Dialog Pemikiran dalam Intern Umat Islam

Majelis Tarjih Muhammadiyah Tidak Bermadzhab

Peserta Musyawarah Nasional Tarjih ke-30 di Makassar 2018

Oleh Muhamad Rofiq Muzakkir

Dalam khazanah Islam yang kaya, para ulama telah bersepakat untuk mengamini satu kaedah: “la inkara fi al-masail al-khilafiyyah al-ijtihadiyyah” (tidak boleh mengingkari masalah agama yang  diperselisihkan dan menjadi ruang ijtihad). Kaedah lainnya yang dicetuskan para ulama adalah “nata’awanu fima ittafaqna wa ya’tadzir ba’dhuna ba’dhanfima ikhtalafna fihi” (saling tolong menolong dalam hal-hal yang disepakati dan saling mentolerir dalam hal-hal yang diperselisihkan). Belakangan kaedah terakhir direvisi menjadi “nata’awanu fima ittafaqna wa natahawaru fima ikhtalakfna fihi” (saling tolong menolong dalam hal-hal yang disepakati dan berdialog dalam hal-hal yang diperselisihkan). Berdasarkan dua kaedah tersebut, maka budaya sharing, take and give, dialog, diskusi dengan sabar dan lapang dada, adalah sesuatu yang sangat esensial dan harus diimplementasikan di kalangan umat Islam.

Perbedaan pemikiran dalam agama Islam sesungguhnya merupakan sebuah keniscayaan yang tidak terelakkan. Dapat dikatakan bahwa keragaman pemikiran (ta’addudul ara) adalah watak yang inheren dengan agama Islam itu sendiri. Perbedaan pemikiran dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, perbedaan dasar atau epistemologi pemikiran. Misalnya perbedaan dalam hal menilai otentisitas hadis. Satu pihak menilai sahih satu riwayat, sementara pihak lain menganggapnya daif. Perbedaan epistemologi juga terkait dengan persoalan sejauh mana keabsahan penggunaan rasio atau nalar dalam beragama. Di kalangan ulama misalnya ada yang memiliki kecendrungan rasionalis seperti Abu Hanifah, namun ada pula yang memiliki kecendrungan mempersempitperan akal dan lebih mengandalkan peran nas, seperti Imam Ahmad ibn Hanbal.

Kedua, disebabkan oleh pengaruh dari kondisi sosio-kultural, yang kemudian berimplikasi pada perbedaan sikap dalam menghadapi permasalahan yang muncul. Sebagai contoh, Imam Syafii memiliki dua versi pemikiran hukum karena menemui dua kondisi sosio–kultural yang berbeda. Pandangan lama (qaul qadim) ia rumuskan saat masih di Irak dan pandangan baru (qaul jadid) ia formulasikan setelah ia pindah ke Mesir. Contoh yang lain, seorang imam yang tinggal di kota New York dan memimpin kaum muslimin yang minoritas,cenderung lebih fleksibel dibandingkan dengan pandangan seorangfaqih yang hidup di kota Madinah yang secara budaya lebih monolitik.Ketiga, perbedaan pemikiran disebabkan oleh sifat multitafsir dari nas-nasagama itu sendiri. Kebanyakan ayat al-Quran justru bersifat qabiliyyah li tanawwu’i al-tafsir (terbuka untuk menerima penafsiran dan pembacaan yang beragam).

Oleh karena perbedaan pemikiran dalam agama Islamadalah sesuatu yang tidak dapat dihindari, maka hanya ada dua kemungkinan menyikapinya. Pertama, dengan menerima perbedaan tersebut apa adanya,artinya dengan menyikapinya secara toleran. Kedua, dengan mendialogkannya untuk mencari kemungkinan titik temu. Kemungkinan kedua seharusnya lebih banyak dikedepankan. Karena dengan dialog umat Islam dapat memperluas cakrawala pemikiran sehingga tidak lagi inward looking (berpandangan sempit). Dialog mengajarkan kita untuk memahami sudut pandang orang lain. Dengan dialog pula akan terjadi sintesa keilmuan. Pengalaman Imam Syafiidalamhalinidapat dijadikan ibrah. Ia berhasil merumuskan konsep qiyas dalam Ushul Fikih karena ia mampu mencari titik temu antara ahlul hadis dan ahlur rakyi yang berkompetisi pada masanya. Qiyasberhasilmenjembataniantarakontrolnasdi satusisidanpenggunaannalardalamberagama di sisi yang lain.

