MALANG, Suara Muhammadiyah – Bangsa Indonesia sudah 73 tahun menjadi bangsa yang merdeka. Selama itu pula bangsa ini telah mengalami berbagai kemajuan di banyak hal. Misalnya dalam kehidupan berdemokrasi dan hak asasi manusia, juga pertumbuhan ekonomi. Semangat persatuan dan kemajemukan juga terpelihara. Namun, sampai hari ini, PR bangsa ini belum selesai. Sampai hari ini masih terlalu banyak persoalan rumit bangsa ini yang harus segera diselesaikan.
Di antara masalah bangsa yang masih menghantui itu adalah adanya korupsi yang kian massif, penegakan hukum yang lemah, kesenjangan sosial yang kian melebar, dan sumber daya alam yang dieksploitasi dan dikuasai asing, serta lain-lainnya yang berdampak luas pada kehidupan berbangsa menjauh dari cita-cita nasional.
Itulah sebagian dari isi pidato kebangsaan yang disampaikan ketua Umum PP Muhammadiyah, di Dome Universitas Muhamadiyah Malang, Ahad (12/8).
Dengan mengutip Pidato Bung Karno dalam sidang BPUPK tahun 1945, “Kita hendak mendirikan suatu negara semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua,” Haedar Nashir mengajak semua anak bangsa untuk merefleksikan kembali makna ke-Indonesiaan.
“Hendak dibawa ke mana kepulauan anugerah Tuhan ini oleh seluruh elite dan warga bangsa menuju cita-cita negara idaman, negeri Gemah Ripah Lohjinawi,” ujar Haedar di hadapan ribuan undangan yang menyesaki Dome UMM tersebut.
Dalam pidato yang disampaikan menyambut peringatan Hari Kemerdekaan ke-73 Republik Indonesia tersebut, Haedar Nashir juga mengingatkan kalau Seluruh warga bangsa ini mempunyai tanggung jawab untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara-bangsa yang benar-benar merdeka, bersatu, berdaulat, maju, adil, dan makmur. Sudah barang tentu, tangung jawab yang lebih besar terletak di pundak bagi para pemimpin bangsa, selaku pemangku amanat utama bangsa dan Negara.
Namun, politik liberal yang transaksional dan semata berorientasi pada kekuasaan telah menjadikan kehidupan kebangsaan ini kehilangan jiwa, rasa, etika, kehormatan. Padahal sifat kenegarawanan yang sesungguhnya sangat penting bagi tegaknya politik berkeadaban.
Kondisi perpolitikan ini menghasilkan sebuah pemandangan yang cukup tidak elok bagi bangsa ini. “Akibatnya dunia politik berada di tangan aktornya yang tamak dan tidak pernah akil-baligh itu menghasilkan panorama Indonesia bak padang sahara yang kering dari sukma agama, Pancasila, dan nilai-nilai luhur bangsa,” ujar Haedar.
Haedar juga mengkritik perilaku politik yang hanya menggunakan agama, pancasila, dan tata nilai mulia lainnya sekedar sebagai gincu. “Sementara itu nilai-nilai agama, Pancasila dan kebudayaan Nusantara hanya sebatas menjadi narasi-narasi retoris yang diproduksi hanya untuk sekedar membangun citra diri nan indah. Bak sayap burung merak di taman bunga Indonesia, minus aktualisasi yang bergaris lurus antara idealita dan dunia nyata,” tandas Haedar.
“Kita tentu tidak ingin karena inkonsistensi para elite dan warganya yang banyak memproduksi perangai berlawanan dengan kebenaran, kebaikan, kepatutan di atas pondasi iman dan taqwa yang aktual,” jelas Haedar sambil menyatakan bahwa jika hal ini terjadi, Indonesia menjadi kehilangan peluang untuk maju membangun peradaban, bahkan menjauh dari berkah Tuhan yang telah digaris dalam Al-Quran Surat al-A’raf ayat 96 “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
“Merah putih dan hitamnya umat dan bangsa itu tergantung pemimpinnya. Pemimpin itu jantung dan kepala dari tubuh manusia. Jika pemimpin itu baik, maka baiklah umat dan bangsa ini. Begitu juga sebaliknya, nasib umat dan bangsa ini akan nestapa manakala para pemimpinnya berperangai buruk, khianat dan ugal-ugalan,” tegas Haedar.
Dalam pidato yang bertema “Meneguhkan Nilai-nilai Kebangsaan yang Berkemajuan Menyongsong Indonesia Emas”, tersebut Haedar juga menyatakan, masih banyak elite dan warga bangsa yang memiliki pikiran dan hati jernih, untuk membangun Indonesia yang berkemajuan dalam bingkai cita-cita luhur dan masa depan peradaban bangsa.(Mjr/Rizq)