Oleh Dr H Haedar Nashir MSi
Kisah pelajaran Al-Ma’un oleh Kyai Dahlan kepada para muridnya telah melegenda dalam sejarah Muhammadiyah. Berulangkali Kyai mengajarkan Surat ke-107 dalam Al-Quran itu, yang menunjukkan pentingnya ajaran agama diamalkan secara langsung dan nyata dalam kehidupan para pemeluknya, bukan sekadar dihafalkan dan menjadi pengetahuan belaka. Inilah terobosan baru dari pendiri Muhammadiyah dalam berdakwah, yang secara menonjol menampilkan Islam sebagai Din al-‘Amal. Islam sebagai agama amal.
Surat Al-Ma’un dalam Al-Quran itu lengkapnya sebagai berikut: “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat. (Yaitu) orang-orang yang lalai terhadap shalatnya. Yang berbuat ria. Dan enggan (memberikan) bantuan” (QS Al-Ma’un: 1-7).
Ajaran Amal
Al-Ma’un dalam konstruksi gerakan Muhammadiyah yang melekat dengan kesejarahannya tidak dapat dimaknai lain kecuali sebagai ajaran amal. Islam tidak dibawa melambung ke teologi kalam maupun tafsir yang utopis atau elitis, yang cenderung abstrak dan umum, yang selama itu menjadi tradisi perdebatan kaum Muslim. Kalaupun ditarik menjadi teologi dan fikih maka lebih esensial dan kontekstual menjadi teologi dan fikih amal, yang bersifat membebaskan kaum miskin dan siapapun yang tergolong mustadl’afin (mereka yang lemah dan dilemahkan).
Kyai Dahlan secara tidak langsung melalui pengajaran Al-Ma’un melakukan kritik dan pembongkaran (dekonstruksi) terhadap cara pandang verbal tentang Islam. Hafal tidak sama dengan paham dan paham berarti harus dibuktikan dengan tindakan amal yang konsisten. Jika merasa hafal dan paham Surat Al-Ma’un bukan sekadar di lisan atau pikiran, tetapi praktikkan dengan jalan mengentaskan anak yatim dan orang miskin untuk dirawat sebagaimana mestinya. Islam juga tidak dibiarkan berada dalam doktrin tanpa aplikasi serta indah di lisan dan tulisan tetapi minus tindakan yang mencerahkan.
Pendiri Muhammadiyah sendiri bahkan memiliki pandangan dan etos amal yang luar biasa. Menurut Kyai Dahlan, manusia itu harus sungguh-sungguh dalam bekerja atau berusaha. Mereka yang bersungguh-sungguh saja belum tentu langsung berhasil, apalagi yang tidak bersungguh-sungguh. Manusia, menurut Kyai, juga harus menguasai ilmu-ilmu praktis, di samping ilmu-ilmu teoritis. Dalam tradisi Muhammadiyah di belakang hari bekembang istilah ilmu-amaliah dan amal-ilmiah, yang dalam rujukan mutakhir disebut dengan praksis. Itulah jiwa Al-Ma’un untuk melahirkan praksis sosial sebagai pengejewantahan dari Islam sebagai Din al’-Amal.
Menurut Quraisy Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, bahwa awal Surat Al-Ma’un di awal menjelaskan kecelakaan orang-orang yang menustakan agama dan mengingkari Hari Kemudian, sedangkan di akhir ayat menguraikan tandanya yaitu pamrih dalam shalat dan enggan memberikan bantuan. Bahwa mereka yang menghardik anak yatim dan tidak memperlakukannya dengan baik, demikian pula yang tidak saling menganjurkan memberikan pangan kepada orang yang butuh, merupakan orang-orang yang mendustakan agama dan mengingkari Hari Pembalasan.
Surat Al-Ma’un yang terdiri dari tujuh ayat pendek itu, menurut Quraisy, berbicara tentang suatu hakikat yang sangat penting, di mana terlihat secara tegas dan jelas bahwa ajaran Islam tidak memisahkan upacara ritual dan ibadah sosial atau membiarkannya berjalan sendiri-sendiri. Ajaran ini, sebagaimana tergambar dalam ayat-ayat di atas, menekankan bahwa ibadah dalam pengertiannya yang sempit pun mengandung, dalam jiwa dan esensinya, dimensi sosial sehingga jika jiwa ajaran Islam tersebut tidak dipenuhi, pelaksanaan ibadah dimaksud tidak akan banyak artinya.
