Oleh Ustadzi Hamzah
Sab’ah Ahruf dan Qira’ah Sab’ah
Al-Qur’an merupakan dasar paling asasi dari ajaran Islam, sehingga kemurniannya selalu menjadi acuan utama. Campur tangan manusia baik berupa penambahan, pengurangan, atau pemindah-lokasian ayat satu ke tempat lainnya tidak mungkin terjadi. Hal ini disebabkan oleh penjagaan yang dilakukan oleh kaum muslim dari sejarah paling awal Islam hingga saat ini. Salah satu bentuk penjagaan yang telah teruji secara historis adalah hafalan al-Qur’an yang dilakukan oleh para sahabat yang sesuai dengan yang asli dari Nabi Muhammad SAW, kemudian jaminan Allah sendiri yang menjaga kemurnian al-Qur’an dari campur tangan manusia (QS. 15: 9). Muhammad Mustafa al-ʻAzami, dalam bukunya The History of the Qur’anic Text: From Revelation to Compilation (2005), mengatakan bahwa Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sudah dalam bentuk “pengucapan” dan tulisannya, sehingga apa yang dibaca oleh Nabi dan diwariskan kepada para sahabat adalah sama meskipun nabi mengajarkannya dengan berbagai qiraat (tata cara membaca). Dengan demikian penjagaan al-Qur’an itu mencakup tulisan dan ucapannya. Allah telah menjaga kandungan dan substansi al-Qur’an itu sendiri melalui tradisi hafalan yang meliputi lafadz dan kalimat, qiraa’t (bacaan), makna yang terkandung di dalamnya, serta tata letak, urutan, nama ayat, dan lain sebagainya yang termasuk dalam istilah tauqifi (ditetapkan oleh Allah dan Rasulullah SAW).
Adapun untuk rasam (jenis tulisan), harakat (tanda baca), tiba’ah (penjilidan dan pencetakan), tafsir dan ta’wil (pemaknaan ulang untuk menjelaskan), dan lain sebagainya yang menyangkut hal-hal yang taufiqi (kompromi dan kesepakatan sejarah) merupakan hasil dari perkembangan sejarah huruf-huruf Arab pada masa konkordansi dan penulisan al-Qur’an. Dengan demikian, untuk hal-hal yang bersifat taufiqi al-Qur’an berkait berkelindan dengan perkembangan zaman. Untuk hal-hal yang telah ditetapkan (tauqifi), menjadi wewenang Allah dan Rasulullah, tetapi untuk beberapa hal misalnya qira’at (bacaan), masih terkait dengan lahjah manusia yang berbeda-beda. Sekalipun demikian, substansi qira’at tetap mengacu pada standar bacaan yang didasarkan pada Rasulullah melalui periwayatan yang mutawatir.
Menurut Azami, sejarah telah mencatat bahwa al-Qur’an dibaca tidak hanya dengan satu dialek saja, dan hal ini lebih disebabkan karena sebab-sebab eksternal dan internal. Sebab eksternal adalah luasnya daerah kekuasaan Islam yang jauh berada di luar tradisi Arab Quraish yang memungkinkan muncul berbagai bacaan terhadap al-Qur’an. Sedangkan sebab internal adalah perkembangan penulisan alpabet Arab yang masih berjalan semasa al-Qur’an ditulis dan dikumpulkan. Meskipun demikian, semasa Nabi masih hidup beliau telah mengajarkan berbagai ragam pembacaan al-Qur’an