Pidato Kebangsaan Haedar Nashir 73 Tahun Indonesia (Teks Lengkap)

Pidato Kebangsaan Haedar Nashir 73 Tahun Indonesia (Teks Lengkap)

Ketua Umum PP Muhammadiyah Dr Haedar Nashir MSi (Dok PP Muh) Berbatik Nasional Muhammadiyah

73 TAHUN INDONESIA 

MEMAKNAI KEINDONESIAAN

 MENTRANSFORMASIKAN KEPEMIMPINAN BANGSA

Oleh Dr Haedar Nashir

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Indonesia adalah anugerah Allah termahal di muka bumi ini. Negara kepulauan ini terbentang luas antara benua Australia dan Asia dalam gugusan terpanjang, yang iklimnya sangat ditentukan oleh angin musim. Sejarawan Bernard Vlekke menuliskan ketakjubannya, betapa luas wilayah Indonesia, suatu kawasan kepulauan setengah juta kilometer persegi lebih luas dibanding tanah yang membentuk Amerika Serikat kontinental tanpa Alaska. Semua pulau dipersatukan oleh lautan, yang jarak antar pulau layaknya lintasan antarnegara.

Kekayaan alam Indonesia sungguh luar biasa dan merupakan bentangan nikmat Tuhan yang tak berbilang. Gugusan kepulauan ini telah memikat hati seorang Eduard Douwes Dekker, yang melukiskan Indonesia bagaikan untaian Zamrud di Khatulistiwa. Dalam nyanyian kesyukuran seniman kondang Koes Ploes, di negeri ini tongkat dan batu pun jadi tanaman. Suatu metafora tentang Indonesia yang kaya untuk disyukuri dan tidak boleh disia-siakan oleh seluruh anak negeri.

Karenanya ketika negeri ini merayakan HUT ke 73 pada 17 Agustus 2018 beberapa hari ke depan, sungguh layak semua elite dan warga bangsa berefleksi secara mendalam tentang maka keindonsiaan. Seraya bertanya pada diri sendiri, hendak  diapakan dan dibawa ke mana kepulauan anugerah Tuhan ini oleh seluruh elite dan warga bangsa menuju cita-cita negara idaman, negeri Gemah Ripah Lohjinawi. Segenap elite dan warga bangsa wajib dituntut tanggungjawabnya dalam mewujudkann Indonesia menjadi negara-bangsa yang benar-benar merdeka, bersatu, berdaulat, maju, adil, dan makmur sebagaimana cita-cita para pendiri bangsa. Lebih-lebih bagi para pemimpin bangsa selaku pemangku amanat utama bangsa dan negara!

Indonesia dan Keindonesiaan

Indonesia lahir di pentas sejarah melalui jalan panjang sarat dinamika. Kepulauan yang luas ini terbentuk di zaman Glacial terakhir pada rentang tiga sampai sepuluh juta tahun yang lalu hingga dihuni oleh penduduk setempat dan kemudian menjadi suatu negara-bangsa yang bernama INDONESIA. Hatta untuk sebuah nama, Indonesia lahir dalam pilihan yang tidak mudah. James Richardson Logan dan George Samuel Windsor Earl tahun 1847 dan 1850 yang silam lebih menggunakan nama “Melayunesia” ketimbang “Indunesia” yang mulai populer kala itu.

Adalah Adolf Bastian seorang etnolog pada Universitas Berlin tahun 1884 memilih dan kemudian mempopulerkan nama INDONESIA. Satu abad kemudian, para pejuang kemerdekaan di era kebangkitan nasional berketatapan hati memilih nama Indonesia di antara  nama-nama Nusantara, Dwipantara, Swarnadwipa, Insulinda, dan Melayunesia. Pada saat proklamasi 17 Agustus 1945 dan kemudian penetapan konstitusi dasar dalam sidang PPKI 18 Agustus 1945 akhirnya nama INDONESIA dipilih menjadi satu-satunya nama resmi untuk Negara Kesatuan ini. Proses pergumulan yang panjang itu merupakan keputusan dan takdir sejarah untuk sebuah nama Indonesia yang di dalamnya terkandung  jiwa,  pikiran, dan  cita-cita luhur akan hadirnya sebuah bangsa dan negara yang besar.

