JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Nasyiatul Aisyiyah merupakan wadah bagi para perempuan muda Muhammadiyah, yang diharapkan menjadi pelopor perubahan bangsa ke arah yang lebih baik. Memasuki usia yang ke-90 tahun, Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah merasa turut bertanggungjawab dalam menyebarluaskan gagasan dan narasi tentang perdamaian.
Ketua Umum PP Nasyiatul Aisyiyah Diyah Puspitarini dalam pembukaan acara Diplomatic Course yang berlangsung di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, pada Kamis (11/10), menyatakan, situasi dan dinamika kebangsaan yang riuh dan terkadang gaduh, tidak bisa dibiarkan begitu saja. Peran perempuan sebagai salah satu komponen penting dalam keluarga dan masyarakat, mutlak dibutuhkan.
“Di usia yang sekian banyak ini, Nasyiatul Aisyiyah mempunyai banyak pengalaman ketika melalui berbagai rejim berkuasa. Hari ini, ada kesedihan bahwa seolah-olah kekayaan sumber daya alam dan manusia Indonesia pelan-pelan terancam karena perbedaan yang muncul di antara anak bangsa. Ini yang kami takutkan,” ungkapnya.
Di antara alasan yang menjadi latarbelakang diadakannya Pelatihan Singkat Diplomasi PP Nasyiatul Aisyiyah ini adalah untuk membangun kesadaran dalam kehidupan di tengah kemajemukan. “Akhir-akhir ini muncul tema anti pluralitas, anti keberagamaan, intoleransi, deradikalisasi, dan lain-lain. Istilah-istilan ini menjadi PR besar bagi bangsa kita hari ini. Keberagaman yang besar ini seharusnya menjadi potensi yang besar juga untuk kemaslahatan bangsa,” ujarnya.
Acara bekerjasama dengan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) ini dihadiri oleh 28 perwakilan Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah dari seluruh Indonesia. Di antara pembicara yang dihadirkan adalah Prof M. Din Syamsuddin, Prof Syafiq A Mughni, Dr Siti Ruhaini Dzuhayatin, Yudi Latief PhD, dan Irfan Amalee.
Berkaca pada Resolusi PBB tahun 2000 yang mengamanatkan untuk melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan di semua level terkait perdamaian dan keamanan internasional, Pelatihan Singkat Diplomasi ini diharapkan agar para peserta dapat melihat berbagai tantangan global yang menuntut perempuan untuk turut andil dalam menentukan masa depan dunia di tengah berbagai macam ancaman konflik sosial.
Dalam pelatihan selama tiga hari tersebut, para peserta dijejali materi berkaitan dengan tema diplomasi dan perdamaian dari beberapa sudut pandang, seperti dari para duta besar negara sahabat semisal Jepang dan Australia, pekerja kemanusiaan, akademisi, politikus dan penggiat narasi perdamaian.
Para peserta telah terlebih dahulu diminta membuat paper untuk kemudian didiskusikan bersama. “Mereka tidak sekadar datang, tapi juga menganalisa dan membawa tulisan. Paling tidak, waktu tiga hari ini cukup dan mampu membentuk semangat mereka untuk menjadi diplomat-diplomat muda yang menyebarkan ide-ide perdamaian di lingkungan sekitarnya,” ujar Diyah.
Diyah berharap, Indonesia sebagai negara yang majemuk bisa menjadikan keberagaman sebagai potensi yang membawa dampak positif, menyuburkan keharmonisan dalam bermasyarakat. Bukan justru menjadikan perbedaan sebagai sebab permusuhan dan kebencian. “Semoga kita lebih bisa lagi melihat bahwa perbedaan adalah alamiah dan dapat kita nikmati bersama sebagai kekayaan yang harus kita lestarikan. Indonesia punya pengalaman yang luar biasa dalam mengelola perbedaan. Tinggal menyampaikan lagi upaya perdamaian yang bisa dilakukan oleh siapapun termasuk Nasyiatul Aisyiyah ini,” tukasnya. (ribas/af-ppmuh)