MALANG, Suara Muhammadiyah – Muhammadiyah memilih cara kultural dalam mewujudkan kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Cara kultural itu diwujudkan dalam bentuk dakwah dan pengembangan bidang pendidikan, sosial dan kesehatan. Meskipun demikian, Muhammadiyah tidak mengesampingkan cara struktural dengan mendorong kadernya terlibat langsung dalam kegiatan di partai politik. Kedua cara itu memiliki tujuan yang sama, untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Hal itu disampaikan Prof Dr Yunahar Ilyas saat berbicara dihadapan warga Muhammadiyah dalam tabligh akbar yang diadakan PDM Kota Malang di Masjid Saraa Al Uraifi, Pusat Dakwah Muhammadiyah Buya Hamka, Cemoro Kandang, Kota Malang, Ahad, (30/12/).
Selama ini, kata Yunahar, Muhammadiyah banyak menempuh jalur bidang pendidikan sebagai perwujudan keadilan, kebersamaan dan persaudaraan. Pendekatan kultural memiliki jangkauan masa depan yang lebih panjang. Misalnya Muhammadiyah, butuh waktu satu abad lebih untuk terus berkiprah berkontribusi pada negara. ‘’Ini butuh nafas panjang sampai ke akhirat nanti. Kalau struktural hanya jangka pendek, paling tidak lima tahun yang akan datang,’’ kata Yunahar.
Dalam memegang prinsip kultural ini Muhammadiyah berusaha untuk menjaga jarak dengan semua kekuatan politik. Dengan kata lain, Muhammadiyah ingin berhubungan dengan semua kekuatan politik di negeri ini. Hanya saja soal menjaga jarak itu kemudian direvisi diganti dengan kedekatan yang sama. ‘’Muhammadiyah ingin memiliki kedekatan yang sama dengan semua kekuatan politik yang sejalan dengan visi organisasi,’’ tegasnya.
Ini merupakan upaya Muhammadiyah untuk melanjutkan kiprahnya dalam membangun bangsa. Para pendahulu Muhammadiyah terbukti memiliki komitmen kebangsaan yang tinggi. Kecintaan mereka terhadap keutuhan negara ini tidak diragukan lagi. Jenderal Sudirman misalnya, seorang anggota Pandu Hisbul Wathan, menjadi panglima tentara dalam perang gerilya melawan penjajah Belanda. Proklamator Bung Karno pernah menjabat pimpinan majelis pendidikan Muhammadiyah di Bengkulu. Begitu juga dengan istri Bung Karno, Fatmawati, yang merupakan anak ketua konsul Muhammadiyah Bengkulu.
Banyak yang tidak tahu bahwa Ir H Djuanda adalah kader Muhammadiyah. Salah satu jasa Djuanda adalah menyatukan laut Indonesia menjadi bagian dari wilayah Indonesia. Sebelumnya berlaku hukum, bahwa laut yang ada di wilayah Indonesia menjadi milik internasional.’’Kemudian Ir H Djuanda mengubahnya menjadi milik Indonesia,’’ ujar Yuhahar.
Semua itu dilakukan agar tujuan Muhammadiyah untuk terciptanya negara yang sejahtera dan dalam ampunan Tuhan bisa tercapai. Dalam konteks Indonesia saat ini, alat untuk mencapai tujuan itu melalui jalur demokrasi. Saat ini demokrasi di Indonesia sudah bebas, bahkan lebih bebas dari negara yang selama ini dianggap kiblat demokrasi seperti AS. Bedanya, di AS demokrasi bebas dan rakyatnya sejahtera. Sebaliknya di Indonesia, demokrasinya sangat bebas tapi rakyatnya masih belum sejahtera. ‘’Selain demokratis, pendidikan rakyat juga harus ditingkatkan sebagai bagian dari keadilan dan kebersamaan,’’ jelasnya. (Husnun)