Jumlah pulau di Indonesia pun tak berbilang banyaknya. Menurut catatan Deputi Kedaulatan Maritim  Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, bahwa total pulau Inronesia ialah 17.504, dengan 16.056 pulau pada tahun 2017 terdaftar dibakukan di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Menurut Pusat Survei  dan Pemetaan ABRI/TNI tahun 1987 jumlah pulau Indonesia 17.503, sebanyak 5.707 telah bernama, termasuk 337 nama pulau di kawasan sungai. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional tahun 2002 melaporkan data lebih besar, yaitu 18.306 pulau. Sementara Departemen Dalam Negeri tahun 2004 menyampaikan data jumlah pulau di negeri ini  17.504, dengan rincian  7.870 pulau telah memiliki nama, sementara 9.634 tidak bernama. Dari ribuan pulau tersebut sekitar 6.000 yang berpemghuni (Wikipedia Indonesia, 2018).

Kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan berdasar prinsip negara kepulauan (Archipelagic State). Dalam Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 dinyatakan, bahwa laut Indonesia, termasuk laut di sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada masa penjajahan berdasar Ordonansi Hindia Belanda  tahun 1939, bahwa pulau-pulau di Indonesia dipisahkan oleh laut, serta laut di sekitar dan di antara pulau bukanlah bagian dari kepulauan Indonesia, kecuali sekeliling 3 mil dari garis pantai. Setelah perjuangan politik yang panjang akhirnya Deklarasi Djuanda 1957 tersebut diakui dan ditetapkan dalam Konvensi  Hukum Laut PBB ketiga tahun 1982, yang kemudian dipertegas tahun 1985 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.

Dalam konteks perjuangan kebangsaan, Indonesia adalah sebuah identitas dan energi politik perlawanan terhadap kaum penjajah yang nista. Ketika Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) dan Mohammad Hatta berjuang di negeri Belanda dengan membawa nama Indonesia. Sementara di dalam negeri hadir  sosok-sosok dr Soetomo, dr Wahidin Soedirohoesodo, HOS Tjokroaminoto, Ahmad Dahlan, Agus Salim, Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, Sutardjo Kartohadikusumo, Soekarno, Muhammad Hatta, dan seluruh anak bangsa yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Semua arus perrgerakan itu hadir untuk dan atasnama INDONESIA yang bercita-cita untuk menjadi bangsa dan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur, yang dalam referensi kaum Muslimin menjadi negeri Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.

Indonesia ratusan tahun dijajah Belanda, yang sebelumnya dijajah Portugis, yang menghasilkan nesta panjang dalam sejarah rakyat di kepulauan ini yang bekasnya masih terasa hingga saat ini. Para pendiri bangsa memahami sepenuhnya penderitaan bangsa Indonesia akibat penjajahan yang panjang dan pentingnya arti kemerdekaan, sehingga spirit perjuangan kemerdekaan itu diabadikan dalam alinea Pembukaan UUD 1945 sebagai berikut:  “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”.

Indonesia sebagai negara-bangsa bukan hanya merdeka dan berdiri di atas perjuangan rakyat yang penuh pergumulan, tetapi juga menetapkan fondasi ideologi dan konstitusi dasar yang kokoh serta fundamental yaitu  “suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Selain itu ditetapkan pula tujuan dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia yakni untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”

Hal-hal yang mendasar sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 itu merupakan nilai-nilai dan landasan konstitusional yang harus menjadi pijakan, bingkai, dan orientasi utama dalam penyelenggaraan pemerintahan negara sekaligus dan seluruh komponen bangsa sehingga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tersebut jelas dasar, arah,  dan cita-citanya untuk menjadi misi dan visi masional sepanjang masa. Sehingga Indonesia itu bukan sekadar ragad-fisik, tetapi menurut Soepomo “bernyawa” atau mempunyai nyawa serta menurut Soekarno memiliki “filosofisch grondslag” yaitu fundamen, filosofi, pemikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, dan hasrat yang sedalam-dalamnya di mana di atasnya diletakkan bangunan Indonesia yang kekal dan abadi.

