JAKARTA, Suara Muhammadiyah- Dalam konteks Indonesia yang multikultur, paham kebhinnekaan perlu terus dilestarikan. Bangunan kebangsaan yang terjalin erat dari banyak unsur berbeda telah menjadikan rumah Indonesia laksana mozaik. Ahmad Syafii Maarif menyatakan bahwa manusia Indonesia tidak perlu takut untuk membicarakan perbedaan. Justru, relasi produktif yang melampaui toleransi pasif antar unsur berbeda perlu terus dihadirkan.
Demikian antara lain poin yang disampaikan dalam Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif, di Bogor, pada 24 Juli 2018. Sejumlah narasumber telah hadir menyampaikan pikiran-pikirannya bagi para peserta SKK ASM yang diselenggarakan Maarif Institute.
Buya Syafii menyampaikan bahwa bangsa ini dibangun di atas fondasi kebinekaan. Oleh karena itu, keberanian merayakan perbedaan harus menjadi modal utama untuk persatuan bangsa ini. “Mari kita bicara perbedaan. Tapi jangan rusak perumahan kemanusiaan dan rumah kebangsaan,” ujarnya. Ini artinya semangat perbedaan harus mampu menyatukan dan mengutuhkan bangsa ini.
Buya Syafii ingin agar semua anak bangsa ikut mengembangkan sikap terbuka, inklusif, dan memberi solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa dan Negara. Antar berbagai elemen kebangsaan dan kemanusiaan yang beragam ini harus ditanamkan budaya berlomba dalam kebaikan. Al-Quran memberikan solusi dalam mengelola perbedaan, maka harus dikembangkan fastabiqul khairat, compete in goodness.
“Ketika Islam diaplikasikan dalam konteks keindonesiaan, maka akan memunculkan sebuah Islam yang ramah, terbuka, inklusif, dan mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa. Islam membutuhkan sarana sejarah untuk mewujudkan cita-cita moralnya yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Sarana itu tidak lain adalah Negara,” kata Buya. Mengamalkan falsafah dan nilai-nilai Pancasila sebagai kunci.
Sementara itu, Yudi Latif juga memberikan perspektif baru dalam membaca Pancasila. Menurutnya, Pancasila sebagai dasar Negara, selama ini sering dipandang secara kaku dan teralienasi dari generasi milenial. “Penanaman nilai-nilai Pancasila kepada generasi muda, perlu dilakukan secara lebih kreatif dan interaktif agar dasar berbangsa dan bernegara itu tak lekang oleh zaman,” tuturnya.
Yudi mengingatkan bahwa setiap generasi memerlukan pemahaman Pancasila seutuhnya. Sehingga membumi dalam keseharian masyarakat. “Pancasila, merupakan titik temu, titik pijak, sekaligus titik tuju dalam setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika warna-warna Indonesia tidak memiliki alat pemersatu, maka masa depan bangsa Indonesia menjadi kabur dan tidak jelas arah dan tujuannya”, paparnya.
Dalam kesempatan itu, Yudi juga bercerita tentang sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Titik penting dari berketuhanan cara Indonesia, kata Yudi, adalah berketuhanan dengan beradab dengan kebudayaan, berketuhanan yang tidak egois sambil menyalah-nyalahkan Tuhan dan agama orang lain.
Dalam dinamika kebangsaan hari ini, pesan untuk menggelorakan nilai-nilai luhur Pancasila menjadi penting. Sehingga Pancasila tidak hanya dihidupkan dalam retorika, tetapi juga dalam kehidupan nyata, secara bersama, dan oleh semua. (ribas/maarif)