Grand Syeikh Al Azhar: Sidik Jari tidak Ada yang Sama

Grand Syeikh Al Azhar: Sidik Jari tidak Ada yang Sama

Foto: Kemenag

SURAKARTA, Suara Muhammadiyah-Grand Syeikh Al Azhar Kairo, Mesir, Ahmad Muhammad Ath Thayyeb mengemukakan bahwa secara fitrah kemanusiaan, manusia itu beragam. Di tengah keberagaman, menjaga persatuan merupakan hal yang penting dilakukan. Ketika ada perbedaan SARA, keyakinan, ideologi, dan politik, maka seharusnya bukan alasan untuk saling membenci.

Jika Allah berkehendak, maka mudah saja menciptakan manusia yang seragam. Tetapi sejak awal, Allah menginginkan adanya keanekaragaman. “Sidik jari manusia satu dengan yang lain tidak ada yang sama. Ini sengaja diciptakan Allah demikian, kalau mau Allah bisa saja menyamakan sidik jari manusia tersebut,” katanya di Gedung Siti Walidah Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) di Pabelan, Kartasura, Sukoharjo, pada Rabu 2 Mei 2018. Selain di Gedung Siti Walidah, Syekh Ahmad juga berbicara di hadapan 1.000-an mahasiswa dan tamu undangan lainnya di GOR UMS.

Menurutnya, pemaksaan kehendak kepada orang agar mengikuti kehendaknya merupakan perbuatan yang tidak sepantasnya. Orang harus menghormati hak-hak orang lain dalam menentukan pilihan hidup. Adalah suatu kesalahan jika ada pihak yang memaksakan kehendak untuk menyamakan idiologi atau keyakinan. Umat yang ada tidak mungkin untuk dijadikan satu keyakinan. “Kita tidak mungkin bisa menggiring menjadi satu agama atau satu pemikiran,” tuturnya.

Grand Syeikh juga mengaku khawatir jika umat Islam hanya berfokus pada urusan politik praktis dan meninggalkan aktivitas keilmuan. “Saya berharap kita memperhatikan masalah tentang pengetahuan dengan perhatian yang sangat, literasi-literasi Islam, dan memperhatikannya dengan saksama, yang sangat disayangkan bila mana kita memperhatikan politik, namun kemudian kita meninggalkan aktivitas keilmuan kita,” ungkapnya.

Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin yang mendampingi Syeikh Ahmad menyambut baik kehadiran Grand Syeikh Al Azhar ke Indonesia dalam menebarkan nilai-nilai wasatiyyat. Hal itu perlu terus digaungkan lebih aktif. Sebab tantangan pada era globalisasi adanya praktik radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme. Menurutnya, kampus Al Azhar relevan dalam menyuarakan kerukunan umat.  Terlebih di tengah situasi tarikan paham agama ekstrem yang menguat. “Di era globalisasi, di tengah makin maraknya radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme, maka kita semua harus lebih proaktif menyebarluaskan nilai-nilai Wastahiyah Islam,” ujarnya.

Lukman Hakim mengapresiasi sumbangsih Muhammadiyah dalam menjaga nilai-nilai Wasathiyah Islam di Indonesia. Muhammadiyah bersama ormas Islam lainnya berperan signifikan dalam menyemai dan menebarkan paham dan pengamalan nilai-nilai Wasathiyah Islam. “Di tengah kemajemukan etnis, budaya, bahasa, dan agama, Indonesia dengan penduduk muslim terbesar di dunia ini mampu menerapkan nilai-nilai demokrasi, menjunjung tinggi HAM, membangun toleransi di tengah masyarakat yang majemuk, adalah karena sumbangsih peran ormas-oramas Islam seperti Muhammadiyah ini,” tutur Menag.

Turut hadir dalam forum itu antara lain sekretaris umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti dan rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta Sofyan Anif beserta jajarannya. (ribas)

Baca juga:

Islam Wasathiyah untuk Dunia

Haedar Nashir: Forum HLC-WMS Positif Menggelorakan Islam Wasathiyah

Islam Wasathiyyah

Islam Agama Welas Asih

Islam Indonesia, Antara Cita dan Fakta

Exit mobile version