Indonesia adalah identitas sebuah bangsa yang majemuk, yang dalam kepusparagamannya telah membentuk diri menjadi satu: Bhineka Tunggal Ika. Putra-putri generasi bangsa ketika behimpun dalam Sumpah Pemuda 1928 dengan penuh gelora telah menjadikan Indonesia sebagai titik temu untuk “Bertanah air yang satu, berbangsa yang satu, dan berbahasa yang satu” yakni Indonesia. Puncaknya pada 17 Agustus 1945 Soekarno-Hatta atasnama seluruh rakyat Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, yang dikuti dengan penetapakan Konstitusi Dasar UUD 1945 yang di dalamnya terkandung Pancasila sebagai fondasi dasar dan utama kelahiran Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dasar masyarakat majemuk atau plural society justru non-komplementer ibaratbair dan minyak. Bagi Furnivall (1967), masyarakat majemuk terdiri dari dua atau lebih tatanan sosial yang berbeda, hidup sejajar dalam satu entitas politik tanpa banyak bercampur aduk satu sama lain. Menurut antropolog Clifford Geertz (1968; 1976), masyarakat majemuk terdiri atas subsistem-subsistem yang lebih kurang berdiri sendiri dan dipersatukan oleh ikatan-ikatan primordial, sehingga sering terkategorisasi secara sosial. Karenanya merupakan suatu anugerah Allah serta kearifan para tokoh dan warganya manakala masyarakat Indonesia yang majemuk ini bersatu dalam satu ikatan Negara Keeatuan Republik Indonesia.

Di tengah kemajemukan yang terus berproses itu Indonesia membentuk diri sebagai bangsa yang toleran, damai, dan dewasa itu komitmen dan peran umat Islam sebagai mayoritas sungguh besar, yang oleh antropolog Kontjaraningrat dan sejarawan Sartono Kartodirdjo disebut sebagai kekuatan perekat integrasi bangsa. Menjadi naif dan merupakan pembelokkan sejarah jika ada satu golongan atau siapapun yang gemar mengklaim diri paling berkontribusi dalam tegak dan bersatunya NKRI di negeri tercinta ini. Integrasi nasional di negeri ini hasil konsensus dan kearifan sosial seluruh komponen bangsa dan umat Islam secara keseluruhan, yang memiliki andil besar dalam sejarah keindonesiaan yang penting itu.

Bangsa Indonesia selain berideologi Pancasila, juga tidak dapat lepas dari agama sebagai ajaran Ilahi yang menyatu di tubuh bangsa ini dan membentuk watak keindonesiaan. Nilai-nilai agama merupakan pandangan hidup yang kokoh dan menjadi bagian terpenting dari denyut-nadi kehidupan bangsa Indonesia. Agama dan umat beragama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bangsa dan negara Indonesia, sehingga keberadaannya menyatu dengan jatidiri Indonesia. Siapa menjauhkan agama dari kehidupan bangsa ini sama dengan mengingkari jatidiri keindonesiaan. Para pendiri bangsa Indonesia menyadari pentingnya agama dan kehadiran Tuhan dalam perjuangan kebangsaan, sehingga dalam paragraf Pembukaan UUD 1945 dinyatakan, “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.

Dalam pasal 29 UUD 1945 bahkan secara tegas dicantumkan tentang eksistensi dan kemenyatuan bangsa Indonesia dengan agama sebagai sistem keyakinan dan kepercayaan. Agama merupakan ajaran yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari  kehidupan bangsa Indonesia. Agama sebagai sumber nilai utama yang fundamental berfungsi sebagai kekuatan transendental yang luhur dan mulia bagi kehidupan bangsa. Nilai-nilai instrinsik keagamaan telah memberi inspirasi bagi para pendiri bangsa dan perumus cita-cita negara dalam mewujudkan kehidupan kebangsaan yang berbasis pada ajaran agama. Nilai-nilai agama bahkan tercermin dalam Pancasila sebagai ideologi negara.

Agama manapun bukan hanya kumpulan tuntunan ritual ibadah dan doktrin moral yang terkandung dalam ajaran kitab suci. Lebih dari itu, agama merupakan model perilaku yang tercermin dalam tindakan nyata yang mendorong penganutnya memiliki watak jujur dan dipercaya, dinamis, kreatif, dan berkemajuan. Dalam pandangan Islam, Agama tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Allah yang Maha Pencipta (habl min Allah), tetapi juga mengatur dan memberi arah kehidupan dalam hubungan antar umat manusia (habl min al-nas) yang membentuk peradaban hidup yang utama. Di sinilah letak esensi agama dalam kehidupan umat manusia.

Karenanya, agama bagi kehidupan bangsa Indonesia dapat dijadikan  sebagai sumber nilai pedoman hidup, panduan moral,  dan etos kemajuan. Nilai-nilai agama dapat menumbuhkan etos keilmuan, orientasi pada perubahan, kesadaran akan masa depan yang lebih baik, pendayagunaan sumberdaya alam secara cerdas dan bertanggungjawab, inovasi atau pembaruan, kebersamaan dan toleransi, disiplin hidup, kemandirian, serta hal-hal lain yang membawa pada kemajuan hidup bangsa. Nilai-nilai agama juga dapat mengembangkan relasi sosial antara laki-laki dan perempuan yang adil tanpa diskrimansi, serta hubungan antarumat manusia yang berkeadaban mulia. Dengan nilai-nilai agama itu, bangsa Indonesia dapat menjalani kehidupan di abad moderen yang membawa pada keselamatan dunia dan akhirat.

