YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengajak segenap warga untuk mengawali tahun baru 2019 dengan menggali makna terdalam dari setiap proses pergantian tahun. Hal itu disampaikan dalam Pengajian Refleksi Akhir Tahun di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, 31 Desember 2018. Forum rutin yang diadakan PRM Kauman ini juga menghadirkan Ketua PP Muhammadiyah Agus Taufiqurrahman.
“Setiap pergantian tahun baru, selalu disambut dengan gegap gempita. Sebagai muslim, kita mencari makna di balik tahun baru. Apa yang perlu kita lakukan di tahun baru,” tutur Haedar Nashir.
Menurut Haedar, Islam merupakan agama yang selalu kontekstual. Ayat-ayat tentang waktu begitu banyak disebut dalam al-Quran dengan berbagai derivasi kosa kata yang berbeda untuk menunjuk penggalan waktu. Semisal kata al-fajr, al-dhuha, wal-ashri, al-dahr, al-lail, dan seterusnya. “Dari sekian banyak ayat, menunjukkan bahwa Allah mengajarkan umat Islam untuk punya kesadaran akan waktu,” ujarnya.
Dalam setiap pergantian waktu, kata Haedar, yang harus dilakukan adalah, pertama, bermuhasabah, mengisab diri. “Mengevaluasi perjalanan hidup kita. Amal yang banyak, apakah sudah shaleh dan sudah ikhlas,” katanya.
Kedua, wiqayah, waspada dalam setiap ruang waktu. Ketiga, tafakkur dan tasyakkur, berpikir dan bersyukur dalam setiap pergantian waktu. Menurut Haedar, setiap tahun berganti, maka jatah waktu kita terus berkurang. “Oleh karena itu, kita tidak boleh lengah di tahun baru,” jelasnya.
Haedar juga mengajak para jamaah untuk merefleksilan makna dari QS. Al-Ashr, yang berbicara tentang waktu. Dalam surat ini dikatakan bahwa manusia berada dalam kerugian. Kecuali mereka yang senantiasa melakukan beberapa syarat berikut ini. Pertama, mengisi waktu dengan beriman kepada Allah. Mempraktekkan iman dalam bentuk ihsan serta bersikap muraqabah. Merasa selalu diawasi Allah. “Ciri orang beriman itu bisa mengendalikan marah ketika amarah, apalagi ketia ada kesempatan untuk marah. Ciri iman itu juga halus budi, punya jiwa rif’ah,” ulasnya.
Kedua, mengisi waktu dengan amal shaleh. “Amal shaleh yaitu sesuatu perbuatan yang bermanfaat untuk sesama. Muhammadiyah melayani masyarakat adalah bentuk amal shaleh,” katanya. Kemudian saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran.
Ketiga, mengisi waktu dengan tanadhar. Yaitu kesadaran akan masa depan. Mengingat tentang masa depan. “Jika di masa lalu banyak kesalahan, hapus masa lalu itu dengan kebaikan-kebaikan, dengan amal shaleh yang membawa pada kemajuan. Supaya tidak tertinggal, maka umat islam harus punya proyeksi ke depan,” ujarnya.
Haedar mengajak para jamaah untuk selalu punya kesadaran masa depan sebagaimana spirit dari setiap jejak langkah Muhammadiyah. “Jika ingin maju, maka harus dengan amal shaleh. Jadikan anak-anak kita sebagai generasi-generasi yang lebih baik daripada kita. Perjalanan hidup mereka lebih berat daripada kita hari ini. Kiai Dahlan membangun kesadaran akan masa depan, maka memulai pendidikan, kesehatan, layanan sosial,” ungkapnya.
Menurut Haedar, generasi masa depan harus dibekali dengan akhlak, karakter, pengetahuan, hingga keteladanan. Anak-anak harus diajarkan akhlak mulia (baik, benar, pantas) dan diajari karakter.
Dalam konteks Indonesia, umat Islam harus bisa menjadi umat yang teladan dan unggul. “Dalam urusan muamalah, tunjukkan bahwa umat Islam yang mayoritas di negeri ini adalah yang paling baik akhlaknya,” kata Haedar Nashir. (ribas)