Oleh: Irfan Amalee
(Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah)
Kita pasti semua sedih dan terguncang dengan bencana yang datang berturut-turut menimpa negeri ini. Tapi cara sebagian kecil orang di negeri ini menanggapi bencana ini kadang membuat saya lebih sedih.
Di sosial media dan WA Group beredar postingan yang menafsirkan gempa di Palu sebagai pembalasan Tuhan atas ditetapkannya seorang tokoh Muslim menjadi tersangka. Tafsir bencana ini juga muncul dari umat kristiani, gempa Palu sebagai disebut-sebut sebagai balasan kontan dari Tuhan atas penyegelan gereja.
Itu adalah dua dari sekian banyak narasi yang beredar seputar bencana. Bukan hanya bencana Palu ini. Saya mengamati hal serupa muncul hampir pada setiap bencana, dari tsunami Aceh, tsunami pangandaran, banjir Garut, gempa Lombok sampai terakhir gempa dan tsunami Palu.
Menurut pengamatan saya yang terbatas, setidaknya selalu ada 3 narasi yang selalu muncul setiap bencana terjadi:
- Menghukum korban: Saat bencana terjadi, bukannya berempati, kita malah menjatuhkan vonis pada korban bencana dengan ungkapan “daerah itu layak mendapat bencana karena banyak maksiat”. Ungkapan ini bisanya dibumbui dengan cerita-cerita yang berusaha menguatkan asumsi itu. Saat tsunami Aceh terjadi, rekan saya yang warga negara asing langsung tergerak menjadi relawan. Namun tetangganya yang warga negara Indonesia terlihat sama sekali tidak tergerak karena menganggap bencana itu adalah hukuman. Bencana yang seharusnya menjadi sarana berempati, menjadi ajang menghukum.
- Menghubungkan bencana dengan event sosial atau politik. Inilah hobi kita dalam cocokologi, mencocok-cocokkan suatu hal dengan hal lain. Dengan dalil “tak ada yang kebetulan di dunia ini” kita dengan mudah mencocok-cocokkan fenomena alam dengan berbagai peristiwa. Maka setiap orang punya tafsirnya sendiri-sendiri sesuai dengan preferensi, kepentingan dan identitasnya. Dan mereka menganggap tafsir mereka adalah tafsir paling benar. Bencana yang seharusnya membuat kita merenung, malah menjadi ajang lomba menafsir.
- Isu bendera di pasca bencana. Kerja kemanusiaan di wilayah bencana adalah kerja mulia. Namun selalu ada cerita-cerita menarik di dalamnya. Salah satunya adalah kontestasi bendera. Satu pihak menafsirkan suatu bantuan sebagai pencitraan. Pihak lain membanggakan suatu kelompok relawan sejati yang tak gila promosi. Kabar kristenisasi juga sering muncul dan jadi pembicaraan. Bencana sebagai wahana mempersatukan kemanusiaan menjadi pembicaraan sektarian.
Fiqih Bencana
PP Muhammadiyah membuat rumusan Fiqih Bencana yang menurut saya sangat pas bagaimana kita sebagai umat islam melihat bencana. Sehingga kita tidak terjebak dalam tiga narasi di atas.
Fiqih kebencanaan merupakan panduan kita untuk MEMANDANG dan MENYIKAPI bencana sesuai dengan semangat al-Quran dan hadits. Cara memandang terbagi kepada dua yaitu teologis dan sosiologis. Sedangkan cara menyikapi terbagi kepada tiga yaitu etis, antisipatif dan teknis.
Cara memandang bencana secara telogis:
- Allah Maha Kasih & Sayang (rahmah) dan Maha Baik (QS. 6:54), maka apapun yang diberikan manusia selalu baik dan penuh kasih
- Begitu sebaliknya, manusia yang memahami dengan baik “hakikat” bencana akan mempersepsikan bencana sebagai sebuah kebaikan (QS. 16:30); menjadi sarana meningkatkan kualitas iman.