Agama dalam kontek berbangsa dan bernegara tentu harus menyatu dalam jiwa, pikiran, dan praktik hidup elite dan warga. Para elite negeri di manapun berada, termasuk di legislatif, eksekutf, dan yudikatif mesti menghayati setiap agama yang dipeluknya sekaligus menjadikan agama sebagai fondasi nilai yang esensial dan fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa harus dihantui oleh paham sekularisme negara. Sebab Indonesia memang bukan negara agama, tetapi agama menjad sumber nilai penting, sekaligus tidak boleh menjadikan negeri ini menjadi sekuler. Berbagai macam krisis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk merebaknya korupsi, kemaksiatan, dan ketidakadilan antara lain karena lepasnya nilai agama dari kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Agama dan umat beragama sungguh berperan penting dalam kehidupan kebangsaan di negeri ini. Karenanya agama dan institusi keagamaan jangan direduksi oleh satu atribut dan golongan primordial tertentu, seolah mereka mewakili seluruh umat Islam khususnya dan umat beragama pada umumnya. Lebih-lebih manakala klaim golongan keagamaan itu hanya dijadikan alat meraih kekuasaan politik dan memperalat negara untuk memenuhi kepentingan golongan sendiri dalam hasrat ananiyah-hizbiyah yang menyala-nyala.

Dalam kehidupan kebangsaan saat banyak krisis terjadi, justru jadikan agama sebagai kekuatan moral dan intelektual yang mencerahkan. Jadikan agama sebgai Di at-Tanwir, ajaran yang mencerahkan kehidupan untuk menerangi kegelapan jiwa, pikiran, dan tindakan manusia dari apa yang oleh Peter L Berger disebut chaos yang memerlukan kanopi suci agama.  Kehidupan kebangsaan di Indonesia saat ini diwarnai oleh krisis moral dan etika, disertai berbagai paradoks dan pengingkaran atas nilai-nilai keutamaan yang selama ini diakui sebagai nilai-nilai luhur budaya bangsa. Kenyataan ini ditunjukkan oleh perilaku elite dan warga masyarakat yang korup, konsumtif, hedonis, materialistik, suka menerabas, dan beragam tindakan menyimpang lainnya. Sementara itu proses pembodohan, kebohongan publik, kecurangan, pengaburan nilai, dan bentuk-bentuk kezaliman lainnya (tazlim) semakin merajalela di tengah usaha-usaha untuk mencerahkan (tanwir) kehidupan bangsa. Situasi paradoks dan konflik nilai tersebut menyebabkan masyarakat Indonesia kehilangan makna dalam banyak aspek kehidupan dan melemahkan sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara (PP Muhammadiyah, 2014).

Pemimpin Bangsa

Bangas Indonesia pasca kemerdekaan 1945 telah melewati fase sejarah yang sarat dinamika, sejak era 1945-1965 pada masa Preesiden Soekarno, kemudian zaman Presiden Soeharto tahun 1965-1998, serta setelah era reformasi 1998 sampai saat ini. Dalam pandangan Muhammadiyah, Indonesia saat ini mengalami perkembangan sosial, ekonomi, dan politik yang berbeda dengan masa-masa terdahulu. Sejak reformasi yang digulirkan satu setengah dasawarsa lalu, Indonesia telah menjadi negara demokratis terbesar ketiga setelah India dan Amerika Serikat. Krisis ekonomi yang dialami pada 1997/1998, yang mendatangkan akibat-akibat sosial-politik yang berkepanjangan telah teratasi. Dengan tingkat pertumbuhan yang cukup baik, meski mulai menurun pada tahun terakhir ini, Indonesia dianggap sebagai negara yang secara ekonomi sangat menjanjikan, kendati dihadapkan pada kesenjangan sosial ekonomi yang memprihatinkan. Realitas kehidupan sosial-budaya, ekonomi, dan politik di Indonesia berkembang sedemikian kompleks.