kepada para sahabat sesuai dengan qira’at dan cara yang yang berbeda-beda yang disebut dengan tujuh huruf (sab’atu ahruf). Qiraat yang disebutkan oleh Nabi SAW ini didasarkan pada hadis Imam Muslim, Shahih Muslim hadis no. 1789, dan Imam ibn Hanbal, Musnad, hadis no. 21242. Para ulama menafsirkan ungkapan sabʻah ahruf (tujuh huruf) secara beragam. Ada beberapa pendapat tentang tafsir sabʻah ahruf, yakni adalah qira’at sab’ah –pendapat Ibn Mujahid (wafat 324 H/936 M). Ada yang berpendapat bahwa sab’ah ahruf adalah segi-segi perbedaan yang tujuh (Abu al-Fadhl al-Razy), yakni singural-plural, (QS 23:8), perbedaan dari segi i’rab (QS 12:31), perbedaan tashrif (QS 34:19), perbedaan taqdim atau ta’khir (QS 50:19), perbedaan dari segi al-ibdal (penggantian) (QS 2:259), penambahan (al-ziyadah), dan pengurangan (an-naqsh) (Q.S.9:100), perbedaan dalam dialek (al-lahjat) (Q.S.20;9). Pendapat ini juga serupa dengan pendapat Ibn Qutaibah, Ibn al-Jazari, dan Qadi ibn Tayyib. Dari kedua pendapat tersebut –sejatinya masih ada beberapa pendapat tentang sab’ah ahruf, namun kurang berpengaruh, dan kedua pendapat tersebut yang menonjol, maka jumhur ulama lebih menyepakati pendapat dari al-Razi, karena sab’ah ahruf merupakan bentuk ungkapan bahwa jumlah bacaan al-Qur’an lebih dari satu qira’at, dan bukan merujuk pada jumlah orang yang meriwayatkan. Kemudian argumentasi lain, pada zaman nabi belum ada ahli-ahli imam qira’at sebagaimana disebutkan oleh Ibn Mujahid. Oleh karena itu, makna sab’ah ahruf adalah qira’at yang diajarkan nabi kepada para sahabat yang tidak hanya satu jenis bacaan saja. Dengan demikian qira’ah sab’ah yang disandarkan pada imam-imam qiraat yang tujuh (sesuai rumusan Ibn Mujahid) hanya bagian dari sab’ah ahruf, karena masih banyak sahabat yang mempunyai riwayat shahih yang belum dimasukkan ke dalam imam qira’at.
Lahirnya Qira’ah Sab’ah
Dalam Shahih Bukhari dan Musnad Ibn Hanbal, sebagaimana dijelaskan di atas, Nabi dalam mengajarkan wahyu al-Qur’an diberikan keleluasaan untuk menggunakan dialek (qira’at) yang beragam. Para sahabat menerima cara membaca yang beragam langsung dari Nabi SAW. Selanjutnya para sahabat mengembangkan qira’at tersebut, di antara yang paling terkenal menurut al-Dhahabi dalam kitab Tabaqat al-Qurra’ adalah Ubay ibn Kaʻab, Ali ibn Abi Talib, Zaid ibn Harithah, Ibn Masud, dan Abu Musa al Ansari, Uthman ibn ʻAffan, dan Abu Darda’. Dari sahabat-sahabat tersebut qira’at al-Qur’an diriwayatkan melalui tabi’in, dan tabi’ tabi’in sampai ulama-ulama pada masa sesudahnya. Pada akhir abad pertama hijriyah banyak para tabi’in yang menfokuskan diri menggeluti dan fokus pada penelitian qira’at tersebut, dan qira’at menjadi cabang ilmu pengetahuan selain ilmu-ilmu lainnya. Ilmu ini mempelajari runtutan periwayatan qira’at yang syah bersambung pada Rasulullah.
