Oleh: Muhammad Azhar
Saat ini, para ulama yang mewakili dunia Islam sedang berkumpul di Indonesia untuk berbincang dan saling sharing pengalaman tentang bagaimana pengamalan Islam dengan pendekatan moderat/ wasathiyyah (tidak ekstrim kanan maupun kiri), alias bukan model keberagamaan yang lebay.
Islam Indonesia yang kini populer dengan istilah “Islam Nusantara Berkemajuan” , dengan kekayaan SDA (17-an ribu pulau) dan kaya SDM (700 ratusan suku-bahasa) dan beberapa agama, sebenarnya telah memiliki pengalaman yang sangat kaya, baik secara struktural politik pemerintahan maupun kultural (integrasi keislaman, lokalitas kebudayaan dan kebangsaan/ nation state/NKRI).
Islam wasathiyyah dicirikan antara lain: moderat ( tawasuth), adil (‘adalah), toleransi (tasamuh), seimbang (tawazun) dll.
Islam wasathiyyah juga mengindikasikan adanya integrasi antara keislaman, kemodernan dan keindonesiaan. Mengapresiasi dan mengakomodasi lokalitas budaya yang dikenal dengan konsep Pribumisasi Islam dan Dakwah Kultural sebagai aplikasi dari konsep Imam Syafii ra, yakni: al-‘adatu muhakkamatun (adat-istiadat bisa dijadikan acuan hukum/fikih).
Dalam konteks rivalitas dan konfliktual dunia global sekarang ini, umat Islam Indonesia dapat mengaktualkan dan mentransformasikan potensi Islamic values atau Islam normatif ke wilayah Islam operatif atau penduniawian dan pembumian Islam di Indonesia, bahkan dunia.
Namun upaya tersebut harus melalui kreasi ijtihad yang sungguh-sungguh, meluas dan bernilai tinggi, serta membutuhkan pemikir muslim yang handal di dunia Islam. Dalam konteks ini, Muslim Indonesia punya kans yang sangat besar untuk mewujudkan Islam wasathiyyah tersebut, sebagaimana telah dikemukakan Mohammed Arkoun, mantan guru besar Sorbonne University (asal Aljazair):
“….. betapa kayanya dari segi budaya, dan betapa aslinya Islam di Indonesia dibandingkan dengan Islam Arab. Islam Arab sejak abad XIX telah menderita berbagai benturan keras yang banyak jumlahnya karena terjadinya hegemoni politik, ekonomi, dan budaya oleh bangsa Eropa di kawasan Laut Tengah; penjajahan, kemudian berbagai perang kemerdekaan bangsa, telah memaksa kaum Muslim untuk bertopang pada agama, di dalam mengembangkan suatu ideologi perjuangan. Indonesia telah banyak dilindungi oleh keadaan geografisnya, luas dan keanekaan pulau-pulaunya, bobot manusia yang menjadi penduduknya, koeksistensi yang didasari tenggang rasa dari beberapa kebudayaan agama. Berkat itulah, Islam Indonesia masa kini dapat memberikan berbagai teladan yang baik mengenai tenggang rasa dan kedamaian kepada Islam(-Islam) yang lebih militan, lebih aktivis yang memaksakan diri untuk hadir sejak tahun 60-an di beberapa negara Arab. Namun, Islam sebagai agama dan sebagai tradisi pemikiran, di mana-mana, jadi di Indonesia juga, menghadapi sejumlah besar tantangan intelektual dan ilmiah yang tidak hanya memerlukan tanggapan-tanggapan yang memadai, tetapi juga peningkatan menuju ruang-ruang baru bagi pemahaman, penafsiran dari segala masalah yang ditimbulkan oleh apa yang kita sebut kemodernan.” (Prof. Mohammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, Jakarta: INIS, 1994: 39).
Wallahu a’lam bisshawab.
*Penulis adalah anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah
Baca Juga:
Haedar Nashir: Forum HLC-WMS Positif Menggelorakan Islam Wasathiyah