MALANG, Suara Muhammadiyah – Keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tak lepas dari sikap toleran dari kaum mayoritas. Ketika awal kemerdekaan, umat Islam mengalah terhadap tuntutan kaum minoritas yang minta agar tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapuskan. Dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sudah ditetapkan pembukaan UUD 45 yang populer dengan sebutan Piagam Jakarta.
Kalau itu, kaum minoritas mengancam akan keluar dari NKRI bila tujuh kata tersebut tidak dihapus. Tujuh kata dalam pembukaan UUD 45 itu adalah Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Setelah melalui perdebatan yang panjang, anggota PPKI sepakat untuk menghapus tujuh kata itu. Hanya satu anggota yang ngotot menolak menghapuskannya, yakni Ki Bagus Hadilkusumo. Dia bersikeras agar tujuh kata itu tidak dihapus. Tapi sikapnya melunak ketika rekannya Kasman Singodimejo merayunya agar menyetujui usulan penghapusan tersebut. Meskipun demikian, keduanya menangis karena takut pertanggung jawaban kepada umat.
Cuplikan sejarah itu menunjukkan bahwa umat Islam sebagai mayoritas kerap mengalah demi kepentingan yang lebih besar, negara tetap utuh. Sebelumnya, kaum minoritas Jawa juga mengalah saat diadakan Sumpah Pemuda. Saat itu bisa saja orang Jawa memaksakan kehendak agar bahasa Jawa digunakan sebagai bahasa nasional. Tapi itu tidak dilakukan, kelompok mayoritas Jawa mengalah dengan mengizinkan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional.
‘’Keutuhan NKRI terjadi karena sikap kaum mayoritas yang mau mengorbankan kepentingannya,’’ kata Ketua PP Muhammadiyah, Prof Dr Yunahar Ilyas dalam Tabligh Akbar Muhammadiyah Kota Malang di masjid Sara Al Uraifi, Pusat Dakwah Muhammadiyah Buya Hamka, Cemoro Kandang, Kota Malang, Ahad (30/12).
Yunahar menjelaskan, berbagai aktivitas organisasi Islam di Indonesia justru memperkokoh integritas bangsa. Itu bagian dari kontribusi umat Islam kepada negara. Daintaranya secara struktural, membentuk partai politik agar bisa masuk dalam pemerintahan, terutama di legislatif untuk memberi warna kebaikan pada lembaga tersebut. Orang tidak akan berbuat maksiat selama dalam hatinya masih ada iman. ‘’Orang berzina, mencuri, korupsi dan maksiat lain, karena dalam hatinya tidak ada iman,’’ terangnya.
Untuk itu, orang-orang baik harus masuk politik untuk mewarnai lembaga perwakilan tersebut. Pasalanya, DPR memiliki kekuasaan besar dalam bidang anggaran dan membuat UU. Ormas seperti Muhammadiyah sering dibuat terkejut dengan UU yang disahkan oleh DPR. Ternyata ada bagian yang merugikan. ‘’Kalau sudah begitu baru ribut. Harusnya sejak proses awal ada orang-orang yang memiliki kepedulian pada negara ini mengawalnya,’’ lanjutnya.
Selama ini ada anggapan, kalau orang tidak baik masuk DPR itu biasa. Sebaliknya, kalau ada orang baik masuk DPR malah dipertanyakan. Padahal, DPR harus diawasi oleh orang-orang baik agar produk yang dihasilkan tidak berlawanan dengan kepentingan masyarakat. Ada beberapa UU yang dianggap berlawanan dengan kepentingan masyarakat. Muhammadiyah kemudian menempuh jalan jihad konstitusi melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi. Beberapa kali gugatan Muhammadiyah dikabulkan. Tapi menurut Yunahar, kalau itu dilakukan sejak proses awal, tentu hasilnya akan berbeda.
Muhammadiyah mendorong kadernya untuk berkiprah dalam politik melalui partai yang memiliki visi yang sama. ‘’Kalau partainya antiperda syariah tentu itu bukan pilihan,’’ ucapnya.
Kondisi yang terjadi di Indonesia saat ini, ketika kebatilan merajalela, membutuhkan kehadiran orang-orang baik untuk mencegahnya. Kalau selama ini kebatilan merajalela, itu karena kebenaran tidak dihadirkan. Orang-orang baik berkewajiban untuk menghadirkan kebenaran agar kebatilan tidak merebak.
Dia mengingatkan kader Muhammadiyah yang masuk politik harus sungguh-sungguh dalam berpolitik, meskipun ada batasan. Totalitas itu sangat penting agar bisa menang dengan cara yang benar agar saat menjadi wakil rakyat bisa amanah. Muhammadiyah memiliki sejarah yang panjang, bahkan sudah berdiri sebelum negara ini ada. Komitmen Muhammadiyah terhadap NKRI tidak perlu diragukan lagi. ‘’Kami melakukannya melalui jalur cultural dengan pendidikan, sosial dan kesehatan,’’ katanya. (Husnun)