Oleh: Dr Mustafa el-Dasuki
(Pakar Ekonomi Islam Ain Syams University, Cairo dan Mantan Direktur Pusat Studi Ekonomi Islam di Al-Azhar)
Bagi saya pribadi, Persyarikatan Muhammadiyah bukanlah nama yang asing di telinga saya. Betapa tidak? Pertama kali saya mengunjung Indonesia pada tahun 2003 untuk konferensi di UIN Syarif Hidayatullah. Selanjutnya saya melakukan berbagai kunjungan ke Indonesia yang mayoritas untuk memenuhi undangan Muhammadiyah. Baik berupa seminar, mengisi kuliah umum di berbagai sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah, lokakarya pengembangan universitas sampai undangan untuk menghadiri muktamar Muhammadiyah.
Secara personal saya pun menjalin kedekatan dengan para tokoh Muhammadiyah seperti Prof. Dr. KH. Dien Syamsuddin, Prof. Dr. KH. Muhammad Amien Rais sampai ketua umum Muhammadiyah saat ini, Dr. KH. Haedar Nashir. Momen Muktamar Muhammadiyah di Makassar lalu, saya merasa sangat terhormat bisa menghadiahi Prof. Dien Syamsuddin dan Dr. Haedar Nashir sebuah kain kiswah (kain dengan bahan yang sama dengan kain penutup Kakbah-pen).
Muhammadiyah dengan 40 juta anggotanya, adalah organisasi besar yang banyak berkiprah di dunia dan secara khusus di Indonesia. Mulai dalam bidang pendidikan, budaya, sosial, ekonomi sampai peran besar mewujudkan kemerdekaan Republik Indonesia. Berdampingan dengan saudaranya, organisasi Nahdhatul Ulama.
Para ulama dan pengajar di universitas Mesir pun bisa melihat keluhuran akhlak para pelajar Indonesia yang mengingatkan pada generasi awal penerima risalah Islam. Hal ini adalah buah dari didikan kedua organisasi tersebut. Terbukti, kedua organisasi tersebut memainkan peran penting di Republik Indonesia.
Satu kesan dari Muhammadiyah yang membuat saya benar-benar menitikkan air mata. Dalam pemilihan ketua umum di Makassar lalu, saya melihat prosesi pemilihan yang sangat rapi, tertib dan tenang. Saya juga melihat kezuhudan para kandidat dalam memandang jabatan ketua umum. Tidak ada konflik, perebutan posisi atau kericuhan yang mungkin akan kita dapati dalam pemilihan di tempat lain.
Saya berharap model dan kondisi pemilihan semacam ini juga diterapkan di seluruh dunia Islam. Pemilihan semacam inilah yang merupakan model dan kondisi pemilihan pemimpin pada masa-masa awal umat Islam (zaman para sahabat-pen).
Selain Muhammadiyah, saya juga kerap mengunjungi Pondok Modern Darussalam Gontor. Beberapa waktu lalu, Grand Syaikh al-Azhar, Prof. Dr. Ahmad Tayyeb menghadiahkan beasiswa untuk 50 pelajar Gontor yang melanjutkan studi di Universitas al-Azhar, selain beasiswa untuk 50 pelajar Indonesia secara umum. Saya merasa sangat terhormat menjadi salah satu perintis relasi antara Gontor dengan berbagai instansi di Mesir. Bahkan salah seorang pimpinan Pondok Modern Gontor, KH. Abdullah Syukri Zarkasi pernah mendapat bintang penghargaan dari Presiden Mesir, Mohamed Hosny Mobarok, atas jasa-jasanya dalam bidang pendidikan Islam. Selanjutnya saya berharap tokoh-tokoh Muhammadiyah yang mendapat penghargaan serupa.
Akhirnya, kami di Mesir pun harus belajar banyak dari pergerakan Muhammadiyah yang sukses menggabungkan antara dakwah, layanan sosial, budaya, ekonomi dan pendidikan. Hal-hal yang sejatinya memang tidak terpisahkan.
Saya mengapresiasi kedatangan para tamu dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Mesir. Meskipun beliau-beliau menyampaikan bahwa maksud kedatangan mereka adalah untuk meresmikan Markaz Dakwah PCIM Mesir dan untuk banyak menimba inspirasi dari Mesir, namun sejatinya kami-lah yang justru mendapat kesempatan emas untuk belajar dari Muhammadiyah.
Sukses selalu Muhammadiyah! Selamat berkiprah untuk umat Islam dan peradaban manusia di dunia!
(Disampaikan pada pertemuan antara para cendekiawan dan ulama Mesir dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan para rektor Universitas Muhammadiyah pada hari Kamis, 5 April 2018 di Markaz Dakwah PCIM Mesir)