TURKI, Suara Muhammadiyah– Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, Ketua Umum PP Aisyiyah Siti Noordjannah Djohantini, dan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, menghadiri pelantikan Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Turki periode 2018-2020, pada Sabtu, 20 Oktober 2018. Kegiatan ini dihadiri Duta Besar Indonesia untuk Turki HE Wardana, dan Atase Pertahanan Indonesia untuk Turki Kolonel Laut (S) Yusliandi Ginting, serta para staf KBRI.
Dalam sambutannya, Haedar menyampaikan tentang wawasan Islam Berkemajuan yang harus dipahami oleh segenap kader Muhammadiyah. Menurutnya, kiprah Muhammadiyah dalam kehidupan keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal melekat dengan nilai dan pandangan Islam yang berkemajuan. Pendiri Muhammadiyah sejak awal pergerakannya senantiasa berorientasi pada sikap dan gagasan yang berkemajuan.
Muhammadiyah, kata Haedar, percaya bahwa Islam merupakan agama yang mengandung nilai-nilai kemajuan. Islam adalah agama kemajuan (din al-hadlarah) yang diturunkan untuk mewujudkan kehidupan umat manusia yang tercerahkan dan membawa rahmat bagi semesta alam. Muhammadiyah, dengan pandangannya mengenai Islam sebagai agama kemajuan, senantiasa berusaha untuk mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan.
“Muhammadiyah memiliki tujuan untuk memajukan dakwah, sesuai dengan anggaran dasar pertama Muhammadiyah yang menyebutkan bahwa, maksud perhimpunan ini adalah: Menyebarluaskan pengajaran Igama Kangjeng Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputera,” tutur Haedar.
Dakwah, menurut Haedar, prinsip dasarnya adalah menyemai nilai-nilai moral agama, berupa nilai kebaikan, dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga kehidupan manusia diwarnai dengan nilai agama, meskipun tidak berarti Islam diformalkan melalui institusi dan simbol-simbol.
Sementara itu, Siti Noordjannah Djohantini menghantarkan materi mengenai pergerakan ‘Aisyiyah yang bersinergi dengan Muhammadiyah. Menurutnya, Muhammadiyah memberikan ruang gerak yang luas kepada ‘Aisyiyah.
“Dalam sejarahnya, ‘Aisyiyah pada tahun 1928, pada kongres perempuan pertama di Indonesia, ‘Aisyiyah menjadi salah satu inisiator. Aisyiyah merespon persoalan klasik yang kini masih hangat diperbincangkan, yakni kedudukan perempuan dan kekerasan terhadap perempuan,” ungkapnya.
Noordjannah juga menuturkan adanya dua sisi dinamika Aisyiyah, yakni dinamika organisasi di masyarakat yang berkaitan dengan advokasi seperti rumah sakit. Aisyiyah memiliki 157 klinik dan 25 rumah sakit. Muhammadiyah sendiri memiliki 11 fakultas kedokteran yang mana hasilnya adalah lulusan-lulusannya bisa bekerja pada rumah sakit-rumah sakit tersebut.
“Dinamika Aisyiyah lainnya adalah bagaimana dakwah Aisyiyah di bidang ekonomi, pada pergerakannya gerakan Aisyiyah menggunakan ekonomi menjadi ihtiar dakwah yang berakselerasi. Salah satu buktinya adalah Sekolah Wirausaha Aisyiyah (SWA) di berbagai daerah yang menjadikan produk seperti makanan tradisional sebagai produk nasionalnya,” tutur Noordjannah.
Adapun Abdul Mu’ti, memberikan materi terkait dengan membangun kepemimpinan dalam berorganisasi. Hal terpenting adalah dengan meluaskan jaringan pergaulan. Kesempatan berkuliah di luar negeri merupakan potensi besar untuk memperluas jejaring pertemanan dengan semua kalangan dari berbagai latar belakang. Hal itu pula yang dicontohkan oleh Kiai Dahlan. (ribas/ppm)