SURAKARTA, Suara Muhammadiyah – Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Hajriyanto Y Thohari menghimbau agar para kader Muhammadiyah memasuki koridor-koridor mainstream penyelenggaraan negara baik di ranah legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Menurut Hajriyanto, kader yang terdorong aktif dalam peran-peran penyelenggaraan negara janganlah diberi predikat negatif, misalnya dilabeli “bersyahwat kekuasaan,” dengan konotasi untuk melayani kepentingan pribadi.
“Para kader justru harus didorong mengambil peran-peran penting,” ungkapnya dalam Silaturrahmi dan Halal Bi Halal keluarga besar Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Sabtu (23/6).
Ia mengatakan, pengertian kader Muhammadiyah disini harus diartikan bukan hanya kader inti yang struktural, tapi kader dalam pengertian “extended” yang lebih luas. Menurutnya, ada lima alasan mengapa kader Muhammadiyah harus berada dalam penyelenggaraan NKRI.
Pertama, urgensi historis di mana tiga dari tokoh negarawan pendiri bangsa Indonesia berasal dari Muhammadiyah yaitu Ki Bagus Hadikusumo (Ketua Umum PP Muhammadiyah ke-5), KH Abdul Kahar Muzakir (Ketua II PP Muhammadiyah), dan Kasman Singodimejo (Ketua IV PP Muhammadiyah).
“Jadi, kader Muhammadiyah masa kini yang masuk ke arus utama negara, sebetulnya sedang meneruskan warisan para tokoh besar tersebut. Muhammadiyah jangan jauh-jauh dari gelanggang penyelenggaraan negara. Dari awal berdirinya sampai awal kemerdekaan Indonesia, peran Muhammadiyah sangat besar dan penting,” terang Hajriyanto.
Kedua, urgensi teologis. Ajaran Islam tidak menyetujui sekularisme di mana peran agama dipisahkan dari penyelenggaraan negara. “Sejarah Islam adalah sejarah kenegaraan. Karenanya, kader Muhammadiyah harus berpartisipasi aktif dalam pengelolaan negara sebagai wujud mengamalkan ajaran Islam,” tutur mantan Wakil Ketua MPR RI tersebut.
Ketiga, urgensi teleologis. Tujuan akhir dari penegakan ajaran Islam adalah untuk menciptakan masyarakat utama yang sebenar-benarnya serta berkemajuan. Tujuan ini tak akan bisa dicapai dengan cara menjauhi negara.
Keempat, urgensi psikologis. Kader berkiprah dalam penyelenggaraan nNegara didorong oleh rasa psikologis berupa harapan, keihklasan, dan komitmen bahkan militansi. Saat kader mampu memberi andil dan kontribusi pada tujuan itu melalui kiprah penyelenggaraan negara, maka akan muncul rasa kepuasan psikologis yang sangat bermakna. “Jadi, kita harus dukung hal ini, misal kita punya harapan pembenahan sistem pendidikan melalui peran strategis yang diamanahkan kepada Pak Muhadjir Effendy, dan contoh-contoh lainnya,” imbuhnya.
Kelima, urgensi pragmatis. Kemampuan dan visi untuk mendorong percepatan perubahan sosial yang positif, dan untuk perbaikan-perbaikan bagi banyak persoalan masyarakat dan kebangsaan. Hal ini melalui andil menyusun kebijakan-kebijakan strategis, pelaksanaannya dan pengawasannya.
Dalam kesempatan tersebut, Hajriyanto juga menyarankan perlunya jalur-jalur baru dalam rekrutmen kader Muhammadiyah, misal melalui Amal Usaha Muhammadiyah. Dalam konteks PTM, maka UMS juga tentu harus mempromosikan kader-kadernya dalam jalur 3 pilar kenegaraan tersebut.
“Sudah ada beberapa contoh kader UMS yang memasuki koridor negara, misalnya Prof Aidul Fitriciada sebagai Ketua Komisi Yudisial. Ke depan, peran universitas sebagai agen pembaharuan dan perubahan akan semakin penting dan karenanya harus dipromosikan, terlebih dengan tantangan-tantangan yang makin kompleks,” tandasnya.
Salah satu tantangan, masih menurut Hajriyanto, misalnya isu radikalisme di kampus yang tidak akan selesai hanya melalui pendekatan teologis. Karenanya, radikalisme dapat dihadapi melalui program-program pembenahan strategis melalui Negara.
“Peran dan kontribusi kader Muhammadiyah melalui negara tak harus lewat partai politik, ada banyak jalan lain, asal kita berkomitmen sungguh-sungguh dan tekun memperjuangkannya, maka kita akan sampai ke sana,” pungkasnya.(yk/rzq)