- Bencana bukan merupakan bentuk amarah dan ketidakadilan Allah kepada manusia;
- Sebaliknya bencana merupakan bentuk kebaikan dan kasih sayang (rahmah) Allah kepada manusia, yakni sebagai media untuk introspeksi seluruh perbuatan manusia yang mendatangkan peristiwa yang merugikan manusia itu sendiri.
Cara memandang bencana secara sosiologis:
- Memahami peran manusia terhadap alam sebagai khalifah, menjaga kelestarian relasi dengan alam dan sesama manusia
- Memiliki vision (wawasan): Interspatial vision: Muslim harus mengetahui dan memahami apa yang berlaku di tempat lain, baik dalam arti perbedaan kota, negara atau kawasan, Intertemporal vision: Muslim harus memiliki perencanaan yang kuat terhadap apa yang akan dia lakukan dalam rangka mengumpulkan bekal untuk hari depan
Cara menyikapi bencana secara etis:
- Sabar: menyikapi bencana dengan 3 cara: Hati: memahami bahwa seluruh peristiwa adalah kehendak Allah, 2. Lisan: tarji’, 3. Perbuatan: usaha untuk menuju kebaikan setelah bencana terjadi; dan usaha membuat kebaikan-kebaikan jauh sebelum musibah keburukan terjadi
- Syukur: menyikapi bencana dengan positive thinking & action akan kebaikan di balik setiap peristiwa
Cara menyikapi bencana secara preventif:
Mitigasi dan Kesiapsiagaan terhadap Bencana (QS. Yusuf: 47-49). 1. Tanggap darurat: menyelamatkan kelangsungan kehidupan manusia, mengurangi penderitaan korban bencana, dan meminimalkan kerugian material (QS. Al-Maidah: 32), Recovery, Rehabilitasi: perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik sampai tingkat yang memadai, Rekonstruksi: pembangunan kembali semua prasarana dan sarana.
Cara menyikapi bencana secara teknis:
- Mitigasi & kesiapsiagaan
- Tanggap darurat
- Recovery
- Pemenuhan Hak Korban
- Teknis Ibadah pada Saat Bencana
- Penanganan Penyalahgunaan Bantuan
Jika kita bekerja keras fokus menerapkan fiqih bencana ini maka tak ada waktu lagi untuk menafsir bencana dan dengan cocokologi.
Jepang selalu menjadi contoh praktik baik untuk implementasi fiqih bencana ini. Meski mereka tak mengenal fiqih bencana, mereka adalah negara yang serius mengajar anak-anaknya untuk siaga bencana. Bukan hanya secara teknis, tapi etis. Saya terkesan saat membaca sebuah artikel tentang bagaimana para pengungsi tetap rapi dan antri saat menerima bantuan pangan. Bahkan di situasi darurat seperti itu, mereka masih sempat itsar (mendahulukan orang lain).
Bencana datang dengan wajah yang netral. Sikap kita lah yang menentukan apakah itu jadi rahmah atau musibah.
Catatan:
- Bahan fiqih bencana diambil dari link ini: https://pdsi.unisayogya.ac.id/…/Fikih-Kebencanaan-Air-Lingk…
- Di bawah ini dua video dokumentasi program Sekolah CERDAS (Ceria, Damai, Siaga Bencana) Program yang diinisasi oleh Peace Gen Indonesia bekerjasama dengan Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) dan didukung oleh Lazismu Pusat. Pada tahun 2017 program ini membantu 20 sekolah di Jawa Tengah untuk menjadi sekolah yang aman siaga dari bencana alam dan sosial (konflik dan kekerasan). tahun 2018 Sekolah Cerdas berlanjut di 5 provinsi menargetkan 100 sekolah.
video 1: https://www.youtube.com/watch?v=LzcZ449s4jE
video 2: https://www.youtube.com/watch?v=AoNPDDGZxng
Baca juga: Fikih Kebencanaan