Di awal abad kedua hijriyah banyak ulama yang mempelajari ilmu qira’at ini, dan orang pertama yang menyusun sesca sistematis ialah Abu ‘Ubaid al-Qasim ibn Sallam (wafat 224 H). Sekalipun demikian ilmu ini sangat menjulang tinggi ketika Ibn Mujahid (wafat 324 H) merumuskannya dalam kitab Kitab al-Sab’at fi al-Qira’at. Ibn Mujahid mengkaji periwayatan qira’at dan merumuskan tujuh orang sebagai imam qira’at. Imam-imam tersebut adalah orang yang meriwayatkan, mempelajari, mengamalkan, dan mempelajari qira’at dari para sahabat. Ketujuh imam itu adalah Nafi’ ibn Abdurrahman ibn Abu Nuaim al-Laitsy (70-169 H, Madinah), Abu Ma’bad Abdullah bin Kathir al-Makki (45-120 H, Mekah), Zabban bin al-‘Ala’ bin ‘Ammar (68-154 H, Kufah), Abdullah ibn Amir al-Yahsabi (21-118 H, Damaskus), Abu Bakar Ashim bin Abu al-Najud al-Asadi (wafat 128 H, Kufah), Ali ibn Hamzah al-Kisa’i (wafat 189 H, Ray), Hamzah ibn Hubaib al-Zayyat (80-156 H, Halwan). Dari ketujuh imam tersebut kemudian dikenal dengan qira’ah sab’ah yang dinisbahkan kepada mereka yakni qira’at Nafi’, qira’at Ibn Katsir, qira’at Abu ‘Amr, qira’at Ibn ‘Amir, qira’at ‘Ashim, qira’at Hamzah, dan qira’at al-Kisa’i.
Beberapa pendapat ulama, jumlah qira’at tidak hanya tujuh, tetapi sepuluh dengan memasukkan Ya’qub (w. 205 H/821 M) dari Basra, Khalaf bin Hisyam (w. 229 H/844 M) dari Kufah, serta Abu Ja’far (w. 130 H/738 M) dari Madinah. Ada pula yang mengatakan bahwa qira’at berjumlah empat belas dengan memasukkan qira’ah Hasan al-Basri (w. 110 H/729 M) dari Basra, Ibnu Muhaisin (w. 123 H/741 M) dari Mekah, Yahya bin Mubarok al-Yazidi (w. 202 H/818 M) dari Basra, dan Abi al-Faraj Muhammad bin Ahmad al-Syanbud (w. 388 H/998 M). Sekalipun demikian, qira’ah sab’ah yang dirumuskan oleh Ibn Mujahid itu telah diakui ke-mutawatiran-nya, sedangkan qira’at lainnya masih diperselisihkan status ke-mutawatiran-nya.
Sistem isnad, yakni periwayatan secara bersambung dari satu orang ke orang lainnya, menjadi model utama transformasi qira’at tersebut. Dengan demikian qiraat yang dibaca oleh generasi sesudah para sahabat dan tabi’in tetap mengikuti apa yang diajarkan nabi, meskipun tersebar di tempat yang jauh dari Madinah dan rentang waktu yang sangat panjang dengan Rasulullah. Meskipun demikian, ada banyak qira’at yang berkembang di dunia Islam pada masa perkembangan awal Islam yang kesemuanya menyandarkan pada Nabi Muhammad. Oleh karena itu, ijtihad untuk menggali sumber qiraat terus dilakukan oleh umat Islam, sehingga lahirlah konsep qira’ah sab’ah itu.
Pandangan Orientalis tentang Qira’ah Sab’ah
Di samping menimbulkan kontroversi di kalangan internal muslim, rumusan Ibn Mujahid tentang qira’ah sab’ah juga menjadi angle bagi para orientalis untuk menyerang kemurnian al-Qur’an. Di kalangan muslim, kontroversi tersebut berkisar pada persoalan jumlah imam qira’at yang dimasukkan oleh Ibn Mujahid ke dalam qira’ah sab’ah (ragam bacaan yang tujuh), dan interpretasi sab’ah ahruf menjadi qira’ah sab’ah yang diriwayatkan oleh tujuh imam tersebut. Padahal, kalau dicermati, banyak interpretasi tentang sab’ah ahruf sebagaimana diungkapkan dalam hadis Nabi SAW, namun “hanya” dibatasi menjadi tujuh orang imam yang mempunyai kapasitas riwayat bacaan (qira’at) al-Qur’an.
