Kapan Muhammadiyah ber-Idul adha? Seiring dekatnya bulan Dzulhijjah, pertanyaan ini semakin sering terkirim ke redaksi Suara Muhammadiyah. Apalagi ada kabar bahwa Kerajaan Saudi Arabia telah mengumumkan kalau wukuf pada hari Senin (20 Agustus) yang berarti Idhul Adha tanggal 21 Agustus 2018. Sebenarnya, pada tanggal 21 J Akhirah 1439/ 09 Maret 2018, atau lima setengah bulan yang lalu, PP Muhammadiyah telah mengumumkan kapan Idhul Adha tahun ini tiba.
Pengumuman itu termaktub dalam Maklumat NOMOR: 01/MLM/I.0/E/2018 tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah 1439 Hijriah yang ditandatangani Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, dan Sekretaris Umum, Abdul Mu’ti.
Dalam maklumat itu tercantum bila Idul Adha tahun ini jatuh pada hari Rabu Wage, 22 Agustus 2018. Penetapan tanggal itu didasarkan pada perhitungan hisab wujudul hilal yang menghasilkan data astronomis sebagai berikut:
- Ijtima’ jelang Dzulhijah1439 H terjadi pada hari sabtu Pon, 11 Agutus 2018 M pukul 17:00:24 WIB.
- Tinggi Bulan pada saat terbenam Matahari di Yogyakarta (-00° 37’, 58” LS 110°21BT ) = -0°37’58” (hilal belum wujud), dan di seluruh wilayah Indonesia pada saat terbenam Matahari itu Bulan berada di bawah ufuk.
- Dengan data astronomi seperti ini, maka ditetapkan
- 1 Dzulhijah1439 H jatuh pada hari Senin Kliwon, 13 Agustus 2018 M.
- Hari Arafah (9 Dzulhijah1439 H) hari Selasa Pon, 21 Agustus 2018 M.
- Iduladha (10 Dzulhijah1439 H) hari Rabu Wage , 22 Agustus 2018 M.
Melihat data hisab yang ada, tahun ini hampir dapat dipastikan tidak akan ada perbedaan penetapan hari raya idhul adha. Hilal Dzulhijjah saat tanggal 29 Dzulqa’dah masih belum wujud, sehingga tidak mungkin kelihatan ketika dilakukan rukyat dengan model apapun.
Bagaimana kalau berbeda dengan Arab Saudi?
Sikap dan Pandangan Muhammadiyah jika Arafah berbeda dengan Pemerintah Saudi
Apakah Puasa Arafah harus dikerjakan bersamaan dengan jama’ah haji yang sedang berwukuf ?
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ
“Puasa hari Arafah aku berharap kepada Allah agar penebus (dosa) setahun sebelumnya dan setahun sesudahnya” (HR Muslim no 197)
Kalangan ulama berbeda pendapat terkait dengan makna kalimat
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ َ
“Puasa hari Arafah…”.
Pendapat pertama mengatakan bahwa puasa Arafah adalah puasa yang dilaksanakan bersamaan dengan wukufnya para jama’ah haji di padang Arafah.
Pendapat Kedua menyatakan bahwa puasa Arafah adalah puasa yang dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah sesuai dengan kalender bulan Dzulhijjah pada masing-masing wilayah.
Pembahasan dan Kajian:
Masalah tersebut adalah masalah khilafiyah fiqhiyah, sehingga dibutuhkan adanya kelapangan dada untuk legowo dalam menghadapi permasalahan ini, tidak perlu ngotot apalagi menuduh orang yang berbeda pendapat dengan tuduhan yang tidak-tidak. Kita hadapi permasalahan tersebut dengan saling berlapang dada. Jika setiap permasalahan khilafiyah kita ngotot maka kita akan selalu ribut.
Permasalah tersebut pada dasarnya berangkat dari dasar yang sama, hanya berbeda dalam memahami teksnya saja. Jika seandainya Nabi saw. dalam hadits tersebut bersabda “Puasa Arafah lah kalian ketika para jam’ah haji sedang wukuf di padang Arafah”, tentu tidak akan muncul persoalan.
