Islam Wasathiyah untuk Dunia
JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Ratusan ulama dan cendekiawan muslim berpengaruh dunia menghadiri Konsultasi Tingkat Tinggi tentang Islam wasathiyah di Bogor selama tiga hari, 1-3 Mei 2018. Pertemuan yang diikuti 50 ulama dan cendekiawan muslim Indonesia dan 50 lainnya dari sejumlah negara seperti Mesir, Australia, Tiongkok, Inggris, Kanada, dan Korea Selatan itu juga membuka peluang bagi menguatnya wawasan Islam moderat di tingkat global.
Utusan Khusus Presiden Joko Widodo untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban (UKP DAAP) Din Syamsuddin yang mengkoordinatori KTT ini menegaskan bahwa pertemuan di Bogor akan menghasilkan Pesan Bogor atau “Bogor Message” yang nantinya akan menjadi acuan bagi dunia.
Pesan Bogor, menurut Din Syamsuddin, tak hanya menawarkan Islam moderat sebagai solusi atas persoalan peradaban dunia tetapi sekaligus juga menjadi pengingat bagi umat Islam di mana pun agar mereka tak melenceng dari Islam moderat.
“Jangan terjebak dalam radikalisme, fundamentalisme, ekstremmisme. Marilah kita kembali ke wawasan yang sentral dalam Islam,” katanya seusai mendampingi Jokowi menerima kunjungan Imam Besar dan Grand Syeikh Al-Azhar Ahmad Muhammad Ath-Thayeb di Jakarta.
Pesan tersebut sangat relevan dengan kondisi umat Islam di banyak negara, terutama negara-negara berpenduduk mayoritas muslim yang tak kunjung keluar dari pusaran konflik dan peperangan. Sehingga, pertemuan para ulama ini memiliki arti sangat penting.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor, pada Selasa, 1 Mei 2018 meminta agar para ulama bersatu untuk membumikan Islam moderat di dunia. “Jika para ulama bersatu padu dalam satu barisan untuk membumikan moderasi Islam, saya optimistis poros wasathiyah Islam dunia akan menjadi arus utama, akan memberikan harapan bagi lahirnya dunia yang damai, yang aman, yang sejahtera, yang berkeadilan, dan menjadi gerakan Islam untuk mewujudkan keadailan sosial,” tutur Joko Widodo.
Jokowi optimis, forum ini akan membawa energi positif bagi menguatnya islam moderat di seluruh dunia. “Selain berbagi pengalaman, kita harus membangun gerakan. Gerakan wasathiyah Islam harus menjadi gerakan yang mendunia, yang dapat menginsipirasi para pemimpin, para ulama, para kaum muda, dan umat Islam agar tetap teguh pada jalur moderasi Islam,” ujar Jokowi.
Menurut Jokowi, Indonesia menyambut gembira menguatnya semangat moderasi dalam gerakan besar dunia Islam. “Kami menyambut gembira forum konsultasi tingkat tinggi ini agar kita bisa berbagi pengalaman dalam tasamuh (tenggang rasa) dan dalam mengembangkan toleransi agar kita berbagi pengalaman mengembangkan musywarah, agar kita berbagi pengalaman dalam tawasuf, dalam mengambil jalan tengah supaya kita mengambil pengalaman dalam menjadi pelopor kemaslahanan umat manusia,” ujar Jokowi.
Peran para ulama dianggap penting untuk menjadi suluh di tengah umat serta memberi keteladanan. “Keterlibatan ulama menjadi sangat penting karena ulama adalah pewaris nabi dan obor keteladanan bagi umat. Jika ulamanya bersatu padu dalam satu barisan untuk membumikan moderasi Islam, maka saya optimis poros wasathiyah Islam dunia akan menjadi arus utama, akan memberikan harapan bagi dunia yang aman, damai, sejahtera dan berkeadilan,” kata Jokowi.
Dalam kesempatan itu, Grand Sheikh Al-Azhar, Mesir, Ahmad Mohamad ath-Tayeb, menyampaikan apresiasi atas pertemuan ini. Syeikh juga mengapresiasi umat Islam Indonesia yang mampu menampilkan wajah Islam yang moderat.
Menurutnya, Islam Wasatiyah merupakan konsep dasar Islam yang tidak diragukan lagi. “Seolah tidak ada yang bisa dibicarakan lagi, karena sudah sering dibahas, topik yang lama selalu diperbaharui merupakan konsep dari wasatiyyah atau konsep yang merupakan dasar Islam,” ujar Grand Syekh.
Menurut Grand Syekh, Allah telah mengatakan bahwa umat Islam adalah umat yang adil. Sehingga umat Islam dalam kehidupan harus adil terhadap sesama. “Wasat adalah adil, sehingga umat Islam sebagai umat wasat adalah umat yang adil. Sudah banyak literatur mengenai wasat dengan keadilan,” ungkapnya.
Adil didefinisikan sebagai menempatkan sesuatu sesuai porsinya, tidak berlebihan, tidak ke kutub ekstrem, baik kanan maupun kiri. “Topik lama yang selalu diperbarui merupakan konsep wasatiyyat. Konsep agama Islam yang berjalan di jalan tengah. Allah sudah mengatakan umat Islam umat wasatiyyat dalam Alquran. Agar umat Islam jadi saksi, wasatiyyat adil,” ujar ulama Mesir yang berada dalam urutan pertama dari daftar 500 tokoh Islam paling berpengaruh di dunia 2018 (The Worlds Most Influential Muslim).
Sementara itu, ketua umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir juga memiliki pendapat serupa, namun menurutnya, Islam Wasathiyah yang dikembangkan harus dibarengi dengan spirit Islam yang Berkemajuan. Sekadar menjadi umat yang moderat tidak cukup, umat Islam harus unggul dan bisa mengambil momentum untuk memenangkan perlombaan peradaban.
Umat Wasathiyah, kata Haedar, sebenarnya merupakan karakter umum muslim baik di Indonesia maupun dunia, namun artikulasinya sering beragam dan tidak dimonopoli oleh satu kelompok. Selain itu, umat tengahan juga harus dinamis dan memiliki keunggulan sebagaiamana karakter “khaira ummah” untuk menjalankan misi dakwah “al amr bi al-ma’ruf”, “wa nahy ‘an al-munjar”, “wa tu’minuna billah” (QS Ali Imran: 110).
Secara khusus bahkan digambarkan dalam al-Quran bahwa “ummatan wasatha” itu harus menjadi “syuhadaa ‘ala al-nas” (QS al-Baqarah: 143), sehingga memberi mandat terbesar dan terbaik bagi dirinya, keluarganya, masyarakatnya, bangsanya, dan umat manusia di alam raya ini. Umat wasathiyah itu kesimpulannya harus menjadi “umat berkemajuan” sehingga dapat menjadi rahmatan lil-‘alamin bagi seluruh umat manusia dan lingkungannya (QS al-Anbiya: 107).
Dalam konteks kehidupan kontemporer yang kompleks itu, maka sungguh penting dan relevan kehadiran Islam Indonesia dan Islam dunia yang berkemajuan. “Umat Islam yang moderat harus tampil sebagai umat berkemajuan, bukan sebagai golongan yang besar sebatas jumlah. Apalah artinya besar secara kuantitas tetapi kalah dalam kualitas. Kata pepatah Arab, faaqid asy-syaiy la yu’thi, bahwa orang atau kelompok yang tidak memiliki sesuatu tidak mungkin dapat memberi sesuatu kepada pihak lain,” ungkap Haedar Nashir. (ribas)