Setelah 73 tahun merdeka, Indonesia masih mengalami kejumudan (stagnasi), penyimpangan (deviasi), dan peluruhan (distorsi) dalam berbagai bidang kehidupan kebangsaan ditimbang dari semangat, pemikiran, dan cita-cita nasional yang diletakkan oleh para pendiri bangsa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Meskipun terdapat banyak kemajuan, seperti dalam kehidupan demokrasi dan hak asasi manusia, tingkat pertumbuhan ekonomi, dan suasana kemajemukan bangsa yang terpelihara dengan baik, tak dapat dipungkiri masih banyak persoalan rumit dan mendesak yang harus segera diselesaikan. Di antara masalah yang cukup serius adalah korupsi yang masif, penegakan hukum yang lemah, kesenjangan sosial yang melebar, sumberdaya alam yang dieksploitasi dan dikuasai pihak asing, dan hal-hal lain yang berdampak luas pada kehidupan kebangsaan yang jauh dari cita-cita nasional.

Kehidupan kebangsaan kita masih diwarnai oleh krisis moral dan etika, disertai berbagai paradoks dan pengingkaran atas nilai-nilai keutamaan yang selama ini diakui sebagai nilai-nilai luhur budaya bangsa. Kenyataan ini ditunjukkan oleh perilaku elite dan warga masyarakat yang korup, konsumtif, hedonis, materialistik, suka menerabas, dan beragam tindakan menyimpang lainnya. Sementara itu proses pembodohan, kebohongan publik, kecurangan, pengaburan nilai, dan bentuk-bentuk kezaliman lainnya (tazlim) semakin merajalela di tengah usaha-usaha untuk mencerahkan (tanwir) kehidupan bangsa. Situasi paradoks dan konflik nilai tersebut menyebabkan masyarakat Indonesia kehilangan makna dalam banyak aspek kehidupan dan melemahkan sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara.

Akibat lebih jauh dari masalah-masalah krusial dan kondisi paradoks itu, Indonesia semakin tertinggal dalam banyak hal dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Indonesia telah banyak kehilangan peluang untuk berkembang menjadi bangsa atau negara yang berkemajuan. Jika permasalahan ini tidak memperoleh pemecahan yang sungguh-sungguh melalui upaya-upaya rekonstruksi yang bermakna, maka Indonesia berpotensi menjadi negara gagal, salah arah dalam menempuh perjalanan ke depan. Situasi demikian jelas bertentangan dengan makna dan cita-cita kemerdekaan.

Sesungguhnya Indonesia memiliki modal untuk berkembang menjadi negara berkemajuan. Syaratnya ialah adanya rekonstruksi kehidupan kebangsaan yang ditegakkan di atas nila-nilai asar berbangsa yang kokoh sekaligus melakukan perubahan transformasional yang signifikan dalam alam pikiran, pola sikap, dan tindakan para elite dan warganya untuk mewujudkan kehidupan kebangsaan yang bermakna lebih dari sekadar kemajuan fisik-materi, kebebasan berdemokrasi, dan hal-hal lainnya tanpa bangunan nilai yang kuat.

Dalam pandangan Muhammadiyah dalam Buku Indonesia Berkemajuan (2015) bahwa kehidupan kebangsaan di Indonesia memerlukan rekonstruksi bermakna di bidang politik, ekonomi, dan budaya. Keberhasilannya sangat ditentukan oleh salah satunya faktor dinamis karakter kepemimpinan dalam seluruh struktur kehidupan kebangsaan. Indonesia saat ini memerlukan karakter kepemimpinan yang progresif, reformatif, inspiratif dan berakhlak mulia yang mampu menyerap aspirasi masyarakat dan mengkristalisasikan nilai-nilai etika keagamaan dan moral Pancasila secara aktual  sebagai landasan kebijakan di pelbagai sektor kehidupan kebangsaan. Dalam konteks kehidupan kebangsaan, kepemimpinan profetik adalah kepemimpinan yang memiliki komitmen terhadap kebenaran, mendorong terwujudnya keadilan sosial dan ekonomi, berpihak kepada hak-hak masyarakat, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas segalanya.

Kepemimpinan profetik memiliki kualitas ruhaniah yang memadukan keseimbangan hubungan dengan Tuhan dan dengan sesama umat manusia serta lingkungannya untuk membangun peradaban hidup yang utama. Kepemimpinan profetik merupakan perpaduan antara kualitas kenegarawanan dengan kemampuan transformatif, yakni kepemimpinan yang berkarakter dan berkepribadian kuat, mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, mampu melakukan mobilisasi potensi, mengagendakan perubahan, dan memproyeksikan masa depan. Kepemimpinan yang dimaksud mampu memadukan kekuatan visi, pengambilan keputusan, memiliki kapabilitas, integritas, dan akseptabilitas yang kuat sebagai manifestasi kenegarawanan, serta mampu memecahkan persoalan-persoalan bangsa.