Perintah Allah tentang amal memang luar biasa banyak dalam Al-Quran. Iman bahkan seringkali disertakan dengan amal shaleh. Artinya betapa penting kedudukan dan fungsi amal dalam ajaran Islam yang harus dilaksanakan oleh para pemeluknya. Tidak ada manifestasi atau perwujudan yang nyata dari kehadiran Islam di muka bumi ini kecuali hanya melalui amal. Karenanya sangat relevan dan memiliki konteks yang kuat ketika banyak gagasan dan langkah gerakan Kyai Dahlan serta Muhammadiyah menekankan pada praksis amaliah Islam.
Amal Pembebasan
Jika Al-Ma’un dapat dikatakan sebagai ajaran amal atau Din al-‘Amal, maka hal itu memiliki landasan yang sangat kokoh dalam ajaran Islam yang memang mengutamakan pentingnya amal. Namun amal Al-Ma’un bukan sekadar amal, tetapi amal yang membebaskan. Yakni amal yang membeaskan anak yatim dan orang miskin sebagai simbol dari kaum mutadh’afin yaitu mereka yang lemah dan terkemahkan atau tertindas. Karenanya melalui Al-Ma’un kuat sekali karakter Islam sebagai agama pembebasan (the religion of liberation).
Amal yang membebaskan memiliki pijakan teologis bahwa kaum mustadl’afin seperti orang miskin, mereka yang tersisih atau marjinal dalam kehidupan, dan orang-orang yang nasibnya malang harus menjadi bagian dari komitmen keagamaan kaum beriman untuk membelanya. Siapapun yang mengaku beragama Islam lebih-lebih yang memiliki kelebihan rezeki, kekuasaan, dan anugerah Tuhan lainnya wajib peduli dan terlibat langsung dalam ikhtiar membebaskan kaum mustadl’afin agar kehidupannya menjadi lebih baik. Sebaliknya sungguh tidak bertanggungjawab dan kehilangan obligasi moral keagamaan manakala tidak peduli dan membiarkan kaum miskin dan mereka yang mustadl’afin hidup dalam nasib yang buruk.
Kondisi kam mustadl’afin itu biasanya kompleks. Mereka miskin, tertinggal, marjinal, dan tertindas bukan karena keturunan atau keadaan yang begitu saja terjadi, tetapi banyak karena korban dari struktur yang tidak adil dan menjadikan mereka malang hidupnya. Inilah yang disebut produk budaya dan struktur dari kemiskinan, ketertinggalan, dan ketertindasan. Memecahkan kemiskinan atau kedlu’afaan produk dari keadaan, budaya, dan struktur atau sistem yang kompleks seperti itu memerlukan usaha-usaha yang menyeluruh, baik melalui kerja-kerja kemasyarakatan yang dilakukan organisasi-organisasi civil society seperti Muhammadiyah maupun kerja-kerja politik yang dilakukan negara dengan seluruh institusi pemerintahannya termasuk partai politik.
Sebenanya pada dasarnya mengentaskan kaum miskin dan siapapun yang mustadl’ain merupakan kewajiban negara. Tetapi umat dan organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah juga memiliki kewajiban moral-keagamaan sebagaimana teologi amal Al-Ma’un. Di sinilah peran organisasi kewargaan dan peran negara akhirnya akan bertemu dalam sinergi yang sama, tinggal bagaimana melakukan pembagian kerja sekaligus kerjasama yang saling mendukung dan menguatkan, bukan saling menegasikan. Muhammadiyah, organisasi kemasyarakatan, partai politik, dan pemerintah sesuai posisi dan perananya memiliki kewajiban untuk membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan kaum mustadl’afin di Republik ini.
Muhammadiyah sendiri telah berkiprah seratus tahun dalam mengamalkan Al-Ma’un untuk membebaskan kaum miskin dan mereka yang lemah dan tertindas. Dakwah pembebasan yang mulia itu kini memerlukan peneguhan dan penajaman agar lebih tepat sasaran dan menghasilkan kemajuan dalam mengentaskan kaum miskin dan mustadl’afin. Setiap anggota, kader, dan pimpinan wajib menjadikan Al-Ma’un sebagai etos dakwah untuk memberdayakan dan memajukan kehidupan kaum miskin dan mustadl’afin di negeri tercinta ini.
Pada saat yang sama Muhammadiyah pun mendorong dan menuntut agar negara berperan optimal dalam mengentaskan kaum miskin dan mustadl’afin melalui kebijakan-kebijakan politik yang signifikan. Jangan sampai malah negara atau pemerintah termasuk kekuatan-kekuatan politik nasional berpangku tangan dan tiak hadir dalam membebaskan kaum miskin dan mustadl’afin yang menjadi kewajiban politiknya, apalagi sampai memusuhi dan meminggirkan organisasi-organisasi kemasyarakatan seperti Muhammaiyah yang selama ini telah berkiprah nyata bagi kemajuan bangsa.
Tulisan ini pernah dimuat di rubrik “Bingkai” Majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 16 tahun 2012