YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Gempita merasa menjadi santri tampak menggema di tanah air hari-hari ini. Berbagai pernyataan, jargon, dan upacara untuk menunjukkan diri sebagai santri meluas di mana-mana.
“Kita bersyukur mudah-mudahan kenyataan tersebut dapat menjadi pertanda baik akan adanya wujud keislaman yang lebih berkualitas dari umat Islam di negeri ini. Tentu diharapkan dapat mewarnai kehidupan Indonesia yang makin berada di jalan yang benar, baik, maju, dan sejiwa dengan nilai-nilai luhur Islam. Sekaligus dengan pengaruh santri, maka Indonesia menjadi negara dan bangsa yang bebas dari korupsi, aji mumpung kekuasaan, kekerasan, kemaksiatan, dan segala keburukan yang membuat citra negeri ini terpuruk,” harap Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir.
Menurutnya, sosok santri adalah perlambang kebajikan beragama atau berislam. Sehingga kesantrian itu harus menunjukkan jiwa, pikiran, perilaku, dan tindakan keislaman yang benar-benar Islami secara nyata. Bukan dalam klaim dan retorika belaka.
Sebagaimana diketahui secara umum bahwa santri adalah julukan bagi seseorang yang mengikuti pendidikan agama Islam di pesantren. Santri, kata Haedar, melekat dengan dunia pesantren yang mendidik beragama dengan benar dan baik. Santri bahkan telah menjadi kategori keagamaan untuk menunjuk muslim yang taat menjalankan agama Islam. Sering disimbolkan kaum putih sebagai perlambang bersih atau suci, lawannya abangan. Jadi, betapa luhur status keislaman kaum santri, sehingga bukan atribut yang sembarangan.
“Karenanya kaum santri tentu harus menunjukkan sikap, tutur kata, dan tindakan yang berakhlak mulia (al-akhlaq al-karimah) sebagaimana diajarkan di pesantren tempat para santri dididik agama dengan sebaik-baiknya. Sebutlah akhlak jujur, amanah, menjaga lisan (hifdzul lisan), sopan santun, damai, tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), kata sejalan tindakan, dan segala perangai yang mulia, serta menebar rahmat bagi orang lain dan lingkungannya,” ulasnya.
Sebaliknya, kata Haedar, kaum santri harus menjauhi segala perilaku yang tercela atau al-akhlaq al-madzmumah yang merugikan diri sendiri, orang lain, dan lingkungannya. Santri tidak melakukan akhlak yang buruk seperti kekerasan kepada siapapun dan apapun seperti menyiksa, membakar, dan berbuat onar atau anarkis di ruang publik hatta atas nama perbuatan baik.
“Santri tidak dibenarkan berbuat sekehendaknya, apalagi dengan menggunakan alasan agama dan nasionalisme. Jika berbeda paham atau pandangan kaum santri tetap baik, damai, dan toleran sebagai wujud ukhuwah. Kalau beramar-ma’ruf maupun bernahi-munkar harus dilakukan dengan cara yang baik sebagaimana prinsip dakwah dengan cara yang bijaksana (bil-hikmah), dengan pelajaran yang baik (wa al-mauidhatul hasanah), dan dialogis (wa jadil-hum bi-llati hiya ahsan),” ungkapnya.
Dalam pandangan Haedar, jika kaum santri dapat menunjukkan uswah hasanah atau teladan yang baik maka umat dan bangsa akan menjadi khaira ummah. Umat dan bangsa tidak dibikin resah. “Sebaliknya manakala tidak mampu menunjukkan keteladanan akhlak mulia maka kesantrian menjadi jauh panggang dari api. Lantas publik akan hilang kepercayaan kepada kaum santri, yang tentu saja berdampak luas pada citra umat Islam di negeri ini,” tukas Haedar Nashir. (red)