Kepimpinan profetik dalam sebuah sistem pemerintahan dibangun di atas tonggak wawasan yang visioner. Yakni, kepemimpinan yang memberikan keteladanan dan  bersikap adil terhadap semua golongan, bisa menumbuhkan potensi masyarakat untuk bersama-sama membangun negara yang adil makmur dan bermakna bagi setiap warga negaranya. Kepemimpinan yang adil akan menghilangkan fanatisme sempit kelompok dan golongan. Kepemimpinan seperti ini akan bisa memobilisasi warga masyarakat untuk berjuang, berkorban dan bahkan rela mati demi pembangunan dan kemajuan. Tiadanya keteladanan pimpinan dan hilangnya sosok pemimpin yang amanah sangat berpengaruh bagi penegakan nilai-nilai seperti yang disebutkan di atas.

Kepemimpinan profetik memiliki kriteria sebagai berikut: (a) relijius, kata sejalan dengan tindakan, dan bertanggungjawab; (b) visi dan karakter kuat sebagai negarawan, yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara ketimbang diri sendiri, partai politik, dan kroni; (c) berani mengambil berbagai keputusan strategis dan memecahkan masalah-masalah krusial bangsa; (d) mewujudkan good governance, tegas dalam melakukan pemberantasan korupsi, penegakan hukum, serta penyelamatan aset dan kekayaan negara; (e) menjaga kewibawaan dan kedaulatan nasional dari berbagai ancaman di dalam dan luar negeri; (f) melepaskan jabatan partai politik dan fungsi-fungsi lain yang dapat menimbulkan konflik-kepentingan serta mengganggu jalannya pemerintahan dalam memimpin bangsa dan negara; dan (g) memiliki strategi perubahan yang membawa pada kemajuan bangsa.

Para pemimpin di berbagai sektor dan tingkatan harus memiliki dan menjunjung tinggi kebenaran (sidiq), kejujuran (amanah), menyampaikan kebenaran dan kejujuran (tabligh), dan cerdas dalam mengelola aset negara (fathanah). Demikian juga, para pemimpin harus menunjukkan keteladanan yang baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Keteladanan elite menjadi kunci penting bagi tumbuhnya kepercayaan, sebagai pusat identifikasi diri bagi rakyat, serta menjadi modal sosial dan ruhaniah yang berharga untuk kemajuan bangsa.

Para pemimpin bangsa saat ini dari pusat sampai daerah di berbagai lini baik pemerintahan maupun kekuatan non-negara perlu melakukan rekonstruksi diri dalam alam pikiran, orientasi sikap dan tindakan, serta konsistensi dalam membangun Indonesia. Dinamika politik liberal yang ditandai dengan sikap politik serba-pragmatis hanya untuk meraih kemenangan politik telah menjadikan politik Indonesia saat ini serba-transaksional, berbiaya sangat tinggi, dan bahkan bersumbu-pendek. Politik benar-benar berada dalam habitatnya yang aseli sebagaimana logika Laswellian, “who gets what, when and how”, siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana caranya. Lebih ekstrim praktik politik transaksional itu seolah membenarkan tesis Machiavellian, “the end justifies the means”, demi meraih tujuan segala carapun digunakan. Politik hanya menjadi alat-tukar kepentingan dan rebutan kursi kekuasaan semata minus idealisme dan kenegarawanan.

Bersamaan dengan liberalisasi politik, praktik politik Indonsia yang dikuasai sepenuhnya oleh partai politik dan kekuatan-kekuatan pemilik modal telah menciptakan oligarki politik baru yang sebenarnya mengancam masa depan Indonesia. Kekuasaan oligarki (Oligarchia) pada era Yunani Kuno merupakan bentuk kekuasaan yang dikendalikan oleh segelintir orang. Aselinya mereka yang sedikit itu benar-benar memegang tampuk kekuasaan secara langsung. Tetapi terdapat pula model kekuasaan pseudo-oligarchy, yakni negara yang dipimpin Kepala Pemerintahan tetapi di belakangnya terdapat sekelompok kecil orang yang mengendalikan pemerintahan, tanpa harus berada di dalamnya. Segelintir orang memiliki tangan perkasa yang berpengaruh dan mengendalikan para alite pemerintahan, layaknya para dalang yang bersembunyi di balik atraksi wayang. Termasuk hadirnya hegemoni partai politik sebagai kekuatan oligarki yang sepenuhnya menguasai tatanan kenegaraan di Republik ini, tidak kecuali dalam mengendalikan proses politik pencapresan dan pencawapresan untuk Pemilu 2019.

