BANTUL, Suara Muhammadiyah – Kasus yang dihadapi Baiq Nuril Maknun, mantan pegawai tata usaha SMA Negeri 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, akhirnya mendapatkan penundaan eksekusi. Kebijakan penundaan eksekusi untuk vonis 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta terhadap Baiq Nuril tersebut dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung hingga adanya putusan untuk melakukan Peninjauan Kembali (PK). Menyikapi putusan tersebut, Pusat Studi Hukum Pidana dan Kriminologi Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) memberikan pernyataan terkait kasus tersebut. Pernyataan tersebut dilaksanakan pada hari Rabu (21/11) di Gedung Ki Bagus Hadikusumo, Ruang Sidang Fakultas Hukum kampus terpadu UMY.
Heri Purwanto, SH,MHum, selaku Kepala Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum (PKBH) UMY menyebutkan bahwa putusan atas tindak pidana “mendistribusikan dan mentransmisikan konten kesusilaan” dipandang terlalu dini. “Upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum dalam menindak kasus ini nampak kurang serius. Pasalnya kasus tersebut masih belum ditangani berdasarkan perspektif gender dan hak asasi manusia korban. Sikap seperti ini harus dihentikan karena akan melanggengkan praktik kekerasan terhadap perempuan dan membuat mereka yang menjadi korban semakin enggan untuk melaporkan dan memperjuangkan kasus serta hak mereka,” ungkapnya.
Heri menjelaskan bahwa aparat hukum yang menangani kasus tersebut perlu melakukan pengkajian secara mendalam. “Misal dalam menentukan tindakan Baiq Nuril yang merekam telepon dari M untuk bukti bahwa dirinya merasa mengalami pelecehan seksual, fakta tersebut seharusnya dapat digunakan untuk membela diri. Karena tindakan yang dilakukan oleh M tersebut kemudian memunculkan rumor bahwa dirinya menjalin hubungan dengan M dan hal tersebut membuat Baiq Nuril mengalami penderitaan psikologis,” ujarnya.
Dr Trisno Raharjo, SH, MHum, peneliti dan Dekan FH UMY, menyebutkan bahwa aparat hukum harus melakukan pembelajaran yang baik dalam menyikapi kasus serupa. “PKBH UMY melihat persoalan ini bukan semata-mata menyoal putusan MK saja, namun juga terkait proses penanganan yang dilakukan penegak hukum. Kami ingin menegaskan bahwa ketika ada kasus-kasus yang berhubungan dengan perempuan, terutama yang menyangkut masalah kekerasan seksual, harus dipelajari dengan baik. Karena seringkali dalam kasus yang melibatkan perempuan berhadapan dengan hukum, tidak mudah dalam menentukan pelaku dan korban. Kadang perempuan terlihat sebagai pelaku padahal mereka merupakan korban dengan menimbang berbagai aspek yang menyebabkan kasus tersebut terjadi,” ungkap Trisno.
Lebih lanjut Trisno menjelaskan bahwa dalam mengadili perempuan yang berhadapan dengan hukum, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. “Pertama masalah kesetaraan dan stereotip gender dalam peraturan perundangan dan hukum tidak tertulis. Perlu dilakukan penafsiran atas peraturan tersebut agar dapat menjamin kesetaraan gender dalam penanganannya. Perlu juga untuk menggali nilai dan kearifan lokal serta rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat guna menjamin kesetaraan, pertimbangan terhadap berbagai konvensi dan perjanjian internasional yang telah diratifikasi juga perlu dilakukan,” jelasnya.
Pusat Studi Hukum Pidana dan Kriminologi FH UMY juga mengapresiasi kebijakan yang dikeluarkan Kejaksaan Agung dalam kasus tersebut. “Kebijakan serta dukungan masyarakat untuk penundaan eksekusi terhadap terpidana merupakan sebuah putusan yang positif menurut kami. Namun ini bukan solusi akhir yang menyelesaikan bagi pihak Baiq Nuril, karena masih menyisakan masalah pemidanaan. Harapannya, Baiq Nuril dan juga penasihat hukumnya mengambil langkah PK meskipun ada jalan untuk mengajukan grasi. Kami juga berharap bahwa Hakim yang mengadili mempertimbangkan aspek perempuan berhadapan dengan hukum dan kami yakin apabila penanganan yang dilakukan mempertimbangkan hal tersebut maka putusannya adalah bebas,” tutup Trisno.(BHP UMY)