Oleh: Haedar Nashir
Amr bin Ash dan keluarganya sewaktu awal masuk Islam mengalami tekanan dan siksaan fisik dari kaum kafir Quraisy sebagaimana Bilal bin Rabbah. Karena siksaan yang luar biasa dan rasa kasih sayang untuk menyelamatkan anggota keluarganya, Amr bin Ash sampai dipaksa untuk menyatakan tidak mengikuti ajaran Islam. Berita ini menggemparkan kaum muslimin, sampai sebagian menghakimi dan mencela Amr bin Ash. Namun Nabi sangatlah arif. Beliau meminta kaum muslimin tidak memvonis Amr bin Ash keluar dari Islam. Amr masih beragama Islam. Kaum muslimin pun memahami keadaan yang demikian.
Kasus lain berkisah sebaliknya. Komunitas Badui dari suku Bani Ibn Khuzaiman berbondong-bondong masuk Islam. Motif lahiriahnya karena saat itu sedang ditimpa musim kelaparan atau paceklik. Mereka datang menghadap Nabi dan mengikrarkan diri telah beriman. Pada saat itu turunlah ayat ke-14 Al-Quran Surat Al-Hujarat, yang artinya: “Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman.” Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Hujarat: 14).
Beriman dan berislam bukan sekadar berikrar, tetapi harus ditunjukkan oleh keyakinan dan tindakan yang nyata serta konsisten. Komunitas Badui Arab itu baru berikrar masuk Islam, belum berislam dalam arti tunduk secara awal atau lisan, yang harus ditunjukkan dengan keislaman yang lebih dari itu, lebih-lebih untuk beriman. Esensinya ialah Islam itu harus paralel dengan iman dan ihsan sebagaimana Hadis Nabi ketika didatangi Malaikat Jibril dan ditanya tentang tiga perkara itu. Islam harus terkait dengan iman dan ihsan, iman harus sejalan dengan Islam dan ihsan, dan ihsan harus seirama dengan Islam dan iman dalam satu kesatuan yang utuh.
Pendek kata, Islam secara keseluruhan mencakup di dalamnya iman dan ihsan. Islam termasuk di dalamnya iman dan amal. Islam bukan sekadar ikrar dalam lisan, tetapi harus ditunjukkan dengan perbuatan yang sejalan. Di sinilah pentingnya konsistensi dalam keislaman. Bahwa keislaman itu bukan hanya kata-kata, retorika, dan simbol semata. Keislaman itu harus dibuktikan dengan tindakan-tindakan yang mengandung pesan Islam sebagaimana ajaran-ajarannya yang mendasar. Jadi, Islam itu bukan sekadar kulit luar.
Kini karena demikian semangatnya untuk menampilkan Islam ke luar, tidak jarang yang hadir simbol semata. Simbol itu baik, tetapi tidak cukup. Syariat secara lahiriah itu penting, tetapi isi dan substansi itu tidak kalah pentingnya. Paling ideal tentu saja syraiat itu rukun sekaligus isi, sehingga menampilkan konsistensi atau paralel dari kesatuan Islam dengan iman dan ihsan. Tapi yang sering terjadi malah reduksi atau pengurangan atau penyederhanaan yang membuat keislaman kehilangan substansi dan pesan utamanya.
Islam yang ditampilkan dalam syariat lahiriah ternyata yang ditunjukkan hal-hal yang parsial dan formal semata. Cara berpakaian ala Arab, atribut-atribut fisik seperti jenggot, dan nama-nama yang diberi atribut syariat tetapi tidak disertai isi yang unggul dan lebih baik dari yang lain. Tiak lebih bersih, tidak lebih sehat, tidak lebih akuntabel, tidak lebih utama, tidak lebih baik, tidak lebih unggul dari sistem yang lain. Akibatnya, keislaman yang serba simbolik dan kulit luar itu kehilangan keterpercayaan dan kehormatan di hadapan sistem lain.
Kadang muncul pertanyaan kritis. Banyak negara-negara yang disebut sekuler tetapi kehidupannya lebih maju, tidak ada korupsi, damai, dan unggul dalam berbagai aspek kehidupan. Tetapi negara-negara yang memakai simbol Islam malah tertutup, otoriter, korup, dan banyak masalah. Di mana Islam itu hadir dalam klaim serba formal? Tentu yang baik dan ideal ialah antara Islam normatif dan Islam sejarah (kenyataan) sejalan. Tapi tentu saja, hal-hal yang disebut Islami itu lahir dari substansi Islam yang autentik atau hakiki, bukan sekadar kulit luar. Harus ditunjukkan pula secara jujur, mana yang benar-benar langsung dari ajaran Islam dan mana hasil ijtihad agar tidak terjadi pemutlakan yang sesungguhnya bersifat ijtihadi yang memungkinkan setiap umat berbeda dalam pemahaman dan pengamalannya.
Karena semangatnya menampilkan simbol luar, kadang mudah menghakimi sesama sebagai tidak menjalankan syariat. Tidak Islami. Malah memvonis sesama muslim sebagai mengikuti sistem non-Islam, sistem thaghut, sistem haram. Akibatnya, kehidupan keislaman lebih banyak diwarnai label-label yang memvonis sambil kehilangan pancaran mengamalkan Islam yang mencerahkan kehidupan. Malah jangan sampai paradoks, klaim dan kulit luarnya Islami, tetapi isinya masih jauh panggang dari api. Tampilkan konsistensi Islam antara kulit luar dan isi. Islam yang terbaik dalam kenyataan lebih dari sekadar simbol dan klaim formal. Islam yang sejalan antara kata atau lisan dan tindakan. Islam yang menjadi rahmatan lil’alamin.
Tulisan ini pernah dimuat di rubrik “Ibrah” Majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 01 tahun 2012