YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Selasa (10/04), sesepuh PP Muhammadiyah Buya Ahmad Syafii Maarif dan Muchlas Abror, berhadir di Grha Suara Muhammadiyah. Rapat rutin redaksi Majalah Suara Muhammadiyah yang diikuti dua tokoh ini berakhir ketika azan zuhur berkumandang. Dilanjutkan dengan shalat berjamaah di mushala lantai 3.
Muchlas Abror bertindak sebagai imam shalat, sementara Buya Syafii mengumandangkan iqamah sambil duduk di kursi pada barisan shaf pertama. Segenap karyawan Suara Muhammadiyah lainnya ikut bergabung. Seusai salam dan sejenak berzikir, Muchlas lantas membuka forum dan mempersilahkan Buya Syafii untuk menyampaikan kultum.
Buya memutar kursi berbalik ke arah jamaah dan memulai tausiyahnya, dengan membacakan QS. Al-Fath ayat 28. Terjemahannya, “Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” Ayat itu menjadi landasan bahwa umat Islam seharusnya menjadi umat pemenang dan unggulan.
“Ada ndak (kemenangan) itu sekarang? Atau ada ndak keadaan semacam itu sejak beberapa abad yang lalu? Kalau dalam perlombaan peradaban kalah terus, lalu bagaimana?” Bertubi pertanyaan ini membuat seisi mushala terperanjat, larut dalam pikiran masing-masing.
Buya Syafii mencoba menjelaskan maksud dari ayat itu dengan pertanyaan reflektif. Dalam kitab tafsir umumnya disebutkan bahwa al-maghzub dan al-dhallin yang terdapat dalam QS Al-Fatihah itu adalah Yahudi dan Nasrani. “Kita (umat Islam) tidak pernah salah. Orang yang benar harusnya menang, tidak pernah kalah,” sindir Buya. Dirinya mengapresiasi tafsir at-Tanwir PP Muhammadiyah yang menyatakan bahwa al-maghzub dan al-dhallin itu tidak menunjuk kelompok atau agama tertentu, tetapi yang dimaksud adalah perbuatan atau perilakunya. Al-maghzub dan al-dhallin bisa siapa saja jika perilakunya seperti kriteria yang dimaksud dalam ayat.
“Qur’an itu kalau kita tafsirkan, –yang saya ambilkan dari Kiai Makshum Klaten, muridnya Hasyim Asy’ari yang menjadi Muhammadiyah– takarannya ada dua: aqlun shalih dan qalbun salim. Kalau dua ini kita pakai, maka perbedaan paham tidak akan banyak. Tapi kan ada ego di belakang ini, ada latar belakang sejarah, paham, nenek moyang,” katanya. Pengalaman dan sentimen itulah yang banyak melekat dalam diri umat Islam, sehingga kadang tidak bisa legowo menerima kebenaran. “Itu yang saya dengar dari kiai Makshum di Mu’allimin,” katanya merujuk sumber.
Tidak cukup di situ, Buya Syafii melanjutkan bahwa Allah akan berpihak jika kita mau mendekat dan mengikuti petunjuk. “Dalam bacaan saya, lihat al-Qur’an, Allah itu tidak pernah netral dalam sejarah. Allah berpihak. Banyak sekali ayat,” katanya
Allah berpihak pada yang mau berubah, misalnya dalam ayat, “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu mau merubahnya,” atau ayat lainnya.
“Kalau Allah sudah berpihak, maka pasti menang. Menang bukan untuk menaklukkan. Tapi menang untuk menyebarkan nilai-nilai kebaikan. Yang dirasakan oleh semua makhluk, oleh semua manusia,” urainya.
Sekali lagi, Buya mempertanyakan, “Di mana keunggulan kita?” Sementara di dalam al-Qur’an disebut bahwa umat Islam itu sebagai khaira ummah (umat terbaik). Buya gelisah dengan kesenjangan antara idealitas Al-Qur’an dengan realitas kondisi umat Islam hari ini di seluruh muka bumi. Di mana-mana, umat Islam kalah.
Menghadapi realitas ini, Buya Syafii mengajak Muhammadiyah untuk lebih giat membangun keunggulan serta ikut serta menjadi penentu di negeri ini. Sebelum Muhammadiyah bisa berkonstribusi lebih banyak keluar, sekali lagi Buya Syafii mempertanyakan, “Sudah muncul tidak manusia-manusia unggul dari rahim Muhammadiyah atau biasa-biasa saja? Ada ndak kekhasan (alumni) yang keluar dari sekolah-sekolah Muhammadiyah? Yang mencerminkan liuzhirahu ala dini kulli (karakter islam yang patut disebut sebagai pemenang peradaban),” ujarnya.
“Jadi kalau Muhammadiyah yang modern, berkemajuan, begini-begini terus, ya kita akan begini-begini aja, kita tidak akan pernah diperhitungkan. Memang kita berjasa. Dari sisi amal, ada lah ya harapan untuk masuk surga, tapi di bumi kalah terus, gimana ini. Semua kita kalah, ekonomi kita kalah. Mengapa uang jinak sama China, liar sama kita?” tanya Buya Syafii.
Pemimpin Umum Suara Muhammadiyah ini sangat berharap Muhammadiyah menjadi pelopor bagi kemajuan peradaban Islam. “Diisi Islam Berkemajuan itu. Kalau tidak, maka kita akan begini-begini terus sampai tahun 3000,” kelakar Buya.
Menurutnya, teladan dari kiai Ahmad Dahlan yang berani melakukan perubahan dan gebrakan harus dilakukan oleh Muhammadiyah. “Kiai Dahlan itu ketib amin, dia bisa melawan arus, menurut saya itu revolusi. Dia berani menghadapi kiai penghulu dan segala macam itu,” katanya.
Mengapa Muhammadiyah harus mengambil peran ini? “Kalau tidak tampil dari Muhammadiyah manusia berkualitas tinggi, kita akan begini-begini saja. Kalau bangsa ini tersungkur, Muhammadiyah juga ikut tersungkur, karena ada di dalam ini. Sebelum tersungkur, Muhammadiyah jadi penentu dong,” ujar Buya Syafii.
Dalam pandangan Buya, Muhammadiyah tidak bisa terlalu lama diam saja menghadapi kondisi bangsa ini. “Kalau bangsa ini sudah semakin baik, Muhammadiyah tetap sebagai pembantu tidak apa-apa. Tapi Anda lihat sekarang, kerusakan lingkungan sudah luar biasa. Penguasaan aset juga semacam itu,” katanya. Sekadar imbauan moral yang selama ini dikeluarkan Muhammadiyah dianggapnya tidak cukup memberi perubahan.
Sebagai pembantu negara, kata Buya, Muhammadiyah loyal sekali. “Saya sampai punya pendapat, kalau negara membantu Muhammadiyah, sekolah atau rumah sakit, maka itu sebenarnya Muhammadiyah sedang membantu diri sendiri, sesuai dengan amanat konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Negara tidak mampu mengurus semuanya, maka dibantu oleh Muhammadiyah, NU, Taman Siswa,” katanya. (Ribas)