarta, Budhy Munawar Rachman menyatakan bahwa Buya Syafii melanjutkan ide-ide Fazlurrahman dalam mendorong dan membuka pintu ijtihad. Selain itu, Buya juga terus menghidupkan Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin. “Islam sebagai agama kemanusiaan dihidupkan dengan keprihatinan (aksi nyata),” katanya.
Sementara itu, sosiolog UMY Zuly Qodir menceritakan beberapa kisah human interest yang sering dialami bersama Buya Syafii. Menurutnya, Buya Syafii merupakan sosok yang sederhana, jujur, dan berintegritas, serta tidak pernah takut kepada siapa pun. Sisi lain, Buya Syafii sangat mencita-citakan keadilan sosial membumi di Indonesia. (Ribas/foto:Shofan)