Dalam pandangan kaum orientalis, seperti Ignaz Golziher, Arthur Jeffery, Theodor Noldeke, Gotthef Bergstasser, dan yang lainnya, munculnya ragam bacaan yang banyak membuktikan bahwa orang muslim sendiri tidak dapat memastikan kemurnian al-Qur’an sebagai kitab sucinya. Arthur Jefffery, seorang ahli Bahasa-bahasa Semit dari Kanada, misalnya mengatakan bahwa ada banyak versi al-Qur’an yang beredar di kalangan muslim. Dia mengambil contoh munculnya mushaf Ibn Mas’ud yang sangat berbeda dengan mushaf Uthmani yang diyakini oleh umat Islam. Dalam sebuah riwayat tentang Ibn Mas’ud yang dinukil oleh Jeffery, disebutkan bahwa Ibn Mas’ud telah menghilangkan tiga surat terakhir, al-Ikhlas, al-Falaq, dan al-Nas, kemudian berbagai ragam bacaan yang berbeda secara prinsip dengan mushaf Uthmani. Bagi Jeffery, munculnya konsep qira’ah sab’ah oleh Ibn Mujahid memperparah kontroversi seputar ragam bacaan di dalam al-Qur’an, di tambah lagi kontroversi perihal mushaf Ibn Mas’ud dan riwayat-riwayat di seputarnya. Dengan munculnya keragaman qira’at al-Qur’an, Jeffery juga berpendapat bahwa al-Fatihah bukan bagian dari al-Qur’an. Bagi kaum orientalis silang pendapat mengenai ragam bacaan yang muncul merupakan bukti bahwa di kalangan umat Islam sendiri tidak ada kesepakatan perihal kitab sucinya, dan telah terjadi tahrif dalam al-Qur’an.
Tuduhan-tuduhan oleh kaum orientalis, sebenarnya terjawab dengan sendirinya oleh sejarah al-Qur’an yang sangat panjang dan riwayat-riwayat yang mengiringinya. M.M Azami sendiri misalnya, telah menunjukkan kekurangtelitian kaum orientalis dalam melihat riwayat-riwayat dalam sejarah al-Qur’an secara utuh. Tentang Ibn Mas’ud, ulama-ulama seperti al-Nawawi dan Ibn Hazm mengatakan bahwa riwayat-riwayat yang ditimpakan kepada Ibn Mas’ud adalah bohong dan penuh kebohongan. Kemudian persoalan-persoalan yang dituduhkan oleh Arthur Jeffery di atas merupakan upaya untuk memposisikan al-Qur’an dalam posisi dilihat dari Bible, artinya al-Qur’an berusaha dikaji melalui metodologi kajian Bible. Karena di dalam Bibel terjadi banyak penyimpangan, maka dalam pandangan orientalis al-Qur’an juga mengalami nasib yang sama dengan yang dialami Bible. Kalau dicermati, kajian terhadap Bible memang penuh persoalan karena tidak ada dasar periwayatan yang bersambung ke sumber paling awal, dan data yang digunakan merupakan data-data sejarah yang jauh muncul setelah wafatnya Jesus. Ilmuawan seperti Ibn Hazm di abad 10 M/5 H dalam Kitab al-Fasl, dan M. M Azami di abad 20 M/5 H dalam buku telah membuktikan hal itu.
Sejarah munculnya qira’ah sab’ah dan interpretasi atas konsep sab’ah ahruf sebenarnya merupakan wacana dinamis dari sejarah al-Qur’an dengan dasar periwayatan yang bisa dipertanggungjawabkan secara metodologis. Dengan demikian, konsep qira’ah sab’ah hanya merupakan satu dinamika dari sekian dinamika yang berusaha menunjukkan bagaimana kemurnian al-Qur’an selalu dijaga dari generasi-ke generasi dengan metodologi ilmiah dan bisa dipertanggungjawabkan secara historis.Wallahu a’lam.
Penulis adalah dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tulisan ini pernah dimuat di rubrik ‘Hadlarah” majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 7 tahun 2011