Meminjam analisis tajam Jeffrey Winters tentang perangai kuasa dalam suatu aligarki yang mencengeram. Bahwa siapapun yang menguasai dan memiliki keunggulan sumber daya material di suatu negeri, maka akan otomatis memgendalikan kekuatan politik dan ekonomi. Ketika kekutan ekonomi dan politik berada di satu tangan atau kelompok tertentu, maka lahirlah akumulasi kekuasaan yang dahsyat bernama hegemoni di suatu negeri. Hegemoni itu, menurut Gramsci, akan menjelma menjadi ideologi, sehingga mereka yang menjadi korban pun akan terasa nyaman dihegemoni. Maka semakin kompleks daya jalar virus politik liberal di negeri ini, sehingga Indonesia disandera oleh kekuatan-kekuatan oligarki yang haus tahta, rakus harta, dan nir-nilai makna.

Negara dan pemerintahan Indonesia harus benar-benar berdaulat, termasuk dari hegemoni politik oligarki. Indonesia haruslah menjadi milik semua, jangan menjadi milik segelintir orang atau kelompok tertentu. Soekarno dalam pidatonya di sidang BPUPKI tahun 1945 yang monumental, berpesan sarat jiwa kenegarawanan:  “Kita hendak mendirikan suatu negara semua buat semua.  Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua”. Bukan negara oligarki yang dikuasai dan dikendalikan segelintir orang.

Politik liberal yang transaksional dan semata berorientasi kekuasaan telah menjadikan kehidupan kebangsaan kehilangan jiwa, rasa, etika, kehormatan, dan sifat kenegarwanan yang sesungguhnya sangat penting bagi tegaknya politik berkeadaban untuk membangun Indonesia yang dicita-citakan. Sementara para aktor dan elitenya dengan ringan diri dapat melakukan politik apa saja tanpa bingkai etika, moral, keseimbangan, respek, toleransi, kejujuran, keterpercayaan, penghargaan, ketulusan, pengkhidmatan, keadaban, dan jiwa kesatria. Akibatnya, dunia politik di tangan para aktornya yang tamak dan tidak pernah akil-baligh itu menghasilkan panorama Indonesia yang bak padang sahara yang kering dari sukma Agama, Pancasila, dan nilai-nilai luhur bangsa. Sementara nilai-nilai agama, Pancasila, dan kebudayaan Nusantara hanya sebatas menjadi narasi-narasi retorik yang diproduksi sekadar untuk membangun citra-diri nan indah bak sayap burung merak di taman bunga Indonesia, minus aktualisasi yang bergaris-lurus antara idealita dan dunia nyata.

Kita tentu tidak ingin karena inkonsistensi para elite dan warganya yang banyak memproduksi perangai-perangai yang berlawanan dengan kebenaran, kebaikan, dan kepatutan di atas fondasi iman dan taqwa yang aktual, maka Indonesia menjadi kehilangan peluang untuk maju membangun peradaban sekaligus menjauh dari berkah Tuhan. Allah mengingatkan para hambanya dalam Al-Quran:

Artinya: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-‘Araf: 96).

Di sinilah pentingnya para pemimpin bangsa yang tercerahkan akal-budi dan peran kebangsaannya. Kata pepatah Italia, bahwa “Ikan busuk dimulai dari kepala”. Betapa penting posisi dan peran para pemimpin di negeri dan umat mana pun. Merah putih dan hitamnya umat dan bangsa tergantung pemimpinnya. Pemimpin itu jantung dan kepala dari tubuh manusia. Jika pemimpin itu baik, maka baiklah umat dan bangsa. Sebaliknya nasib umat dan  bangsa akan nestapa manakala para pemimpinnya berperangai dan bertindak buruk, hianat, dan ugal-ugalan. Padahal yang dipertaruhkan nasib manusia yang banyak dengan segala urusannya.

Para Nabi, Umar bin Khattab, Umar bin Abdul Azis, Iskandar Dzulqarnain, Mahatma Ghandhi, Nelson Mandela, dan para pemimpin dunia lainnya yang menggoreskan tinta emas dalam kepemimpinannya merupakan anugerah Tuhan dari keteladanan para pemimpin yang mencerahkan dunia. Rakyat, negara, dan umat manusia menjadi aman, damai, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat karena kemuliaan para pemimpinnya. Sebaliknya karena ulah tangan Fira’un, Hitler, Mussolini, Pol Pot, serta sederet para diktator dan pemimpin tiran kehidupan manusia dan lingkungannya porak poranda dan mengalami kehancuran. Kehidupan menjadi anarki dan kacau karena jiwa, pikiran, dan tindakan wewenang-wenang para pemimpinnya yang haus kuasa, rakus tahta, dan bertindak semaunya tanpa makna.