Akan tetapi karena sabda nabi saw. berbunyi
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ
“Puasa hari Arafah…”, maka muncullah perbedaan dalam memahami sabda Nabi tersebut, apakah maksudnya adalah “hari dimana para jama’ah haji sedang wukuf di Arafah”? ataukah yang dimaksud adalah “hari tanggal 9 Dzulhijjah, yang dinamakan dengan hari Arafah?”.
Alasan Pendapat Pertama:
Puasa Arafah adalah amalan yang disunnahkan bagi orang yang tidak berhaji.
Dari Abu Qotadah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ
“Puasa hari Arafah aku berharap kepada Allah agar penebus (dosa) setahun sebelumnya dan setahun sesudahnya” (HR Muslim no 197)
Imam Nawawi dalam Al Majmu’ (6: 428) berkata, “Adapun hukum puasa Arafah menurut Imam Syafi‟i dan ulama Syafi‟iyah: disunnahkan puasa Arafah bagi yang tidak berwukuf di Arafah.
Adapun orang yang sedang berhaji dan saat itu berada di Arafah, menurut Imam Syafi‟ secara ringkas dan ini juga menurut ulama Syafi‟iyah bahwa disunnahkan bagi mereka untuk tidak berpuasa karena adanya hadits dari Ummul Fadhl.”
Ibnu Muflih dalam Al Furu‟ -yang merupakan kitab Hanabilah- (3: 108) mengatakan, “Disunnahkan melaksanakan puasa pada 10 hari pertama Dzulhijjah, lebih-lebih lagi puasa pada hari kesembilan, yaitu hari Arafah. Demikian disepakati oleh para ulama.”
Adapun orang yang berhaji tidak disunnahkan untuk melaksanakan puasa Arafah, berdasarkan Riwayat:
عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ بِنْتِ الْحَارِثِ أَنَّ نَاسًا تَمَارَوْا عِنْدَهَا يَوْمَ عَرَفَةَ فِي صَوْمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ صَائِمٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَيْسَ بِصَائِمٍ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِقَدَحِ لَبَنٍ وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى بَعِيرِهِ فَشَرِبَهُ
“Dari Ummul Fadhl binti Al Harits, bahwa orang-orang berbantahan di Hari dekatnya pada hari Arafah tentang puasa Nabi shallallahu „alaihi wa sallam. Sebagian mereka mengatakan, Beliau berpuasa. ‟Sebagian lainnya mengatakan, Beliau tidak berpuasa.‟ Maka Ummul Fadhl mengirimkan semangkok susu kepada beliau, ketika beliau sedang berhenti di atas unta beliau, maka beliau meminumnya.” (HR. Bukhari no. 1988 dan Muslim no. 1123).
Juga hadits lain:
عَنْ مَيْمُونَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ النَّاسَ شَكُّوا فِى صِيَامِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – يَوْمَ عَرَفَةَ ، فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِحِلاَبٍ وَهْوَ وَاقِفٌ فِى الْمَوْقِفِ ، فَشَرِبَ مِنْهُ ، وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ
“Dari Maimunah radhiyallahu’anha, ia berkata bahwa orang-orang saling berdebat apakah Nabi shallallahu „alaihi wa sallam berpuasa pada hari Arafah. Lalu Maimunah mengirimkan pada beliau satu wadah (berisi susu) dan beliau dalam keadaan berdiri (wukuf), lantas beliau minum dan orang-orang pun menyaksikannya.” (HR. Bukhari no. 1989 dan Muslim no. 1124).
Alasan Pendapat Kedua,
Menyatakan bahwa puasa Arafah adalah puasa yang dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah sesuai dengan kalender bulan Dzulhijjah pada masing-masing wilayah.
Pendapat yang ke dua inilah yang diikuti Majelis Tarjih PP Muhammadiyah.
Pandangan Muhammadiyah terkait Puasa Arafah
Muhammadiyah dalam hal ini memahami bahwa puasa Arafah adalah puasa yang dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah sesuai dengan kalender bulan Dzulhijjah pada di wilayah Indonesia sesuai dengan hasil perhitungan metode hisab wujudul hilal.
