Islam Berkemajuan dan Cinta Tanah Air ala Muhammadiyah

Pidato Memaknai Keindonesiaan dan Kemajemukan

Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir MSi

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Kiprah Muhammadiyah dalam kehidupan keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal melekat dengan nilai dan pandangan Islam yang berkemajuan. Pendiri Muhammadiyah sejak awal pergerakannya senantiasa berorientasi pada sikap dan gagasan yang berkemajuan.

Menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, Muhammadiyah sungguh-sungguh percaya bahwa Islam merupakan agama yang mengandung nilai-nilai kemajuan. Islam adalah agama kemajuan (din al-hadlarah) yang diturunkan untuk mewujudkan kehidupan umat manusia yang tercerahkan dan membawa rahmat bagi semesta alam.  Muhammadiyah, dengan pandangannya mengenai Islam sebagai agama kemajuan, senantiasa berusaha untuk mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan.

Pandangan dan sikap kebangsaan  ini sejalan dengan wawasan kemanusiaan universal sesuai dengan pesan Allah dalam Al Qur’an  berikut, yang artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Al-Hujarat/ 49: 13).

Wawasan kebangsaan dan kemanusiaan tersebut juga sejalan dengan misi dakwah Muhammadiyah sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran yang artinya:  “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma´ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran/3: 104).

Dari lintas gerak selama satu abad, ungkap Haedar, kuat sekali karakter Muhammadiyah sebagai gerakan Islam  yang seluruh usahanya ditujukan untuk kemajuan semua umat manusia. “Usaha-usaha yang dilakukan Muhammadiyah untuk program perdamaian, kemanusiaan, dan kemasyarakatan serta berbuat kebajikan untuk semua merupakan aktualisasi dari spirit menghadirkan ajaran Islam sebagai Din al-‘Amal wa Tanwir, yakni agama sebagai seperangkat perbuatan yang membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan,” ulasnya.

Spirit kemanusiaan tersebut juga dilandasi nilai ajaran Islam  sebagai Din al-Salam’ yaitu agama untuk perdamaian dan keselamatan hidup bersama. Dalam konteks universal, Muhammadiyah berusaha untuk menghadirkan Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin’, yakni agama untuk kebaikan hidup seluruh umat manusia di alam semesta sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran Al-Karim yang artinya “Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS  Al Anbiya: 107).

“Islam sebagai agama ‘rahmatan lil-‘alamin’ bagi Muhammadiyah tidak dikumandangkan melalui kampanye slogan dan kata-kata, tetapi diwujudkan melalui usaha-usaha nyata yang memajukan kehidupan bersama. Inilah gerakan Muhammadiyah bagi semua,” ujarnya.

Muhammadiyah percaya bahwa bangsa dan negara Indonesia saat ini dapat menyelesaikan masalah-masalah berat yang dihadapinya serta melaju ke depan secara lebih unggul jika semua kekuatan bangsa berkontribusi terbaik dan berkualitas secar nyata tanpa merasa paling cinta dan bela Indonesia.

“Optimisme ini terbangun karena bangsa Indonesia sesungguhnya memiliki modal sejarah yang penting dan berharga untuk menjadi negara dan bangsa bekemajuan. Indonesia harus dijadikan negara dan bangsa yang benar-benar merdeka, bersatu, adil, dan makmur sebagaimana cita-cita nasional yang dirumuskan para pendiri bangsa 73 tahun yang lalu secara nyata,” ujarnya. Haedar mengingatkan, Indonesia jangan dininabobokan oleh slogan-slogan cinta bangsa dan tanah air yang serba retorik, tanpa perbuatan nyata yang benar-benar memajukan kehidupan bangsa.

“Muhammadiyah selama perjalanan sejarahnya sampai kapanpun selalu bersama Indonesia, bukan klaim-klaim cinta bangsa secara retorika dan komoditisasi citra, tetapi melalui usaha-usana nyata untuk kemajuan Indonesia. Karenanya tidak perlu ada yang mengklaim diri paling Indonesia, paling cinta-NKRI, paling merah-putih seraya memandang pihak lain seolah setengah-Indonesia,” tegasnya.

Menurut Haedar, keindonesiaan harus ditunjukkan bukan dengan klaim dan retorika, tetapi dengan perbuatan nyata yang benar-benar memajukan bangsa dan negara secara lahir dan batin. Bahkan ketika Indonesia dibawa salah arah kemudian diluruskan oleh komponen bangsa, maka usaha meluruskan itu merupakan bagian dari cinta Indonesia dan keindonesiaan.

“Cinta bukan hanya memanjakan dan membuarkan yang dicintai keropos, tetapi niscaya dikasihi sekaligus dibina dan diberdayakan, bahkan diingatkan ketika yang dicintai berada dalam jalan yang tidak semestinya dengan rasa cinta dan bukan dengan amarah dan kebencian,” tukas Haedar Nashir. (ribas)

Exit mobile version