Kami percaya di Republik ini masih banyak elite dan warga bangsa yang masih jernih hati, pikiran, dan tindakannya untuk membangun Indonesia yang berkemajuan dalam bingkai cita-cita luhur dan masa depan peradaban bangsa. Maka saatnya energi positif ruhaniah dan kecerdasan akal-budi bangsa Indonesia di tangan para pemimpin dan warga bangsa di seluruh persada tanah air digelorakan untuk menggoreskan tinta emas 73 tahun Indonesia Merdeka. Para pemimpin itu sejatinya memiliki kemuliaan posisi dan peran dalam membawa nasib umat dan bangsanya menuju tangga kemajuan. Jangan biarkan nasib umat dan rakyat menjadi pertaruhan tak berguna dan tak bermakna di tengah kegaduhan politik yang disebar oleh para aktor yang haus kuasa dan tahta minus pertanggungjawaban moral politik nurani yang luhur. Ketika kontestasi politik makin memanas dengan segala hasrat dan kepentingan para elite serta pemimpin yang tumpah ke segala arah, sesungguhnya umat dan bangsa ini tengah menanti jaminan ubahan nasib hidupnya ke tangga terbaik di pundak para pemimpinnya.

Para pemimpin bangsa mesti melipatgandakan pengorbanannya untuk rakyat di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Jangan sebaliknya, para pemimpin menyandera nasib dan masa depan rakyat yang dipimpinnya karena hanya menuruti hasrat kuasanya yang melampaui takaran dan merugikan kepentingan bangsa dan negara. Kyai Haji Ahmad Dahlan pendiri Muhammmadiyah dalam falsafahnya yang keenam berpesan: “Kebanyakan pemimpin-pemimpin rakyat, belum berani mengorbankan harta benda dan jiwanya untuk berusaha tergolongnya umat manusia dalam kebenaran. Malah pemimpin-pemimpin itu biasanya hanya mempermainkan, memperalat manusia yang bodoh-bodoh dan lemah.”.

Khusus dalam memasuki tahun politik 2019 Muhammadiyah berharap semua pihak dapat memelihara keadaban, kebersamaan, kedamaian, toleransi, kebajikan, dan keutamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegera. Kontestasi politik tidak perlu menjadi penyebab dan membawa pada situasi keretakkan, konflik, dan permusuhan antar komponen bangsa. Semua dituntut berkomitmen menjaga politik dari berbagai penyimpangan dan transaksi yang menyebabkan kerugian bear bagi kehidupan bangsa dan negara. Kontestasi politik juga diharapkan tidak semata-mata ingin sukses meraih kekuasaan, tetapi tidak kalah pentingnya meniscayakan komitmen dan usaha yang sungguh-sungguh dalam mewujudkan idealisme, nilai dasar, dan cita-cita nasional yang luhur sebagaimana telah diletakkan oleh para pendiri bangsa. Inilah yang penting menjadi komitmen dan visi kenegaraaan para pemimpin, elite, dan segenap komponen bangsa saat ini dan ke depan.

Muhammadiyah menaruh sikap positif dan kepercayaan bahwa dengan komitmen, nilai dasar, dan visi kenegaraan yang fundamental maka seluruh kekuatan strategis nasional yaitu pemerintah, partai politik, dan segenap komponen bangsa dapat membangun kesdaran kolektif dan kebersamaan untuk terus memberi harapan positif bagi seluruh rakyat dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Para pemimpin nasional dari pusat hingga daerah juga diharapkan mengedepankan keteladanan, kebersamaan, kedamaian, dan sikap kenegarawanan yang luhur dalam perikehidupan kebangsaan. Berikan rakyat uswah hasanah, kegembiraan,  dan harapan positif untuk hidup lebih baik serta terjamin hak-haknya selaku pemberi mandat kedaulatan di Republik ini. Jangan biarkan rakyat yang  penuh nestapa tetapi masih memiliki harapan itu seolah menunggu Godot. Semoga Allah SWT melimpahkan anugrah-Nya yang terbaik bagi bangsa dan negeri tercinta Indonesia, sehingga menjadi Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur!

Exit mobile version