Oleh: Irfan Amalee*
Namanya Ara Kusuma, berasal dari Salatiga. Dia penggemar susu dan kolektor segala pernak pernik berhubungan dengan sapi.
Saat berkunjung ke suatu daerah peternak sapi, Ara merasa prihatin melihat kondisi mereka. Dari sana Ara terinspirasi untuk menggagas Moos Project. Berkolaborasi dengan warga Desa Sukorejo, Boyolali, di usia 10 tahun Ara mengembangkan konsep incorporated village dengan memanfaatkan seluruh potensi sapi dari susu, daging, hingga kotorannya.
Inisiatif ini mengantarkan Ara menjadi salah satu anggota termuda dalam jaringan Young Changemaker yang digagas Ashoka, sebuah organisasi kewirausahaan sosial global.
Ara adalah satu bukti bahwa anak bisa menjadi agen perubahan sosial, jika dilatih dan diberi kesempatan.
Menurut Bill Drayton, pencetus social entrepreneurship dan pendiri Ashoka, dari 3000 pengubah sosial tingkat dunia, ternyata 80% nya sudah memulai project-nya sejak remaja.
Oleh karena itu Kiran Bir Sethi, Ashoka Fellow dari India menginisiasi Design For Change, mengajarkan keterampilan perubahan sosial (changemaking skills) kepada anak-anak. Model ini telah diduplikasi di 60 negara. Banyak inovasi sosial yang mereka hasilkan.
Inovasi sosial bukanlah hal baru bagi Muhammadiyah. Karena itu adalah DNA yang diwariskan KH Ahmad Dahlan. Bahkan KHA Dahlan dan Kiai Sudja’ bisa disebut sebagai pionir social entrepreneurship jauh sebelum istilah itu dipopulerkan Bill Drayton 70 tahun kemudian.
Maka sudah seharusnya kajian, dan praktik serta ekosistem social entrepreneurship diperkuat di lingkungan persyarikatan. Changemaking skills harus mulai diajarkan di sekolah. Mata kuliah bahkan program studi Social Entrepreneurhip harus ada di setiap PTM. Lazismu bisa menjadi sumber pendanaan bagi inovasi sosial yang berdampak. AUM menjadi model social entreprise yang inovatif dan scalable.
Sebagai ikhtiar kecil, Muhammadiyah Boarding School Baitur Rohmah Garut, dirintis sebagai pesantren yang fokus menumbuhkan jiwa social entrepreneurship.
Pelajaran Qur’an dan Hadits serta pelajaran lainnya akan difokuskan pada pembentukan akhlak untuk membangun Cognitive Empathy. Yaitu kemampuan merasakan masalah dan menganalisisnya. Salah satu skill utama yang dibutuhkan seorang social entrepreneur. Seorang santri akan berbulan-bulan mempelajari satu hadits tentang empati, sampai bisa menerapkannya untuk menjadikan sekolahnya bebas bully. Al-Qur’an tidak berhenti di hafalan tapi juga amalan. Seperti KH Ahmad Dahlan yang berbulan-bulan membahas Al-Maun hingga isinya diterapkan untuk aksi perubahan.
Kurikulum didesain selaras dengan 21st Century Skills mencakup critical thinking, creative problem solving dan colaboration. Sehingga Islam Berkemajuan betul betul bisa menjawab tantangan zaman.
___
*Mudir MBS Baitur Rohmah CoFounder PeaceGenID, Ashoka Fellow 2017.
Tulisan ini pernah dimuat di majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 24 tahun 2018