Namun sungguh sangat disayangkan, tidak semua umat Islam menyadari konsep Islam tentang pluralitas penafsiran dan dialog yang konstruktif seperti digambarkan di atas. Fakta yang sangat ironis dan menyedihkanadalah sebagian umat Islam,karena perbedaan pandangan,justru cenderung mudah untuk kehilangan kendali. Misalnya, diantara umat Islam ada yang dengan mudah menuduh kelompok yang lain sesat dan menyimpang.Padahal yang sesungguhnya terjadi adalah perbedaan pandangan dalam masalah khilafiyah. Ada pula yang tidak bertindak lebih jauh, yaitu denganmengkafirkan kelompok yang berbeda.

Dua peristiwa berikut ini penting untuk direnungkan dan dapatkitaambil hikmahnya. Di tahun 1960, Yusuf Qaradlawi, seorang ulama terkemuka dari Mesir, mempublikasikan buku yang berjudul ‘al-Halal wa al-Haram fi al-Islam’. Buku tersebutsangat fenomenal dan disambut oleh dunia Islam dengan sangat antusias. Hanya kelompok yang menyebut dirinya ahlul hadis lah yang kurang apresiatif dan bahkan sedikit sarkatis menyikapi buku tersebut. Syaikh Rabi al-Madkhali (2006) misalnya, menulis buku yang berjudul “Iskatul Kalbi al-Awi’ (Membungkam Anjing yang Menggonggong) sebagai counter untuk karya Qaradawi. Buku Qaradawi tersebut menurutnya semestinya diganti judulnya ‘al-Halal wa al-Halal fi al-Islam’ karena berkecendrungan tasahul (menggampang-gampangkan). Padahal, menurut Qaradawi hanya ada sepuluh pendapat hukumyang tidak sesuai dengan pandangan kaum salafi, diantaranya jenggot dan cadar tidak wajib, serta musik tidak haram.

Kisah lain adalah perseteruan sengit yang terjadi antara Syaikh Mustafa Abu Ghaddah dan al-Albani, dua ulama dari Syiria, semoga Allah merahmati keduanya. Dua ulama terkemuka tersebut pernah terlibat dalam perdebatankerasterkait dengan perbedaan metode dalam ilmu hadis. Abu Ghaddah merasa tidak perlu lagi mencantumkan komentar “sahih” terhadap hadis-hadis dalam Shahih Bukhari dan ShahihMuslim karena memandang keduanya sudah pasti sahih. Sementara al-Albani berpandangan sebaliknya, bahwa kitab hadis apapun harus diberi komentar. Perbedaan persepsi antara kedua ulama tersebut, andai saja dikelola dengan baik,sebenarnyadapatmelahirkan banyak manfaat, baik secara teoretik maupun secara praktis. Namun yang sangat disayangkan adalah perbedaan tersebut justru berujung ketidakharmonisan.

Al-Albani misalnya, dalam kata pengantar untuk edisi keempat kitab Syarh Aqidah Tahawiyyah, membuat pernyataan negatif tentang Abu Ghaddah. Albani menuduh Abu Ghaddah sebagai dlalal (sesat), jahl (bodoh), dhayyiqul fikr (berpikiran sempit), taklid, munafik, fanatik terhadap Mazhab Hanafi dan aduwun ladud (musuh utama) dari Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim serta Muhammad bin Abdul Wahhab. Tdak terima atas tuduhan al-Albani, Abu Ghaddah balik menuduh nya telah melakukan distorsi dan ketidakjujuran ilmiah. Secara khusus, Abu Ghaddah kemudian menulis buku yang berjudul Kalimat fi Kasyfi Abathil wa Iftiraat, Raddun ‘ala Nashiruddin al-Albani (Uraian untuk Mengungkap Kesalahan dan Reduksi, Suatu Jawaban untuk Nashiruddin Albani).

Dua peristiwa di atas adalah prototype bagaimana konsep al-hiwar al-fikry (dialog pemikiran) gagal diimplementasikan. Sangat disayangkan sikap tidak sabar dalam berdiskusi dan berbeda pendapat justru dilakukan oleh para ulama yang menjadi teladan umat. Padahal al-Quran sendiri mengingatkan bahwa ketika berdialog dengan ahlul kitab sekalipun, kita tidak boleh menggunakan bahasa kecuali yang terbaik (QS. 29: 46).  Wala tujadilu ahlal kitabi illa billati hiya ahsan. Lebih-lebih jika dialog dilakukan antara sesama kaum muslimin yang diikat oleh landasan persaudaraan. Dialog pemikiran meniscayakan kesantunan, dada yang lapang dan pemikiran yang terbuka. Bukan emosi yang meledak-ledak dan tutur yang tidak terkendali. Wallahu A’lam bis Shawab.


Penulis adalah anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah

Tulisan ini pernah dimuat di rubrik “Fikrah” majalah al-Manar edisi nomor 2 tahun 2015

Exit mobile version