Oleh karena itu, puasa Arafahnya tidak harus bersamaan dengan jama’ah haji yang sedang berwukuf di Arafah, ketika terjadi perbedaan hari antara Muhammadiyah dan pemerintah Arab Saudi.
Beberpa argumentasi dapat dikemukakan untuk mendukung pemahaman Muhammadiyah tersebut, yaitu :
PERTAMA :
Rasulullah saw. telah menamakan puasa Arafah meskipun kaum muslimin belum melaksanakan haji, bahkan para sahabat telah mengenal puasa Arafah yang jatuh pada 9 dzulhijjah meskipun kaum muslimin belum melasanakan haji.
Dalam sunan Abu Dawud :
عَنْ هُنَيْدَةَ بْنِ خَالِدٍ عَنْ امْرَأَتِهِ عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنْ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ
Dari Hunaidah Ibn Khalid, dari istrinya, dari salah seorang istri Nabi saw [diriwayatkan bahwa] ia berkata: Adalah Rasulullah saw melakukan puasa pada sembilan hari bulan Zulhijah, hari Asyura, tiga hari setiap bulan, dan hari Senin dan Kamis pertama setiap bulan [HR Abu Dawud, Ahmad, dan al-Baihaqi; disahihkan oleh al-Albani dan didaifkan oleh al-Arna’ut].
Hadits di atas menunjukkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terbiasa puasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah.
Tatkala mengomentari lafal hadits yang berbunyi :”Orang-orang (yaitu para sahabat) berselisih tentang puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (tatkala di padang Arafah)”,
Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata : “Ini mengisyaratkan bahwasanya puasa hari Arafah adalah perkara yang dikenal di sisi para sahabat, terbiasa mereka lakukan tatkala tidak bersafar. Seakan-akan sahabat yang memastikan bahwasanya Nabi berpuasa bersandar kepada kebiasaan Nabi yang suka beribadah. Dan sahabat yang memastikan bahwa Nabi tidak berpuasa berdalil adanya indikasi Nabi sedang safar” (Fathul Baari 6/268)
Perlu diketahui bahwa Nabi saw. hanya berhaji sekali yaitu pada saat haji wadaa’- dan ternyata Nabi dan para sahabat sudah terbiasa puasa di hari Arafah meskipun tidak ada dan belum terlaksananya wukuf di padang Arafah oleh umat Islam pada saat itu. Hal itu menujukan bahwa konsentrasi penamaan puasa Arafah tidak karena adanya orang sedang berwukuf di Arafah, tapi puasa yang dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah.
KEDUA :
Kita bayangkan bagaimana kondisi kaum muslimin -taruhlah- sekitar 200 tahun yang lalu, sebelum ditemukannya telegraph, apalagi telepon.
Maka jika puasa Arafah penduduk suatu negeri kaum muslimin harus sesuai dengan wukufnya jama’ah haji di padang Arafah, maka bagaimanakah puasa Arafahnya penduduk negeri-negeri yang jauh dari Makkah seperti Indonesia, India, Cina dll 200 tahun yang lalu? apalagi 800 atau 1000 tahun yang lalu?.
Demikian juga bagi yang hendak berkurban, maka sejak kapankah ia harus menahan untuk tidak memotong kuku dan mencukur rambut?, dan kapan ia boleh memotong kambing kurbannya?, apakah harus menunggu kabar dari Makkah? yang bisa jadi datang kabar tersebut berbulan-bulan kemudian?
KETIGA :
Jika memang yang ditujukkan adalah menyesuaikan dengan waktu wukufnya para jama’ah haji di padang Arafah (dan bukan tanggal 9 Dzulhijjah berdasarkan masing-masing negeri), maka bagaimanakah cara berpuasanya orang-orang di Sorong Irian Jaya, yang perbedaan waktu antara Makkah dan Sorong adalah 6 jam?.
Jika penduduk Sorong harus berpuasa pada hari yang sama -misalnya- maka jika ia berpuasa sejak pagi hari (misalnya jam 6 pagi WIT) maka di Makkah belum wukuf tatkala itu, bahkan masih jam 12 malam.
