Buya Hamka dan Media
Oleh: Roni Tabroni
Tanpa Pedoman Masyarakat mungkin Hamka masih seorang guru di Kuliyatul Muballighin, Kauman Padang Panjang. Saya ingin memulai tulisan ini dari pernyataan di atas yang dikeluarkan oleh M. Yunan Nasution yang berjudul “Hamka Sebagai Pengarang dan Pujangga” dalam buku Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka (1983) yang diterbitkan Pustaka Panjimas, Jakarta.
Pernyataan itu sangat penting untuk melihat sisi lain dari sosok Hamka yang mulititalenta. Sisi keulamaan Hamka menjadi identitas yang tidak bisa dipisahkan darinya. Namun, apa yang membuat Hamka begitu dikagumi, diperbincangkan, bahkan diteladani hingga saat ini, tiada lain karena ada salah satu kebiasaan yang selalu menyertai keulamaannya yaitu menulis.
Hamka begitu transparan dalam memori publik, sebab seluruh isi pikiran dan perjalanan hidupnya terbaca terang dalam hamparan karyanya yang tidak kurang dari 115 buku menurut Rush, dan tidak kurang 195 buku yang terkait dengan hamka yang hingga kini beredar di masyarakat. Karya ini belum termasuk seluruh tulisan Hamka yang tercecer dalam karya media yang terbit di seantero Nusantara sejak dirinya remaja hingga wafatnya.
Pernyataan Nasution di atas menggelitik saya ketika membaca sosok ulama besar yang sejak belia sesungguhnya lebih tertarik pada dunia sastra, bukan ingin menjadi ulama besar seperti ayahnya (Haji Rasul). Tetapi lautan ilmu yang dilahapnya, telah menakdirkan Hamka menjadi seperti yang kita kenal sekarang ini. Sulit mendefinisikannya, sebab Hamka memiliki banyak keahlian. Sebagian pakar bahkan menyebutnya Ulama yang tidak ada bandingnya hingga hari ini.
Kendati sejak remaja Hamka sudah mulai menulis, namun dalam perspektif jurnalisme, Hamka adalah sosok jurnalis hebat pada zamannya. Hamka bukan orang yang bekerja untuk media. Tetapi Hamka adalah orang melakukan dakwah lewat media. Namun kemasan dakwah Hamka, membuat orang tergerak memorinya, tercerahkan dan begitu happy membacanya.
Maka bagi saya, Hamka bukanlah seorang kuli tinta. Seorang kuli, dia hanya memenuhi syarat kerjanya hanya untuk mencari uang semata. Orang seperti ini akan bekerja secara mekanis, tanpa memperdulikan apa hasil dari pekerjaannya. Kuli tinta identik dengan seorang buruh yang bekerja hanya untuk menggugurkan kewajiban, sebab orientasinya bukan tercapainya visi.
Hamka adalah orang yang menjadikan media sebagai sarana pencerahan bagi umat. Hasrat menulisnya yang begitu tinggi, dijadikan sarana untuk mengubah masyarakat yang lebih luas. Di samping aktivitas ceramah di ruang-ruang terbatas, Hamka juga menyampaikan pesan-pesan keagamaannya lewat media. Dengan tulisannya di media, Hamka mampu menjangkau umat yang tidak memiliki kesempatan untuk hadir di majelis-majelis Hamka seperti mesjid, kelas, dan majelis ilmu lainnya.
Seorang jurnalis seperti Hamka, layaknya disebut sebagai perekayasa sosial hebat yang mampu mengubah cara berfikir umat lewat tulisan-tulisannya yang menggugah. Tidak jarang kemasan tulisan yang mendayu-dayu ala Hamka juga mampu memainkan emosi pembaca hingga larut dalam alur ceritera yang dibuatnya. Di saat emosi pembaca larut dalam narasi yang diciptakannya, di saat itulah Hamka memasukkan pesan-pesan religinya pelanpelan. Publik akan mengambil hikmah dari sebuah ceritera, dan menjadi kritis karena membaca tulisannya. Sangat jarang Hamka melakukan dakwah keagaman dalam media yang dikelolanya dengan pendekatan doktrinal yang kasar dan hitam putih.
Dalam berbagai karya medianya, Hamka sesungguhnya bukan hanya sedang menginformasikan sesuatu, atau mendoktrinkan sesuatu, tetapi Hamka mencoba membangun narasi besar lewat berbagai kemasan tulisan yang multigenre. Hamka tidak mengajari umat lewat perintah-perintah, tetapi membawa umat dalam sebuah alur pikir yang jernih dan mencerahkan. Mengubah tradisi kolot menjadi lebih berkemajuan.
