JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Pengajian rutin bulanan Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Jumat, 11 Januari 2019, mengusung tema Mitigasi dan Edukasi Bencana. Forum yang dilangsungkan di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Jakarta itu menghadirkan Kepala Mitigasi Gempa dan Tsunami BMKG Tiar Prasetya, Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana/Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) Budi Setiawan, dan Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid DKI Jakarta Endang Mintarja.
Dalam pengantarnya, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyatakan bahwa Muhammadiyah telah menyusun Fikih Kebencanaan sebagai panduan dalam menghadapi situasi bencana. Bagi Muhammadiyah, musibah itu dipandang sebagai bagian dari rahmat. “Banyak orang selalu memahami bencana itu negatif,” katanya. Padahal, ada sisi positif dan pelajaran di balik setiap bencana.
Mu’ti menyampaikan bahwa dengan spirit kemanusiaan, Muhammadiyah hadir di setiap bencana. MDMC dan Lazismu mendapat penghargaan dari berbagai pihak. Dua lembaga ini menjadi mitra strategis dalam membantu masyarakat yang tertimpa musibah.
Menurutnya, Indonesia terletak di daerah yang sangat rawan bencana. Sebagian besar musibah terjadi karena perilaku manusia. Semisal manusia merusak alam, menebang pohon. Sehingga alam mencari keseimbangan dengan banjir, longsor. Ada juga bencana yang memang bagian dari kodrat alam, semisal gunung meletus, pergerakan lempeng, dan seterusnya.
“Bencana alam tidak bisa dicegah, tapi bisa diantisipasi. Semisal di Jepang, konstruksi bangunan dibangun sedemikian rupa. Mereka tahu persis kultur dan struktur tanah yang ada di situ,” tuturnya. Manusia dengan ilmu pengetahuannya hanya bisa memprediksi bencana, tetapi tidak kuasa menolaknya. Manusia bisa mempersiapkan diri.
Mu’ti menyatakan, kisah Nabi Nuh menunjukkan betapa pentingnya mitigasi bencana. Nabi Nuh membuat kapal untuk mitigasi. Sehingga ketika terjadi banjir bandang, mereka bisa selamat. Mengantisipasi sebelum sesuatu terjadi.
“Alam ini makhluk Allah dan berjalan mengikuti hukum Allah,” katanya. Manusia bisa mengusahakan yang terbaik. Ketika sesuatu terjadi di luar kehendak kita, maka di situlah takdir Allah dan manusia harus sabar dengan ketentuan-Nya.
Hal senada diungkapkan Endang Mintarja. Menurutnya, ada beberapa istilah dalam Qur’an yang menunjuk makna bencana. Bala, musibah, dst. Ada yang disebut fitnah. Semisal disebut bahwa anak dan istri itu fitnah. Ketika bisa mengelola fitnah dengan baik, maka justru menjadi hal positif. Jika bencana adalah fitnah, maka kita diminta untuk bisa mengelolanya dengan sebaik-baiknya.
“Dalam pandangan Muhammadiyah, bencana itu tidak bisa diketahui tapi bisa diminimalisir dampaknya. Alam punya mekanisme sendiri. Indonesia resiko nomor satu tsunami di dunia. Jika tidak punya persiapan, ini adalah kezaliman. Jadi jangan apa-apa menyalahkan Tuhan,” ujar Endang.
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Tiar Prasetya MSc menyatakan bahwa masih banyak masyarakat yang kurang paham terhadap bencana. Peringatan dini kadang juga tidak maksimal, padahal di Indonesia banyak potensi bencana hidrometeorologi. Selain gempa bumi dan tsunami, saat ini juga banyak terjadi el nino dan la nina, misalnya.
Menghadapi bencana apapun, kata Tiar, masyarakat jangan mudah percaya hoaks dan tidak gampang panik. Cara supaya tidak termakan hoaks adalah dengan mengkonfirmasi semua informasi kepada BMKG. Bisa melalui SMS, Facebook, Twitter, Instagram, maupun melalui aplikasi Info BMKG
“Mitigasi adalah persiapan, langkah-langkah yang diperlukan baik itu sarana dan prasarana sehingga jika terjadi bencana, korban tidak banyak. Mitigasi tidak harus besar-besar, harus mulai dari kesadaran,” ulasnya yang mewakili ketua BMKG Prof Dwikorita Karnawati.
Ketua MDMC Budi Setiawan mengungkapkan bahwa mitigasi dilakukan untuk mengurangi resiko bencana. Mitigasi bisa berupa struktural dan non struktural. Struktural melalui lembaga resmi pemerintah, semisal BMKG. “Non struktural itu tugas kita bersama. Muhammadiyah bergerak di wilayah ini dalam rangka penguatan kesiapan bencana,” tuturnya.
Menurut Budi, ada lokal wisdom yang perlu ditinjau ulang ketika terjadi bencana. Semisal ketika meletusnya gunung merapi di Yogyakarta. Mbah Marijian menyatakan bahwa dia sudah puluhan tahun hidup di sana dan tidak akan mengalami apa-apa. Meskipun sudah dibujuk berkali-kali, beliau tetap tidak mau turun ke lokasi aman. Benar bahwa sebelumnya, aliran lava ke arah berbeda dan tidak pernah mengarah ke desa mbah Marijan, tetapi sejak tahun 2006 berubah.
“Jika kapasitas masyarakat tinggi dan dapat menghadapi bahaya, baik bencana alam maupun non alam, maka bencana mungkin dapat dihindari, jumlah korban dan masyarakat terdampak dapat dikurangi, dan jika terdapat warga yang terdampak bencana dapat segera pulih kembali,” katanya. Budi juga menyarankan bahwa setiap keluarga perlu memiliki kesadaran ini, dan kemudian menyediakan titik kumpul ketika situasi darurat.
MDMC dalam rangka peningkatan kapasitas mitigasi, telah melakukan berbagai upaya. Salah satu terobosan terbaru adalah membuat aplikasi sistem daftar potensi longsor dan banjir di area sekolah-sekolah dan jalur Kereta Api. “Bisa di-scan barcode aplikasinya,” tukas Budi Setiawan. (ribas)
Baca juga:
Kita Diuji Bencana, Malah Sibuk Menafsir Bencana
Tentang Pernyataan Kiai Dahlan yang Dikaitkan dengan Bencana Alam
Haedar Nashir: Penyebab Bencana Tidak Mutlak Karena Kemaksiatan!
Sikap Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah Tentang Bencana Lingkungan