Dan tatkala penduduk Makkah baru mulai wukuf -misalnya jam 12 siang waktu Makkah-, maka di Sorong sudah jam 6 maghrib?. Lantas bagaimana bisa ikut serta menyesuaikan puasanya dengan waktu wukuf??
KEEMPAT :
Jika seandainya terjadi malapetaka atau problem besar atau bencana atau peperangan, sehingga pada suatu tahun ternyata jama’ah haji tidak bisa wukuf di padang Arafah, atau tidak bisa dilaksanakan ibadah haji pada tahun tersebut, maka apakah puasa Arafah juga tidak bisa dikerjakan karena tidak ada jama’ah yang wukuf di padang Arafah?
Jawabannya tentu tetap boleh dilaksanakan puasa Arafah meskipun tidak ada yang wukuf di padang Arafah. Ini menunjukkan bahwa puasa Arafah yang dimaksudkan adalah pada tanggal 9 Dzulhijjah.
Maka barang siapa yang satu mathla’ dengan Makkah dan tidak berhaji maka hendaknya ia berpuasa di hari para jama’ah haji sedang wukuf di padang Arafah karean pada saat itu di Makkah sudah tanggal 9 Dzhulhijjah, akan tetapi jika ternyata mathla’nya berbeda -seperti penduduk kota Sorong- maka ia menyesuaikan 9 dzulhijjah dengan kalender di Sorong.
Intinya permasalahan ini adalah permasalahan khilafiyah.
Meskipun Muhammadiyah lebih condong kepada pendapat kedua -yaitu setiap negeri menyesuaikan 9 dzulhijjah berdasarkan kalender masing-masing negeri-, tetapi Muhammadiyah menyadari ada juga pendapat pertama yang tentu juga punya argumen kuat
Permasalahan seperti ini sangatlah tidak pantas untuk dijadikan ajang untuk saling memaksakan pendapat, apalagi menuding dengan tuduhan kesalahan manhaj atau kesalahan aqidah dan sebagainya.
Semoga Allah mempersatukan kita di atas ukhuwwah Islamiyah yang selalu berusaha untuk dikoyak oleh syaitan dan para pengikutnya.
Kritik Muhammadiyah Atas Ketidakpastian Metode Rukyat
Memang naif ketika bangsa Barat telah puluhan tahun lalu menginjakkan kaki di bulan, umat Islam di Indonesia kini masih meributkan soal penampakan bulan baru. Begitu kira-kira suara sebagian masyarakat.
Muhammadiyah sendiri tentu punya alasan mengapa lebih memilih metode hisab.
Penentuan bulan baru dengan rukyat dianggap sudah tidak relevan saat teknologi satelit dan ilmu astronomi berkembang pesat. “Penentuan bulan baru dengan rukyat dianggap sudah tidak relevan saat teknologi satelit dan ilmu astronomi berkembang pesat”
Bagaimanapun, rukyat tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif.
Konsekuensinya, umat islam tidak bisa menata waktu pelaksanaan ibadah secara selaras di seluruh dunia. (lihat: Penjelasan Teknis Hisab Muhammadiyah).
Bagaimanapun Rukyat tidak dapat memastikan penanggalan jauh ke depan karena awal bulan hanya bisa diketahui pada H-1 melalui pengamatan langsung. Konsekuensinya umat Islam tidak akan punya kalender yang pasti.
Meski umat Islam banyak mengacu pada Kalender Ummul Qura yang juga secara resmi digunakan Saudi, namun dalam penentuan bulan-bulan ibadah masih menggunakan Rukyat sebagai acuan.
Akibatnya, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global.
Seperti kasus tahun 2014 lalu, pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat melihat hilal (Saudi), tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat melihat (Indonesia).
Rukyat pada akhirnya justru memaksakan perbedaan umat Islam dalam menentukan hari raya.
“Akibatnya, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global”
Muhamamdiyah percaya, solusi problematika penetapan bulan Qamariah di kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap metode hisab dalam penetapan awal bulan Qamariah, sebagaimana penggunaan metode hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat lima waktu. (Mjr/Rizq)