Pembaharuan pemikiran menjadi target utama bagi Hamka, agar masyarakat Islam tidak larut dalam cara berpikir lama. Termasuk bagaimana Hamka juga melanjutkan perjuangan Ayahnya yang terus berjuang mengubah cara beraga-ma umat Islam agar terbebas dari perbuatan-perbuatan syirik lewat tradisi-tradisi yang tidak perlu. Maka pembawaan media yang dikelola Hamka, selalu menawarkan narasi baru yang selalu menantang dan bergelora. Kesegaran karya-karya Hamka bahkan melampaui zamannya. Buktinya, kontenkonten majalah yang dikelola Hamka, baik itu Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, maupun Sinar Islam selalu aktual dan abadi hingga kini.
Hebatnya karya tulis Hamka bertumpu pada prinsip yang dipegangnya yaitu bahwa seorang penulis harus lebih banyak membaca. Maka jika Hamka melahirkan ratusan buku dan ratusan tulisan lepas lainnya di media massa, maka kita akan membayangkan berapa banyak referensi yang dibaca Hamka. Walaupun tidak mudah dikuantifikasi, namun gambaran terkait dengan bacaan Hamka dapat dilihat dalam pengantar buku Sejarah Umat Manusia: Pra-Kenabian Hingga Islam di Nusantara. Dalam pengantarnya itu Hamka menyebut tidak kurang dari seratus kitab yang dibacanya baik tebal maupun sedang untuk membuat karya satu buku ini.
Ketika Hamka pindah dari Padang Panjang ke Medan untuk memimpin dan mengelola Majalah Pedoman Masyarakat, yang diboyong bukan keluarga, tetapi perpustakaan pribadinya. Selama mengelola media, aktivitas Hamka dihabiskan untuk membaca dan menulis–di samping ceramah dan melayani umat. Bahkan aktivitas membaca Hamka seringkali dilakukan hingga larut malam.
Tetapi, tradisi membaca Hamka tidak datang tiba-tiba. Sejak kecil, Hamka sudah keranjingan membaca. Ketika Hamka kecil tahu bahwa gurunya (Zaenuddin Labay El Yunusy) membuka Bibliotek, yaitu tempat untuk sewa buku, maka Hamka selalu menyewanya setiap hari. Setelah membaca Hamka selalu menyalinnya kembali dengan tulisan sendiri. Ketika uangnya habis, Hamka selalu membantu pekerjaan di percetakan, dan imbalan yang dipintanya yaitu diperbolehkan membaca buku.
Termasuk ketika Hamka naik haji dan menetap di Makkah, untuk menyambung hidupnya (karena perbekalan sangat terbatas) Hamka bekerja di percetakan kitab. Di sana pula Hamka tenggelam dalam lautan ilmu. Ratusan kitab dibacanya. Di tempat itu Hamka antara bekerja dan menuntut ilmu.
Walaupun tidak menamatkan pendidikan formalnya, namun cara belajar yang otodidak (banyak membaca) dan berguru langsung kepada tokoh-tokoh tertentu, membuat Hamka memiliki keluasan pengetahuan, kedalaman ilmu, dan keluhuran budi. Karya tulisnya yang sangat berbobot dan banyak itu bukan hanya menjadi pengetahuan masyarakat, tetapi juga mengubah pikiran, perilaku, bahkan bagi para peneliti dan akademisi telah menjadikannya sebagai kajian akademik dan referensi yang sangat penting.
Menjadi jurnalis, bagi Hamka bukan hanya pekerjaan teknis. Jurnalis haruslah seorang ilmuwan sebab media memberikan pengaruh yang besar terhadap masyarakat. Jika isinya informasi yang menyesatkan maka publik akan sesat pula. Tetapi jika yang disampaikan adalah samudera ilmu, maka publik akan belajar dan menjadi pintar.
Namun demikian, sebagai seorang ilmuwan dan ulama, Hamka merupakan orang yang kritis dan teguh pendirian. Pembawaan Hamka sebagai orang Minang, menjadi bagian dari sikap medianya yang lurus dalam menegakkan kebenaran. Bahkan ketika melihat pemimpin dan orang dekatnya (Soekarno) dianggap melakukan kesalahan, Hamka tidak segan-segan mengkritiknya lewat Majalah Panji Masyarakat.
Bahkan risiko terburuk juga Hamka terima tatkala akhirnya Soekarno harus menutup Majalah Panji Masyarakat karena memuat tulisan Hatta dengan judul “Demokrasi Kita.” Inilah resiko perjuangan, di mana Hamka memposisikan media tidak hanya sebagai tempat mencari rezeki, tetapi yang lebih penting dari itu adalah sebagai alat berjuang, berdakwah, dan mengubah masyarakat dan bangsa.•
Roni Tabroni, Dosen Universitas Sanggabuwana Bandung, Wakil Ketua MPI PP Muhammadiyah
Tulisan ini pernah dimuat di Majalalah Suara Muhammadiyah Edisi 17 tahun 2018