Al-Hujurat dan Pesan Menghadirkan Islam sebagai Agama yang Menjunjung Akhlak Mulia
YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah– Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir mengajak umat Muslim untuk senantiasa mengaktualisasi nilai-nilai ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Pesan itu sesuai dengan tujuan risalah kenabian untuk menghadirkan Islam sebagai agama yang membangun akhlak mulia.
“Ibadah-ibadah yang kita kerjakan, selain sebagai sarana taqarub kepada Allah, juga membuat diri kita menjadi muslim yang baik, mukmin yang baik, dan naik tingkat menjadi orang bertakwa. Islam mengajari kita tentang akhlak. Agar membingkai dan menghiasi diri kita dengan akhlak al karimah,” tutur Haedar dalam Ceramah Tarawih di Masjid Syuhada Yogyakarta, pada Senin, 28 Mei 2018.
Guna menunjukkan pentingnya akhlak, Haedar mengetengahkan hadis, bahwa Nabi Muhammad diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia. “Nabi selain pembawa risalah juga merupakan uswah hasanah. Akhlak nabi sebagaimana disebut Aisyah, merupakan akhlak al-Qur’an,” kata Haedar.
“Akhlak adalah kecenderungan jiwa yang membentuk perilaku kita, kecenderungan itu bisa baik dan bisa buruk,” ungkapnya. Kecenderungan yang baik, disebut sebagai akhlak karimah dan kecenderungan yang buruk, yang berasal dari hawa nafsu, disebut dengan akhlak su’ (akhlak mazmumah).
Manusia diberikan dua kecenderungan: fujur dan takwa. Dalam menjalani kehidupan, sedapat mungkin manusia harus mengusahakan untuk senantiasa mengedepankan akhlak yang baik dan kecenderungan takwa. “Berupa sikap cinta kasih, sikap damai, welas asih, baik terhadap sesama, hatta terhadap mereka yang berbeda agama sekalipun,” ulas Haedar.
Ketua umum PP Muhammadiyah itu mengajak jamaah untuk merenungi Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 1-13, yang mengupas tentang akhlak. “Ayat ketiga, kita dilarang untuk mengeraskan suara di hadapan Nabi. Suara keras dalam makna verbal dan esensial,” katanya. Termasuk juga kata-kata yang dilarang adalah kata-kata kotor, kasar, kebencian, dan semisalnya.
“Ayat keempat, kita diminta untuk tabayyun,” katanya. Dalam ayat tersebut, muslim diajarkan untuk tidak mudah percaya pada informasi yang belum jelas sumbernya. Di zaman dunia digital, akhlak tabayyun menjadi relevan untuk dipraktekkan.
Pada ayat sembilan surat al-Hujurat, umat Islam diminta mendamaikan atau mengadakan islah di antara orang atau kelompok yang bertikai. “Sedapat mungkin kita jangan bertengkar, meskipun berbeda,” ujar Haedar. Berbeda pandangan merupakan hal biasa dan penyikapannya harus dengan akhlak mulia dan sikap dewasa.
Ayat sebelas, umat Islam diminta untuk tidak merendahkan sesama manusia, tidak saling memperolok. “Di dunia digital sekarang mudah sekali merendahkan orang lain,” ungkapnya. Oleh karena itu, ayat ini perlu dihadirkan dalam kehidupan.
Ayat dua belas, dilarang untuk berprasangka buruk, tajassus (mencari-cari kesalahan orang), ghibah, menggunjing, dan semisalnya.
Ayat ketiga belas, Allah memerintahkan untuk hidup harmoni di tengah perbedaan. Dalam keragaman, kata Haedar, kita diminta untuk taaruf, saling mengenal dan menjalin relasi positif dan produktif.
“Nilai-nilai utama dalam ajaran islam itu harus kita aktualisasikan dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, berbangsa dan bernegara,” ulas Haedar.
Terkait dengan dunia digital, Haedar mengajak jamaah untuk bijak memanfaatkan semua perangkat teknologi informasi. “Relasi kita tergantikan oleh dunia maya. Jangan sampai kita menjadi objek (maf’ul bih) dari gadget,” pesannya.
Di tengah proses digitalisasi manusia, ungkap Haedar, ujaran kebencian dan permusuhan merajalela. Manusia harus bisa mengendalikan efek negatif dunia digital. “Kita sebagai manusia, kita sebagai muslim, harus menjadi fa’il, jadi subjek, jadi khalifah fil ardh. Di situlah akhlak kita teruji,” jelasnya.
Oleh karena itu, kepada segenap umat Muslim, penting untuk membumikan pesan-pesan ajaran Islam yang luhur dalam semua aspek kehidupan. “Menghadirkan dakwah tabligh yang mencerahkan, menghadirkan Islam sebagai agama yang membangun akhlak utama, akhlak mulia sebagaimana sebab diutusnya Nabi Muhammad,” tukas Haedar Nashir. (ribas)