Oleh Prof Dr Ir Ali Agus DAA DEA
Allah menciptakan manusia di muka bumi membawa misi kekalifahan sebagai wakil Allah untuk membawa kesejahteraan bumi dan seluruh isinya. Islam sebagai agama penutup diturunkan sebagai rahmatan lil alamin, artinya kehadiran manusia di bumi seharusnya memberikan manfaat yang mensejahterakan alam semesta, bukannya sebaliknya yaitu membuat kerusakan di muka bumi. “Dan kami hamparkan bumi, kami jadikan pada bumi tersebut gunung-gunung, dan kami tumbuhkan segala sesuatunya (di bumi) dengan menjaga keseimbangan (ekosistemnya) agar bumi ini kami jadikan sebagai sumber rezeki bagi kamu (manusia) dan bagi mahluk lain yang rezekinya bukan urusan kamu” (QS.15:19-20). Dari firman di atas telah jelas bahwa Tuhan menggambarkan bahwa menumbuhkan sesuatu (pertanian) harus dengan menjaga keseimbangan ekosistemnya.
Hanya sayang, sebagian besar perilaku manusia modern dewasa ini melakukan tindakan yang secara sistematis menyebabkan kerusakan bumi beserta isinya, dengan dalih untuk kesejahteraan umat manusia (segelintir/segolongan umat manusia). Akibat dari eksploitasi alam yang berlebih dan tidak berimbang menyebabkan ekosistem alam terganggu. Fenomena alam seperti kekeringan, kebakaran, kebanjiran, curah hujan dan turun salju berlebih dan tidak beraturan, serta kerusakan lingkungan sebagai akibat pembabatan hutan, penambangan, pembangunan gedung-gedung pencakar langit diduga kuat penyebab pemanasan global (global warming). Kerusakan lingkungan yang terjadi secara sistemik dan berkelanjutan berakibat pada musnahnya sebagaian sumber daya hayati dan hewani. Tidak sedikit berbagai spesies baik tumbuhan maupun hewan telah musnah dari muka bumi termasuk di dalamnya beberapa varietas tanaman pangan lokal (padi, polowijo) sebagai akibat dari industrialisasi pertanian.
Di sisi lain, jumlah penduduk dan tingkat pertumbuhan nya yang cepat, diperkirakan pada tahun 2010 ini mencapai 6,8 milyar dan penduduk Indonesia mencapai 230 juta jiwa, memerlukan bahan pangan. Banyak ahli dan pemimpin dunia mengkawatirkan kemungkinan krisis pangan dunia dimasa-masa yang akan datang apabila tidak diantisipasi secara cerdas. Revolusi pertanian sejak tahun 1970-an telah membawa konsekuensi semakin rusaknya lahan pertanian akibat input produksi berlebihan terutama akibat dari pupuk kimia dan juga pestisida demi mengejar tingginya produktivitas pertanian. Tentu kebijakan revolusi pertanian yang mengandalkan input produksi berbasis bahan tiruan (artificial dan kimia) tidak dapat terus dilanjutkan. Disamping menurunnya kesuburan lahan, bahan pangan dan pangan yang dihasilkan masih menyisakan residu kimia (pupuk, pestisida, aditif, artifical flavors, dsb.) yang apabila terkonsumsi oleh manusia akan menyebabkan berbagai gangguan kesehatan (obesitas, kanker, dsb) bahkan kejiwaan (stress ringan sampai stress parah).
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, tantangan dunia pertanian kedepan adalah mengoptimalkan lahan pertanian dengan tetap menjaga keseimbangan ekosistemnya dan menghasilkan pangan berkualitas (hallalan-thoyiban) untuk memenuhi kebutuhan penduduk bumi yang semakin meningkat. Ketersediaan pangan yang cukup jumlah dan bermutu kualitasnya (thoyibah) dengan tanpa melakukan kerusakan alam menjadi tantangan manusia di bumi termasuk manusia Indonesia. Sebagai negara terbesar nomor 6 dari luas wilayahnya dan nomor 4 terbesar dunia dari segi jumlah penduduknya dan nomor satu dunia dari jumlah pemeluk agama islam-nya, keberadaan bahan pangan dan pangan yang hallalan-thoyiban adalah suatu keharusan.
Indonesia sudah saatnya mengambil peran di depan untuk mempeloporinya suatu sistem pertanian yang menghasilkan bahan pangan dan pangan yang hallalan-thoyiban. Allah SWT telah memerintahkan hambanya : “Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithon, karena sesungguhnya syaithon itu adalah musuh yang nyata bagimu” (QS. 2 : 168). “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kamu kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah” (QS.2 : 172)
Dalam ayat tersebut mensiratkan keharusan manusia bersyukur dengan menyadari pentingnya memakmurkan bumi sebagai sumber rezeki dan penghasil pangan yang halal dan thoyib, apabila akan mengharapkan ridho Allah SWT.
Penulis adalah Guru Besar Fakultas Peternakan UGM, Konsultan MPM PP Muhammadiyah
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah Nomor 2 tahun 2012