FUKUOKA, Suara Muhammadiyah-Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah bidang Tarjih dan Tabligh, Prof Yunahar Ilyas bersama Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dr Agung Danarto melakukan lawatan ke Negeri Sakura, Jepang pada 21 hingga 24 Juli 2018.
Salah satu agendanya berupa silaturahim dengan Japan Muslim Association (JMA). Pada pertemuan tersebut, JMA yang diwakili oleh Direkturnya Amin Tokumasu, dan Pembina JMA Khalid Higuchi, memaparkan komitmen JMA dalam menghadirkan wajah Islam yang rahmatan lil alamin di Jepang.
Yunahar Ilyas dalam kesempatan tersebut menjelaskan bahwa Muhammadiyah memiliki komitmen dan prinsip menghadirkan Islam berkemajuan. Islam progresif dimaknai sebagai Islam yang bisa merahmahmati dirinya dan sekitarnya. Tidak hanya di Indonesia, gaungnya coba ditebar hingga ke manca negara. “Salah satu bentuk komitmen Muhammadiyah dalam menghadirkan islam berkemajuan yakni dengan mendirikan sekolah di Melbourne dan Perguruan Tinggi di Malaysia,” tutur Yunahar.
JMA mengapresiasi kiprah Muhammadiyah tersebut. “JMA akan turut memberikan dukungan atas niat baik Muhammadiyah dalam memajukan Islam di dunia internasional, yang salah satu caranya yakni dengan menghadirkan pandangan Islam berkemajuan melalui pendirian lembaga pendidikan,” ujar Tokomasu.
Pada Sabtu, 21 Juli 2018, Yunahar Ilyas mengisi kajian gabungan musim panas di Masjid Al-Nor Fukuoka, Jepang. Yunahar menyampaikan bahwa dalam memahami makna ayat-ayat al-Quran, kita tidak bisa hanya mengandalkan terjemahannya saja, perlu diperkaya dengan membaca uraian tafsir. “Sebagai umat islam kita perlu belajar tentang tafsir Al-Quran dengan ulumul quran, tafsir dan haditsnya,” jelas Yunahar.
Kajian para ulama tentang nash-nash dalam al-Qur’an dan Hadis dapat diturunkan dalam tiga klasifikasi, yaitu bidang akidah, fiqih, dan akhlak. Al-Qur’an sebagai kitab suci dari Allah memiliki kebenaran absolut, tetapi pemahaman atau tafsir terhadap al-Qur’an yang dilakukan oleh manusia, sifatnya menjadi relatif.
“Ilmu-ilmu tersebut absolut kebenarannya, tetapi karena dalam memahami Al-Quran dan Hadits, masing-masing orang pemikirannya tidak absolut, banyak yang berbeda, tergantung lingkungan, pandangan, dan kedalaman ilmunya,” ulasnya. Perbedaan itu berada dalam wilayah ekspresi keagamaan yang sifatnya cabang atau furu’.
Guru besar ilmu al-Qur’an itu mengingatkan bahwa perbedaan itu adalah hal biasa, yang penting kita saling menghormati satu sama lain. Setiap orang harus memahami keterbatasannya untuk menjangkau ilmu Allah yang maha luas. Masing-masing manusia hanya berusaha memahami menurut kadar dan jangkauannya. (ribas/ppm)