Menjaga Harmoni dan Multikulturalisme, Best Practice Pengelolaan Asrama Mahasiswa UM Kupang

Menjaga Harmoni dan Multikulturalisme, Best Practice Pengelolaan Asrama Mahasiswa UM Kupang

SEMARANG, Suara Muhammadiyah – Agenda hari kedua Munas Aslama I adalah pemaparan best practice model pengelolaan asrama mahasiswa. Narasumber yang hadir ada yang dari eksternal dan internal PTMA. Pemateri eksternal adalah Direktur Asrama IPB, Dr Zainal Abidin, MAgr. Pemateri internal adalah Direktur Pesma KH Sahlan Rosjidi Unimus, Rohmat Suprapto, MSi sebagai best practice model pengelolaan asrama satu tahun.

Penyaji best practice kedua adalah Direktur Pesma Al-Manar UM Ponorogo, Azid Syukroni, MPdI sebagai model pengelolaan asrama satu bulan. Best practice ketiga adalah model pengelolaan asrama satu minggu yang disampaikan oleh Yudi Suharsono, MSi selaku kepala biro kemahasiswaan di UMM. Best practice terakhir adalah dari UM Kupang yang disampaikan oleh Muhammad Tamrin, MPdI selaku Pengasuh Asrama Mahasiswa yang menyampaikan materi tentang best practice pengelolaan asrama mahasiswa heterogen.

Yang menarik dari UM Kupang adalah jumlah mahasiswa asrama non muslim lebih banyak dari pada mahasiswa muslim. “Prof Amin Rais ketika berkunjung ke kami pernah berseloroh bahwa UMK adalah Universitas Muhammadiyah Kristen, saking dominannya mahasiswa beragama kristen di sana,” ujar Tamrin.

Tantangan yang dihadapi oleh UMK adalah permasalahan multikultural, meliputi perbedaan agama, perbedaan budaya, dan perbedaan bahasa. “Di kami, dalam satu kabupaten ada beberapa bahasa. Kabupaten Alor itu memiliki banyak sekali bahasa. Alhamdulillah ada bahasa Indonesia yang menyelamatkan komunikasi kami. Satu kamar ditempati oleh empat orang, biasanya dua muslim dan dua non muslim,” tuturnya.

Beberapa kejadian menarik dialami dalam pengelolaan asrama heterogen di UMK ini. Misalnya, terkait peraturan berpakaian, mahasiswi non islam diharuskan memakai baju di bawah lutut. Ahad pagi, mahasiswi islam keluar kamar dengan jilbabnya untuk menghadiri pengajian di masjid, mahasiswa non islam keluar kamar dengan Al Kitab di tangan untuk berangkat ke gereja.

Kejadian unik lainnya adalah adanya paduan suara yang beranggotakan para paduan suara dari mahasiswa yang banyak di isi oleh non muslim. “Mereka menyanyikan Mars Muhammadiyah dengan lirik “Ya Allah tuhan rabbiku, Muhammad junjunganku, Al Islam agamaku, muhammadiyah gerakanku” dengan suara yang lantang dan merdu. Dan itu dilakukan dalam acara-acara formal seperti wisuda, Milad, dan sebagainya yang notabene dihadiri oleh banyak orang, termasuk orang tua mahasiswa. Alhamdulillah, sejauh ini tak ada yang protes,” paparnya sambil berseloroh.

Kehidupan masyarakat di Kupang cenderung bebas. Mereka tidak mempermasalahkan pergaulan laki-laki dan perempuan. Para pemilik kos menerima mahasiswa dan mahasiswi campur dalam satu kompleks. Hal ini berterima di masyarakat, karena memang budayanya seperti itu. Tetapi hal ini menjadikan orang tua mahasiwa khawatir menguliahkan anak mereka di UMK. Mereka tidak rela anaknya masuk lingkungan pergaulan seperti itu. Mereka tidak mengenal istilah bukan mahram, karena hal tersebut tidak ada di dalam agama mereka. Kegemaran mereka adalah berpesta dan menyanyi. Ini benar-benar kondisi yang menantang UMK dalam menjalankan dakwah di sana. Tetapi, lambat laun kepercayaan masyarakat islam mulai tumbuh seiring meningkatnya berbagai prestasi akademik maupun non akademik UMK, sehingga mereka memasukkan anaknya ke UMK.

Salah satu cara mendakwahkan islam kepada mahasiswa non islam adalah dengan memanfaatkan momen-momen penting islam untuk mengenalkan islam kepada mereka. “Mereka kami libatkan dalam kegiatan-kegiatan apapun, seperti kepanitiaan Milad. Milad kami rayakan besar-besaran, karena ini adalah gong dari kegiatan mengenalkan islam dan muhammadiyah kepada mereka. Islamnya memang belum, tetapi kebanggaan terhadap muhammadiyah alhamdulillah mulai kelihatan. Terlihat dari keaktifan mereka mengikuti berbagai kegiatan kemuhammadiyahan yang ada di kampus,” jelasnya.

Kehidupan multikultural terasa harmoni sekali di sana. Saling menghargai dan toleransi antarumat beragama. “Hal ini terlihat di dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, perihal makanan. Biasanya masyarakat non islam menyerahkan proses masaknya kepada orang islam. Contoh, jika mau masak ayam, mau menyembelih ayam, mereka memanggil kita, karena kalau mereka sendiri yang menyembelih maka kita tidak mau makan karena tidak menyebut lafadz Allah,” katanya.

Demikian uniknya pengelolaan asrama heterogen UMK ini, sehingga hal ini menjadi salah satu poin yang dibahas dalam sidang komisi Munas Aslama I ini. Karena sejatinya dakwah amar makruf nahi munkar Muhammadiyah ditujukan kepada seluruh kalangan masyarakat, tidak melihat latar belakang budaya, tidak memandang latar belakang agama. (Nu)

Exit mobile version